“Memang ya, orang kalau mau ngehindar malah ketemu aja sama orang yang mau dia hindarin,” keluh Naira.
Saat ini, ia sedang berada di mini market untuk membeli beberapa bahan makanan hingga akhir pekan nanti. Ia memang lebih senang pergi ke mini market karena jaraknya yang lebih dekat dari rumahnya.
“Arrgh … harus hemat nih. Besok ini juga aku harus segera menyerahkan surat pengunduran diriku ke HRD, sebelum aku sial lagi ketemu Pak Cakra. Jangan sampai Pak Cakra jadi punya peluang buat mempermalukan aku, apalagi memberi pelajaran ke aku,” lirih Naira,
Padahal, ia sudah merasa cocok dengan pekerjaannya. Ia tidak keberatan dengan jobdesk-nya. Ia nyaman dengan lingkungannya, dan yang terpenting, tentu ia suka dengan gajinya.
Selesai berbelanja, Alana duduk di kursi besi yang ada di depan mini market. Ia menandai beberapa lowongan pekerjaan yang cocok dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya. Ia tidak menyangka, semua akan terjadi secepat ini. Ia terpaksa harus meninggalkan pekerjaan yang ia sukai karena kecerobohannya sendiri.
Setelah mulai merasa ngantuk, Naira pun memutuskan untuk pulang. Ia biasa pulang dengan berjalan kaki, karena jarak mini market yang tidak terlalu jauh dari kosnya. Namun, entah karena kesialan apa lagi, ia merasakan ada yang hilang darinya. Naira meletakkan belanjaannya di jalan. Lalu, ia merogoh kantongnya untuk memastikan hal tersebut. Dan … benar saja. Dompetnya tidak ada di tempatnya.
“Sialan! Ada aja sih ujian orang yang kesabarannya bagai sebutir pasir pantai ini!!!” kesal Naira.
Naira mengambil kembali belanjaannya. Ia berniat untuk menyusuri kembali jalanan menuju mini market untuk mencari dompetnya. Namun, baru sampai belokan, tatapannya bertemu dengan manik gelap sosok yang sangat familiar baginya beberapa waktu terakhir.
Naira ingin berjalan menjauh. Namun, kakinya terasa seakan terpatri dengan jalanan sehingga pada akhirnya ia tidak bisa bergerak sedikit pun. Lama-kelamaan, sosok pria itu akhirnya tiba di hadapan Naira. Ia menyodorkan benda yang Naira cari-cari sejak tadi sambil terus menatap wajah Naira dengan intens.
“Jadi nama kamu Naira Bintang Syabila?” tanya pria itu, membuat Naira sontak menelan salivanya dengan susah payah.
Double kill! Tak hanya menandai wajahnya. Sekarang, Cakrawala Aresta bahkan juga sudah menandai nama lengkapnya.
***
Naira sadar. Sejak pertama kali ia mulai memberikan perhatian lebih pada sosok bosnya itu, takdir berjalan seolah bertolak belakang dengan harapannya. Seperti saat ini contohnya. Alih-alih bisa segera menjauh setelah menerima kembali dompetnya, Naira justru harus terjebak karena Cakra yang memintanya untuk tinggal.
“Bapak tadi bilang apa?” tanya Naira. Ia masih merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Cakra sebelumnya.
“Hari ini saya mau datang ke acara reuni SMA. Dan saya ingin kamu menemani saya,” jawab Cakra.
Bahu Naira merosot seketika. Jika ia menerima ajakan Cakra, itu sama saja ia membuat dirinya sendiri semakin terjebak dalam alur yang rumit yang telah ia ciptakan itu. Namun, di sisi lain, ia juga tidak mempunyai cukup keberanian untuk menolak perintah bosnya.
“Maaf, Pak. Tapi kalau acaranya sekarang, saya nggak bisa. Saya belum siap-siap. Dan saya juga belum mempersiapkan gaun yang layak buat acara semacam itu. Gaun yang kemarin Bapak pinjamkan juga masih ada di loundry.” Naira sebisa mungkin membuat alasan untuk menolak permintaan Cakra secara tersirat.
“Acaranya masih setengah jam lagi. Dan nggak masalah juga kalau kita sedikit telat,” ujar Cakra.
Naira menelan salivanya kasar. “Dalam waktu sesingkat itu, saya rasa saya juga belum bisa, Pak. Saya masih harus beli- eh, Pak?!”
Naira semakin bingung saat Cakra tiba-tiba memegangi pergelangan tangannya. “Sudah, soal pakaian, make up dan lainnya, serahkan semua ke saya!”
“Tapi, Pak- Pak Cakra, saya-”
“Kamu tinggal duduk diam dan semuanya akan saya urus. Kamu tenang saja, saya akan bayar waktu kamu yang saya gunakan saat ini,” potong Cakra, sebelum menggiring Naira menuju ke mobilnya yang terparkir di depan mini market.
Tubuh Naira menegang saat menyadari jika sekarang dirinya berada di satu mobil yang sama dengan Cakra. Ingat, hanya mereka berdua! Gadis itu mendadak jadi gugup. Semua hal yang terjadi antara dirinya dan Cakra kembali terputar jelas dalam ingatannya.
“Apa jangan-jangan Pak Cakra cuma mau ngerjain aku buat balas dendam masalah kemarin?” pikir Naira. Namun, jika diperhatikan, tampaknya Cakra bukan lelaki yang sejahat itu. “Enggak. Nggak mungkin. Daripada ngerjain, aku rasa dia bakalan langsung pecat atau ngehukum aku kalau dia memang masih menyimpan dendam karena masalah kemarin.”
“Kamu lagi banyak pikiran? Apa kerjaan kantor ada yang belum beres?” tanya Cakra tiba-tiba, membuat Naira terlonjak dan sadar dari lamunannya.
“Enggak kok, Pak. Saya cuma masih syok aja, Bapak tiba-tiba narik saya buat ikut Bapak. Bapak nggak ada niat aneh-aneh kan ke saya?” selidik Cakra.
Cakra menoleh sebentar, lalu terkekeh. Tawa pria itu membuat Naira semakin sulit untuk berpikiran positif. Namun, di sisi lain ia juga bertanya-tanya, memang apa yang akan Cakra lakukan jika ternyata benar pria itu berniat untuk mengerjainya.