Setelah menemukan keberadaan Maya, Naira tersenyum cerah. Ia melambaikan tangan pada sahabatnya itu, dan berniat untuk mendekatinya. Namun, baru saja Naira mulai melangkah, sebuah suara bariton berhasil menghentikan niatnya.
“Kamu mau ke mana?”
Naira menoleh gugup. Lagi-lagi, ia harus berhadapan dengan atasannya yang sejak tadi bersikap aneh itu.
“S- saya mau ke sana, Pak. Itu teman saya di sana soalnya. Nggak papa, kan?” tanya Naira hati-hati.
Cakra mengangguk. Raut wajahnya tampak tidak terlalu peduli. Naira pun menghela napas panjang, lalu segera beranjak mendekati Maya yang sempat mengalihkan pandangannya karena tertangkap basah oleh Cakra saat melihat interaksi pria itu dengan Naira tadi.
“May …” panggil Naira sesampainya ia di hadapan Maya. Naira memegang tangan Maya dan menariknya. “Ayo, buruan!”
“Eh, mau ke mana?” bingung Maya. Namun, gadis itu tetap mengikuti ke mana Naira membawanya.
Naira membawa Maya sedikit menjauh dari tempat sebelumnya. Ia membawa sahabatnya itu ke sudut lain yang tak terjangkau oleh penglihatan Cakra.
Menyadari ada yang aneh dengan sahabatnya, Maya menarik kedua sisi bahu Naira dan membuat gadis itu berdiri tegap menghadap dirinya. Maya menatap penampilan Naira dari atas sampai bawah. Ia tidak mungkin salah ingat. Gaun ini bukanlah gaun yang tadi Naira kenakan.
“Kamu ganti baju? Bagus banget. Jangan bilang ini dari …”
Naira menghela napas panjang dengan ekspresi nelangsa yang membuat Maya tahu jawaban atas pertanyaannya tanpa perlu menunggu Naira bersuara.
“Kamu nggak dipecat, kan?”
Naira menggeleng. “Enggak sih. Cuma aku kok ngerasa kalau setelah ini semua nggak akan baik-baik aja, ya?”
Maya mengusap bahu Naira, simpati dengan sahabat baiknya itu. Meski Naira terkadang menjengkelkan dan keras kepala, tapi hanya gadis itulah yang paling akrab dengannya di kantor.
“Minimal sih muka kamu udah ditandain sama Pak Cakra,” ujar Maya. “Tapi sejauh ini, kelihatannya Pak Cakra bukan orang jahat, kok. Berdoa saja supaya dia nggak dendam sama kamu. Terus, apa aja yang dia katakan ke kamu tadi?”
“Nggak banyak, May. Cuma … akhirnya aku keceplosan kalau aku memang berniat buat godain dia.”
Pupil mata Maya melebar. Lidahnya terasa kelu untuk menyahuti ucapan Naira. Hingga setelah beberapa saat kemudian, akhirnya ia baru mengatakan sesuatu kembali.
“Lebih baik kamu segera nulis surat pengunduran diri! Resign jauh lebih terhormat daripada dipecat, Nay …”
***
Hari pertama masuk kerja dalam satu minggu, Naira tampak lesu sejak menginjakkan kaki di kantor pagi tadi. Ia hanya bicara seperlunya saat ada orang yang bertanya padanya. Bahkan, Maya yang dekat dengannya pun bisa merasakan perubahan pada sahabatnya itu.
“Nay …”
Sekarang, jam istirahat makan siang sudah tiba. Maya berniat untuk mengajak Naira makan siang bersama di kantin. Namun, saat menoleh ke arah Maya, lagi-lagi Naira menunjukkan raut wajah yang begitu kusut.
“Makan siang dulu, yuk! Lanjut ngobrol di kantin aja. Seenggaknya kamu juga masih harus makan walau lagi galau,” ajak Maya.
Naira mengangguk kecil. Setelah itu, ia pun membereskan barang-barangnya. Lalu, dua gadis muda itu menuju ke lift dan segera masuk begitu pintunya terbuka.
Naira masih tak mengangkat wajahnya. Bahkan saat ia mengikuti Maya menyapa atasannya yang sudah berada di dalam lift. Ia masih menunduk, berdiri baris depan sebelah tengah, dengan Maya di samping kirinya.
“Nay …”
Naira berdehem saat mendengar Maya memanggilnya. Namun, makin lama, sikap Maya semakin aneh. Ia menyenggol lengan Naira, lalu juga menyenggol tangannya.
“Nay, sebelah kamu …”
“Hah? Apa, sih?” bingung Naira. Lalu, ia sadar jika yang ada di sebelahnya saat ini adalah salah satu atasan mereka. Mungkin Maya ingin mengingatkan Naira untuk bersikap sopan. “Kan udah nyapa juga tadi,” bisik Naira.
“Ada Pak Cakra,” balas Maya berbisik. Naira mengernyitkan keningnya. Namun, begitu ia ingat apa yang terakhir kali menimpanya, Naira membulatkan matanya.
“DI MANA?!”
Maya menahan napasnya saat dengan cerobohnya sahabatnya itu malah berbicara dengan suara lantang. Apalagi, saat dengan tanpa pikir panjang gadis itu menoleh ke sisinya yang lain. Maya memilih untuk memalingkan wajahnya, bersikap seolah-olah tidak kenal dengan Naira.
Sementara itu, Naira yang akhirnya menyadari kecerobohannya hanya bisa membeku di tempat. Parahnya lagi, saat ia menoleh, ternyata Cakra juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan mereka bertemu, membuat Naira sulit untuk mengelak.
Naira tersenyum paksa saat merasakan dorongan kecil dari arah belakangnya yang berasal dari Maya. “S- selamat siang, Pak.”
Cakra mengangguk. Namun, setelah itu, sebisa mungkin Naira menghindari dari tatapan Cakra. Ia mengalihkan tatapannya ke kiri, menyenggol lengan Maya agar sahabatnya itu kembali menatapnya.
Sepertinya keadaan sedang berpihak pada Naira. Pintu lift terbuka saat tiba di lantai yang mereka tuju. Ia menoleh gugup ke arah Cakra. “P- permisi, Pak. Selamat siang.”
Setelah itu, Naira ngacir begitu saja. Bahkan Maya pun sampai tertinggal dan mendengus sebal karena kelakuan gadis barbar itu. Setelah berpamitan pada Cakra, Maya pun segera menyusul Naira yang sudah berlari kencang meninggalkannya.
“Sahabat sialan!”