Naira mengecek ponselnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Namun, ia ingin setidaknya ada orang yang tahu jika saat ini ia sedang bersama Cakra, untuk jaga-jaga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Di saat genting seperti ini, hanya Maya yang ada di dalam ingatan Naira. Hanya sahabatnya itu yang tahu tentang permasalahannya dengan Cakra.
To: Maya
[May ...]
[Maya!]
[May, plis respons dong! Ini urgent!!!]
Naira terus memperhatikan layar ponselnya, harap-harap cemas menunggu pesan balasan dari Maya. Tak lama kemudian, layar ponselnya menyala. Satu notifikasi pesan masuk dari Maya langsung menjadi perhatiannya.
From: Maya
[Apa sih, Nay? Minjem duit buat bayar paylater?]
To: Maya
[May, nggak se-simpel itu, May. Ini benar-benar gawat!]
From: Maya
[Ya gawat apa, anjir? Jangan bikin parno, deh! Kamu nggak lagi dalam bahaya kan?]
To: Maya
[Aku ketemu Pak Cakra LAGI.]
[Dan kamu tahu apa? Sekarang aku di mobilnya.]
From: Maya
[Lah … ngapain?]
[Nay, jangan bilang kamu mau nerusin niat kamu buat mepetin Pak Cakra?]
[Jangan sembrono, Nay! Keluar sekarang! Balik!]
To: Maya
[Aku juga nggak mau. Dia yang narik tanganku dan masukin aku ke mobilnya.]
[Katanya, dia mau minta tolong aku buat temenin dia ke acara reuni gitu.]
[Masuk akal nggak, sih? Kenapa aku banget, gitu? Emang dia nggak ada temen? Sus nggak, sih?]
[May, buru respons, sialan!]
Naira merasa sangat tidak sabaran menunggu pesan balasan dari sahabatnya itu. Bahkan, kakinya bergerak gelisan membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi nantinya. Ia berpikir, bagaimana jika ternyata Cakra tidak sebaik seperti penampilannya?
Pria itu punya kuasa. Dan Naira hanyalah gadis biasa yang bahkan dari segi tenaga pun kalah apabila Cakra akan melakukan sesuatu padanya.
“Kenapa? Kamu ada janji sama pacar kamu malam ini?” tanya Cakra.
Lagi-lagi, suara maskulin itu membuat Naira tersentak. Ia menggeleng ribut. “Enggak kok, Pak. Saya cuma …” Ia menjeda kalimatnya sebentar. Tiba-tiba saja, sebuah ide muncul di kepalanya. “IYA. Saya ada janji sama orang.”
“Tadi katanya-”
“Soalnya memang bukan pacar,” sela Naira. “Saya ada janji sama … gebetan saya. Iya. Pokoknya cowok yang lagi dekat sama saya, tapi saya ngelak pas Bapak bilang pacar, soalnya kami memang belum pacaran.”
Naira pikir, Cakra pasti akan merasa tidak enak jika Naira mengatakan dirinya sudah ada janji dengan orang lain. Apalagi, orang yang sekarang sedang pendekatan dengannya. Sebagai seorang bos, harusnya Cakra punya perasaan, kan, mengingat sekarang juga sudah bukan jam kerja?
Saat Cakra mulai buka mulut, Naira menoleh cepat, tidak sabar akan mendengar Cakra yang akan mempersilakannya untuk pulang. Namun …
“Oh … kalau begitu, bilang saja padanya untuk mengatur waktu pertemuan lain kali! Bilang saja, kamu ada acara dengan atasanmu di kantor,” ujar Cakra dengan santai.
Naira membulatkan matanya. Bukan seperti ini yang dia harapkan!
“Tapi, Pak-”
“Itu alasan jujur, nggak bohong juga. Kamu cuma nggak jelasin detail kalau atasan kamu lagi ngajak kamu buat jadi partnernya di acara reuni,” lanjut Cakra.
Naira mendengus sebal. Bisa-bisanya Cakra berkata demikian, seolah pria itu lebih penting dari calon pacar Naira. Namun kemudian, Naira tak bisa lagi mengelak. Ia akhirnya bungkam dan pasrah, menunggu akan di mana mobil yang sedang ia tumpangi ini berhenti membawanya.
Ternyata, Cakra membawa Naira ke sebuah butik yang cukup besar. Pria itu mengajak Naira turun. Sedangkan Naira masih diam di tempat sambil memperhatikan apa yang ia bawa di tangannya saat ini.
“Ya kali aku turun bawa belanjaan mini market gini. Mana isinya ada telur sama mie instannya juga lagi,” gumam Naira.
Tiba-tiba saja, pintu di sebelah Naira terbuka. Gadis itu membulatkan matanya, lalu tersenyum paksa setelah menyadari siapa yang telah membuka pintu di sampingnya.
“Ayo!”
“I- iya, Pak. Tapi ini gimana?” Naira menunjukkan belanjaannya yang sejak tadi ia pangku.
Cakra mengambil alih semuanya, lalu membawanya pergi. Naira pun sontak mengikuti langkah pria itu. Ia ingin tahu, ke mana Cakra akan membawa barang belanjaannya yang sangat berharga itu. Ternyata, Cakra menyimpannya di bagasi mobilnya.
“Sudah, kan? Ayo!”
Naira mengangguk kaku. Lalu, ia mengikuti Cakra melangkah memasuki butik ternama tersebut. Sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Namun, ia memillih untuk menyimpan sendiri pemikirannya itu karena tidak ingin terlalu berharap.
“Apa benar dia bakalan bawa aku ke pesta reuni teman-temannya? Tapi, kenapa bisa kebetulan banget harus aku?”