“Bibir kamu luka. Apa yang baru saja kamu lakukan?”
Naira menyentuh bibirnya sendiri. Akhirnya ia sadar jika ada rasa anyir yang mengular dari dalam bibirnya. Sepertinya, refleksnya tadi membuat ia tanpa sengaja menyakiti bibirnya sendiri.
“Ah … I- ini tidak papa. Pak, Bapak mau kan maafin saya? Sekali ini saja. Saya janji nggak akan berani ngulangin lagi. Saya akui saya salah buat yang tadi. Tapi, jangan pecat saya ya, Pak! Saya butuh banget kerjaan ini …”
Aresta Grup adalah salah satu perusahaan raksasa di ibu kota. Tidak mudah untuk bisa diterima di sana. Apalagi, gaji yang ditawarkan juga cukup menggiurkan - di atas UMK untuk masa sekarang, bukankah sudah cukup besar bagi orang yang belum punya pengalaman seperti Naira?
Cakra tersenyum misterius. Dan Naira mengartikan itu sebagai sebuah pertanda buruk. Namun, tak lama setelah itu, Cakra kembali buka suara yang membuat kepala Naira semakin terasa pening.
“Nggak papa, saya suka.”
“Hah?”
Belum sempat Cakra memberikan penjelasan, terdengar suara bel yang menyita perhatian keduanya. Cakra beranjak untuk membukakan pintu. Sedangkan Naira masih membeku di posisi sebelumnya - tangan tersilang dan punggung menyentuh tembok kamar hotel yang dingin.
Beberapa detik berikutnya, Cakra kembali ke arah Naira. Ia menyerahkan salah satu paper bag yang ia bawa pada Naira setelah memeriksanya. Dengan sigap, Naira pun menerimanya.
“Ini apa?”
“Baju kamu kotor, kan? Setidaknya ganti dulu baju kamu, baru kemudian kita bicara!” kata Cakra.
Naira membuka paper bag di tangannya dengan penasaran. Ternyata, isinya adalah sebuah gaun berwarna navy yang terbuat dari kain lembut seperti perpaduan sutera dan satin kelas terbaik.
“I- ini beneran buat saya?”
“Kamu nggak berpikir kalau saya akan memakai gaun, kan?” Cakra membalikkan pertanyaan Naira.
Setelah itu, Naira merogoh kain di dalam paper bag itu. Kebetulan, di dalamnya masih ada nota pembeliannya. Matanya membulat saat melihat harga dari selembar kain yang ia pegang.
“Pak, ini setengah dari gaji saya sebulan!” serunya.
“Kamu kurang suka? Biasanya kamu pakai dari merk apa? Saya bisa minta asisten saya buat carikan lagi,” kata Cakra sambil mengeluarkan ponselnya.
Naira menahan tangan Cakra yang sedang memegangi ponselnya, mencegah pria itu untuk menelepon asistennya dan meminta gaun yang baru. Namun, setelah ia sadar jika perbuatannya menyebabkan kontak fisik antara mereka, Naira pun segera menarik kembali tangannya.
“Maaf, Pak. Maksud saya bukan begitu. Cuma … gaun ini terlalu mahal. Jadi kalau disuruh ganti, maaf, saya agak keberatan dengan nominalnya. Jadi, nggak papa saya pakai gaun saya ini aja. Biar saya bersihkan di kamar mandi,” terang Naira, tidak ingin Cakra salah paham dengan sikapnya.
“Ganti aja! Lagi pula gaunnya sudah dibeli. Nggak bisa dibalikin juga. Kamu nggak perlu ganti harganya,” kata Cakra.
“Tapi-”
“Apa kamu juga butuh bantuan saya untuk berganti pakaian?” tawar Cakra.
Naira kembali membulatkan matanya. Dalam sepersekian detik, gadis itu pun menghilang dengan pintu kamar mandi yang langsung ia kunci dari dalam.
Cakra terkekeh gemas melihat sikap salah satu karyawannya di kantor itu. Cakra tahu, Naira adalah pegawainya. Ia pernah beberapa kali melihatnya. Dan entah kenapa, menurut Cakra gadis itu memiliki tipe wajah yang unik sehingga terlalu mudah baginya untuk mengingatnya.
Selang beberapa menit, Naira keluar dari kamar mandi dengan gaun biru pemberian Cakra. Cakra menatap penampilan gadis yang sedang tampak gugup itu dari atas hingga bawah.
“Kamu nggak nyaman?”
“Nyaman kok, Pak. Ya kali, gaun seharga hampir tiga juta nggak nyaman, hehe,” balas Naira dengan tawa kikuknya.
Cakra mengangguk. “Kamu tunggu sebentar! Saya juga perlu ganti baju.”
Naira mengangguk patuh. Lalu, ia beranjak menuju ke sebuah sofa yang ada di kamar itu sembari menunggu Cakra berganti pakaian. Saat pria itu keluar, Naira pun langsung berdiri dan menghampirinya.
“Sekali lagi saya mau minta maaf ya, Pak, soal insiden tadi. Saya benar-benar berjanji nggak akan mengusik Bapak lagi. Kalau perlu, saya juga bisa kok ngehindarin Bapak biar Pak Cakra nggak lihat muka saya selama di kantor. Tapi saya mohon, jangan pecat saya ya, Pak!” ujar Naira.
“Ah ya. Dan soal gaun ini, saya janji bakal ganti uangnya. Gimana kalau bulan depan? Kalau sekarang, tabungan saya juga kayaknya nggak cukup, Pak,” lanjutnya.
Cakra menghela napas panjang. Alih-alih membalas ucapan gadis di hadapannya, tangannya justru terangkat menyentuh rambut Naira yang tampak sedikit berantakan. Ia merapikannya dengan telaten, tanpa sadar jika gadis itu kini sedang berdiri kaku sambil meremat kedua ujung gaunnya dengan erat.
“Ini dia kenapa, sih? Perilakunya sekarang harus aku tafsirkan sebagai sesuatu yang baik atau buruk? Apa setelah ini dia bakal ngelakuin sesuatu yang kejam sama aku? Atau … nggak mungkin kan, kalau ternyata rencanaku ternyata berhasil?”