Naira tidak main-main saat mengatakan jika ia berniat resign setelah mendapat panggilan interview dari perusahaan lain. Meski hubungan antara dirinya dan Cakra tidak seperti yang ia takutkan, Naira sudah terlanjur tidak nyaman setiap kali berpapasan dengan orang itu.
Cakra memang tidak pernah lagi menegurnya. Palingan hanya mengangguk saja saat Naira menyapanya sebagai atasan dan bawahan. Namun, Naira pikir, tidak ada salahnya jika ia memulai kehidupan baru benar-benar dari nol lagi. Sebab biar bagaimana pun, Cakra tetap sudah tahu niat terselubung Naira saat itu, membuat Naira tidak punya harga diri lagi di hadapan bosnya.
“Kamu beneran diterima di Glits Corp, Nay? Gila, sih. Itu kan perusahaan gede. Bahkan omzet mereka tahun kemarin aja hampir dua puluh persen lebih tinggi dari perusahaan kita. Nggak kebayang sih, mereka bakal kasih offering gaji berapa, dengan pengalaman kamu yang terbilang lumayan itu,” ucap Dania, teman kerja Naira yang duduknya juga tidak jauh darinya.
“Aku sendiri juga masih nggak nyangka, sih. Makanya kemarin offering dari perusahaan yang satu juga masih aku keep. Cuma ini sih kayaknya aku bakalan fix ambil Glits,” jawab Naira.
“Terus surat pengunduran dirinya?” tanya Dania.
“Udah selesai, kok. Ini mau aku print. Nggak papa kan ya aku langsung ke Bu Rahma bawa ini?”
“Nggak papa sih harusnya. Cuma ya tetap, sesuai perjanjian kamu bakalan resmi diberhentikan di akhir bulan. Jadi itu artinya kamu masih harus kerja dua mingguan lagi. Glits nggak papa dengan itu?”
“Iya. Katanya Glits juga minta aku buat masuk masih bulan depan. Jadi harusnya aman, sih. Ya udah deh, Dan, aku ngasih ini ke Bu Rahma dulu, ya? Doain semoga langsung acc,” pinta Naira.
Sementara itu, di belakang Naira, Maya menatap sahabatnya itu dengan lesu. “Masih nggak rela banget ditinggal Naira pindah kantor. Hwaaaa!”
Naira mengetuk pintu ruang kepala HRD kantornya, Bu Rahma. Kebetulan, Bu Rahma sedang di dalam, sehingga Naira pun segera dipersilakan masuk.
“Ada apa, Naira? Mau ngajuin cuti, kah? Kayaknya jatah cuti kamu tahun ini masih lumayan, kan?” tanya Bu Rahma ramah.
“Enggak, Bu. Ini, saya mau ajuin surat pengunduran diri saya. Kebetulan saya sudah diterima juga di perusahaan lain. Dan rencananya mulai bulan depan saya akan mulai bekerja di sana,” kata Naira.
“Loh … udah diterima?”
Naira mengangguk.
Bu Rahma membaca surat pengunduran diri Naira. “Glits Corp, ya? Itu perusahaan bagus sih, Nay. To be honest, itu bakalan bagus juga buat karir kamu nantinya. Jadi, kalau saya pribadi nggak bisa ngelarang. Cuma masalahnya …”
Naira mengernyit. Perasaannya mulai tidak enak. Ia tidak tahu bagaimana galaunya dia nanti kalau sampai pengajuannya tidak di acc.
“Masalahnya apa ya, Bu?”
“Di kantor ini kan ada aturan baru. Mungkin kamu belum baca di grup. Untuk surat pengunduran diri dengan alasan selain karena sakit keras, kecelakaan atau meninggal, harus dapat persetujuan juga dari Pak Cakra. Jadi, saya harus menyerahkan dulu surat ini ke Pak Cakra. Gimana? Nggak papa kan kamu nunggu sebentar?”
Naira menggigit bibir dalamnya. Ia pikir, ia bisa kabur tanpa ketahuan pria itu. Namun, sepertinya ia sudah menemui jalan buntu. “I- iya, Bu. Nggak papa kok saya tunggu. Kira-kira kapan ya, Bu, keputusannya?”
“Saya sih bisa saja ngajuin surat ini sekarang juga. Tapi buat keputusan dari Pak Cakra, saya nggak bisa janjiin ya, Nay. Biar bagaimana pun kan perusahaan juga masih harus mempertimbangkan soal pengganti di posisi kamu. Bisa jadi sama Pak Cakra malah nggak akan di-acc. Kalau sampai seperti itu, biasanya nanti akan diberi opsi lain. Kamu bisa coba ajuin beberapa kesepakatan baru. Entah soal kenaikan gaji, atau semacamnya. Kamu bisa nyicil pikirkan dari sekarang soal hal itu,” terang Bu Rahma.
Naira menghela napas panjang. Ia jadi semakin takut kalau Cakra akan mengingat kembali semua tentang mereka, serta rencana busuk Naira tempo hari.
“Harusnya aman kan, ya? Lagian sebulanan ini dia kalem aja, nggak pernah jadi sok kenal atau apa. Aku harus optimis, pengajuanku akan diterima. Lagi pula alasan yang aku berikan juga udah jelas,” batin Naira.
“Ya udah, Bu. Nggak papa. Soal keputusan dari Pak Cakra, saya tunggu ya, Bu …”
“Iya. Ya udah kamu balik kerja dulu sana! Biar saya antar surat ini ke Pak Cakra dulu.”
Naira kembali ke ruang kerjanya. Ia tiba di sana bertepatan dengan datangnya jam istirahat makan siang.
“Nggak ada kerjaan yang numpuk, kan? Kantin langsung yuk!” ajak Maya.
Naira mengangguk. Mereka pun pergi ke kantin untuk mengisi perut, dan mencari sumber gosip-gosip terbaru di kantor. Sebab, kantin perusahaan mereka memang terkenal dengan gudangnya gosip-gosip hot seisi kantor.
Sayangnya, kegiatan seru itu terpaksa harus berakhir saat salah satu senior Naira datang menghampiri mereka. Yusuf namanya.
“Kenapa, Bang?” tanya Maya pada seniornya yang memang sering dipanggil Abang itu.
“Nay, kamu disuruh ke ruangan Pak Cakra,” kata Yusuf.
“Hah? Aku banget, Bang?”
“Iya. Tadi Bu Kadiv yang ngasih tahu. Kebetulan aku pas mau ke kantin juga, makanya titip pesen ke aku,” jawab Yusuf.
“Sekarang banget?”
“Iya, Nay …”
“Abang tahu nggak ini masalah soal apa?” sahut Maya penasaran. Tidak biasanya Cakra memanggil karyawan secara random. Jadi, Maya pikir pasti pria itu punya alasan khusus memanggil Naira.
“Waduh, kalau itu sih aku nggak tahu, May. Coba biar Naira langsung deh yang cari tahu!” balas Yusuf.
“Apa soal surat pengunduran diriku, ya? Soalnya tadi kata Bu Rahma approval-nya harus dari Pak Cakra langsung,” gumam Naira.
“Lah, kamu resign, Nay?!” kaget Yusuf.
Maya menarik lengan Yusuf untuk segera duduk di sampingnya. “Udah, sini makan aja, Bang! Temenin Maya! Biar Naira ke tempat Pak Cakra dulu.”
Naira mendengus sebal. Mau tidak mau, ia malah justru jadi harus bertemu dan bertatap muka dengan pria itu lagi, kan?
“Ya udah, May, Bang, aku ke Pak Cakra dulu, ya?” pamit Naira.
Maya menyemangati Naira, meski bibirnya melengkungkan senyum ejekan.
Naira sangat berhati-hati saat melangkah masuk ke ruang kerja bosnya. Beberapa detik yang lalu, Cakra mengizinkan gadis itu masuk.
“Duduk!” ucap Cakra dengan tatapan yang masih mengarah pada kertas-kertas di hadapannya.
Naira pun segera duduk di kursi yang ada di hadapan Cakra. Kini, hanya sebuah meja berukuran cukup panjang itu yang menjadi pembatas antara Naira dan Cakra.
“A- ada apa ya, Bapak manggil saya?” tanya Naira gugup. Ia harap-harap cemas, Cakra akan mengenalinya dan membawa kembali urusan mereka sebelumnya kali ini.
“Kenapa mau resign?” tanya Cakra. Perlahan, tatapan pria itu tertuju ke arah Naira.
“Itu, Pak. Di suratnya sudah saya jelaskan. Pada intinya, saya sudah diterima di tempat kerja lain. Dan saya juga ingin mencoba peruntungan saya di tempat lain, Pak. Sekalian untuk menambah pengalaman,” bohong Naira.
“Alasan spesifiknya?”
“Maaf?” bingung Naira.
“Kamu mau resign dan pindah karena ada masalah dengan teman, ruang kerja yang tidak nyaman, masalah gaji, atau … ada masalah pribadi lain?”
Naira menelan salivanya dengan kasar. Tebakan terakhir Cakra berhasil menyinggungnya, meski pria itu tidak menyebutkannya secara gamblang.
“Murni karena saya mau berkembang saja kok, Pak. Dan kalau boleh jujur, saya juga punya ekspektasi offering gaji yang lebih tinggi di sana, hehe …”
“Kamu lagi butuh uang?”
“Bukan lagi butuh lagi, Pak. Saya memang butuh. Saya tinggal di Jakarta masih ngekos. Bukankah namanya orang hidup pasti pengen ada perkembangan dalam hidupnya?” balas Naira.
Cakra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari raut wajah santai yang Cakra tunjukkan, Naira sudah mulai optimis jika surat pengunduran dirinya akan di-acc.
Cakra menyerahkan kembali surat pengunduran diri milik Naira. Naira yang masih memasang senyum palsunya pun sontak bertanya.
“Ini maksudnya bagaimana, ya, Pak? Pengunduran diri saya di-acc, kan?” tanyanya antusias.
“Kamu bisa kembali bekerja dan lupakan kalau kamu pernah mengajukan resign!”
“HAH?!”