“Kamu bisa kembali bekerja dan lupakan kalau kamu pernah mengajukan resign!”
“HAH?!”
Naira refleks berdiri mendengar ucapan Cakra yang seolah bertentang dengan keinginannya.
“Maksud Bapak, permohonan pengunduran diri saya ditolak?” tanya Naira, merasa perlu untuk mengkonfirmasi satu kali lagi. “Pak, saya sudah diterima sama perusahaan lain, loh. Soal aturan perusahaan, saya akan tetap ikuti, kok. Saya akan tetap bekerja sampai akhir bulan ini. Dan soal posisi yang saya tinggalkan, saya juga bisa bantu buat ikut mempromosikan lowongannya.”
Cakra menatap Naira datar. “Saya tetap menolak pengunduran diri kamu.”
“Tapi kenapa?” kesal Naira. Andai tidak ingat jika pria di hadapannya adalah orang yang harus ia hormati, pasti ia sudah berteriak kencang di depan wajahnya.
“Karena saya masih mau lihat kamu di sini,” jawab Cakra santai, dengan raut wajah seperti tidak ada beban.
Naira kembali duduk di kursinya. Ia berpikir keras tentang maksud ucapan pria itu. “Ini soal gaun yang pernah Anda kasih ke saya?”
Cakra mengernyitkan alisnya. Sepertinya, Naira sudah salah sangka. “Saya bukan orang yang akan mengungkit lagi soal barang-barang yang pernah saya berikan. Lagi pula, untuk yang satu itu, bukankah kita sudah impas?”
“Lalu kenapa?” geram Naira.
Namun, kenyataannya, Cakra tidak bisa menjawab. Ia sendiri bingung kenapa tiba-tiba bisa berkata demikian. Kenapa juga ia harus ingin melihat gadis itu tetap berada di sekitarnya?
“Kamu mengharapkan uang tambahan di kantor itu, kan?”
Naira mengangguk. Memang itu salah satu tujuannya mendaftarkan diri di kantor besar seperti Glits Corp.
“Saya bisa mempertimbangkan buat menaikkan gaji kamu. Selain itu …” Cakra menggantungkan kalimatnya, membuat kening Naira berkerut menahan rasa penasaran akan kelanjutan ucapan bosnya.
“Selain itu?”
“Sepertinya saya butuh bantuan kamu.”
“Maksud Bapak?”
“Ingat ucapan kamu bulan lalu? Kata kamu, kamu ingin mencoba menggoda saya, kan?” tanya Cakra dengan senyum miring di bibirnya.
Naira membulatkan matanya. Tidak menyangka jika Cakra akan membahas kembali masalah itu. Ia pikir, Cakra sudah melupakannya.
“Bagaimana kalau kita realisasikan hal itu sekarang?” tawar Cakra, membuat Naira nyaris lupa cara bernapas.
***
Naira uring-uringan sendiri di ruang kerjanya, membuat beberapa rekannya menatapnya penasaran. Sejak tadi, Maya mewakili teman-temannya sudah berusaha bertanya apa yang terjadi pada Naira. Namun, Naira menolak untuk menjawab. Ia malah merengek tidak jelas tiap kali Maya mencoba membuka topik pembicaraan tersebut.
Sepulang kerja, Naira merapikan barang-barangnya dengan lesu. Ia tahu, Maya berusaha menyesuaikan dengan gerakannya yang lambat untuk mencari peluang agar mereka bisa mengobrol saat ruangan sudah sepi.
“Nay, kenapa? Kamu kayak gini setelah keluar dari ruangan Pak Cakra loh. Memang apa yang dia lakuin ke kamu?” tanya Maya pada akhirnya, setelah berjam-jam menahan rasa penasaran.
“Pengunduran diriku ditolak. Dan …”
“Dan?”
“Mayyy!!!” Naira kembali merengek seperti anak kecil. “Aku harus gimana?”
Maya yang melihat sahabatnya seperti itu pun berusaha untuk menenangkannya. Ia mengusap punggung Naira dan berusaha membujuknya untuk diam.
“Gimana aku bisa kasih masukan kalau kamu aja nggak mau cerita?” kata Maya.
“Kamu nggak akan ngerti, May. Bahkan aku juga nggak ngerti,” keluh Naira.
“Cukup ceritain aja detail apa yang terjadi di ruangan Pak Cakra! Buruan, ih! Udah penasaran banget, tahu?” kesal Maya.
“Dia bilang, dia mau coba menjalin hubungan sama aku,” lirih Naira. Suaranya terdengar seperti tidak bertenaga sama sekali.
Ya. Itulah yang Cakra katakan pada Naira. Pria itu mengatakan jika ia tertarik dengan Naira, dan mengajak gadis itu untuk memulai sebuah hubungan. Naira tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu. Tidak mungkin jika Cakra tertarik pada Naira sebagai seorang pria pada gadis yang ia sukai, kan? Pasti ada hal lain yang membuat Cakra tiba-tiba ingin menahan Naira dengan cara seperti itu.
“Apa dia mau kasih aku pelajaran, ya, karena aku sempat punya pemikiran buat godain dia? Bisa aja, kan, May, dia nggak terima dan mau cari cara buat balas dendam ke aku?”
Bahu Maya merosot. “Jujur, Nay. Dugaan kamu itu lebih masuk akal dibanding kita mikir kalau Pak Cakra beneran suka sama kamu. I think, you’re in danger. Jelas, Pak Cakra bukan orang yang bisa kita lawan. Kamu tahu sendiri, buat kabur dari pria itu aja pasti bakalan susah. Secara, pengunduran diri kamu aja ditolak, kan?”
“Dan kamu tahu apa gilanya lagi? Di depan mataku dia menelefon HRD Glits Corp, mengatakan kalau aku mengundurkan diri dari posisi yang aku lamar, dan memutuskan buat lanjut bekerja di sini,” imbuh Naira, membuat Maya turut semakin meradang.
“Gila juga ya, dia? Aku rasa dia nggak main-main, deh. Kamu sih, Nay, dulu segala nantangin. Udah aku bilangin, kan, sama orang kayak Pak Cakra kita harus hati-hati!” omel Maya.
“Maya … bantu aku mikir jalan keluar, May! Aku nggak mau jadi salah satu mainan cowok berengsek itu. Kamu harus bantuin aku!” rengak Naira.
“Apa yang bisa aku lakuin? Yang kamu hadapi sekarang adalah seorang Cakrawala Aresta, Nay. Dia juga bos aku. Aku nggak punya cukup keberanian buat membelot dia. Aku masih mau kerja di sini,” kata Maya.
“Terus, aku harus gimana?”
Maya mengangkat kedua bahunya. “Aku akan kabarin kalau aku ada ide. Buat sekarang, ini semua terlalu mengejutkan buat aku. Kepalaku juga pusing, Nay …”
Saat mereka tenggelam dalam obrolan, tiba-tiba saja, tampak bayangan tak asing mendekat ke ruang kerja mereka. Kebetulan, salah satu sisi ruangan kerja mereka yang menghadap ke lift terbuat dari kaca, sehingga mereka bisa melihat siapa saja yang berlalu lalang di arah sana.
Naira menyipitkan matanya. Ia merasa tidak asing dengan sosok itu. Belum usai kepalanya menebak-nebak siapa sosok itu, Maya sudah bergerak heboh di sampingnya.
“Nay, dia nggak lagi nyamperin kamu, kan?”
“Hah, siapa?” bingung Naira.
Namun, lama-kelamaan sosok itu semakin dekat. Naira akhirnya bisa menangkap jelas seperti apa wajah orang itu. Pupil matanya membesar. Dengan gerakan cepat, ia segera bersembunyi di bawah meja.
Naira memegangi kaki Maya, dan tatapannya tampak memelas. “Kalau dia nyariin, plis bilangin aku udah pulang!”
“Mana bisa, bego! Kayaknya juga dia udah terlanjur lihat kamu. Kamu aja yang telat ngenalin dia,” ketus Maya.
Mana mungkin ia bisa membohongi Cakra, saat ia sendiri tahu jika Cakra sudah terlanjur menatap Naira beberapa detik yang lalu.
Suara langkah itu perlahan mulai terdengar. Naira menunduk saat melihat wajah tegang sahabatnya. Perasaannya semakin tidak enak saat suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat.
“Apa yang kamu cari di bawah sana?”
Detak jantung Naira serasa berhenti seketika. Suara itu terdengar begitu dekat. Dan saat ia mendongak, ternyata Cakra sudah berdiri menjulang sambil memegangi punggung kursi kerjanya, menggesernya sedikit agar bisa melihat gadis malang itu dengan lebih jelas.
Naira mengumpat dalam hati. Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya ia untuk kabur?
Cakra menggeser posisi berdirinya, memberi ruang bagi Naira untuk berdiri. Naira pun segera bangkit dengan kepala tertunduk.
“N- Nay, udah mau jam setengah enam, nih. Aku duluan, ya!” pamit Maya tiba-tiba.
Naira sontak melotot protes ke arah sahabatnya itu. Ia berusaha meraih lengan Maya, tapi Maya sengaja menghindar.
“Maaf, Pak. Saya pamit pulang duluan, ya,” pamit Maya pada Cakra, yang hanya diangguki sekali oleh Cakra.
“May!” panggil Naira.
“May, tadi katanya mau bareng?”
“May!”
Tamat sudah riwayat Naira. Bahkan sahabat terbaiknya saja memilih untuk melepaskan genggaman tangannya demi menyelamatkan dirinya sendiri.
Dan kini, tersisalah Naira dan Cakra di ruangan itu.