Acara reuni Cakra dan teman-temannya itu selesai pada pukul sebelas malam. Sebenarnya, acaranya belum benar-benar selesai. Masih banyak yang memilih tinggal dan menunggu fajar sambil berpesta. Namun, Cakra memilih pulang cepat melihat gadis yang datang bersamanya sudah tampak menahan kantuk dan merasa tidak nyaman.
Naira menolak saat Cakra ingin mengantarnya hingga ke depan kosnya. Ia meminta Cakra berhenti di jalan besar dan menurunkannya di sana.
“Kamu serius? Ini sudah malam,” Cakra mengingatkan.
“Nggak papa, Pak. Lagian kos saya udah nggak jauh. Cuma dua ratusan meter aja dari sini,” kata Naira.
Gadis itu sudah sangat mengantuk. Ia tidak mau membuat huru-hara di kosnya jika sampai teman-teman kosnya tahu ia diantar pulang oleh mobil mewah. Jika dengan berjalan kaki, setidaknya ia bisa senyap. Teman-temannya tidak akan curiga dan mengintip dari jendela kamarnya.
“Tapi, Pak. Ini bajunya nggak papa saya bawa dulu? Saya udah nggak sanggup kalau harus ganti dan nganter baju ini ke sini lagi. Kalau sepatunya, nggak papa kok saya lepas sekarang. Ini-”
Cakra menahan tangan Naira yang akan melepas high heelsnya.
“Nggak perlu dilepas. Lagian barang-barang itu nggak akan kepakai juga di saya,” ucap Cakra.
“Lah terus? Kalau suruh ganti sesuai harganya, saya nggak mau ya, Pak!” Gadis itu mendelik, membayangkan jika ia akan dianggap membeli pakaian yang ia pakai. Lagi pula, bukan kemauannya kan membeli barang-barang mahal ini?
Cakra tersenyum miring. “Ambil aja! Anggap saya lagi sedekah sama kamu!”
“Lah? Tapi saya bukan kaum dhuafa juga. Nggak bisa, gitu, sebutannya diganti jadi hadiah? Kan lebih enak didengar,” protes Naira.
“Kamu ini banyak mau, ya?” heran Cakra. “Ambil! Terserah mau kamu anggap apa. Kalau memang tidak mau, saya juga nggak mau nunggu kamu ganti kelamaan. Jadi, kamu lepas aja dan langsung kembaliin sekarang!”
Naira menyilangkan tangannya di depan d**a. “S- saya ambil aja, Pak.”
“Tapi ini serius? Baju aja deh, Pak. Baju aja udah mahal soalnyal. Sepatu sama tas biar saya tinggal di Pak Cakra. Nggak papa saya nyeker sampai kosan.”
“Ambil, Naira!”
“Tapi-”
“Tunggu sebentar!”
Cakra keluar dari mobil, diikuti juga oleh Naira. Gadis itu memperhatikan Cakra yang sekarang sedang menuju ke bagasi. Kemudian, akhirnya ia ingat. Belanjaannya masih di bagasi mobil pria itu.
“Makasih ya, Pak. Makasih juga buat gaunnya,” ungkap Naira setelah menerima belanjaannya dari Cakra.
Namun, tidak hanya belanjaan di dalam kantong kresek putih saja yang Cakra berikan pada Naira. Melainkan juga sebuah paper bag black doff yang berlogokan brand dari butik yang tadi mereka kunjungi.
“Ini-”
“Ambil! Bayaran kamu atas malam ini,” potong Cakra.
Naira menatap Cakra tidak percaya. Ia tahu pria itu kaya. Namun, yang tidak Naira sangka adalah, ternyata pria itu juga sangat royal dengan orang asing seperti Naira.
“Pak, kayaknya ini udah berlebihan banget, deh,” protes Naira.
“Udah terlanjur saya beli. Kalau kamu nggak mau, boleh kamu buang,” ucap Cakra final.
Setelah mengatakan itu, Cakra dengan santainya meninggalkan Naira, kembali ke sisi depan mobilnya. Pria itu segera masuk, lalu meninggalkan Naira tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi.
Naira menatap tas dan paper bag yang ia tenteng. Masih tidak menyangka akan mendapat rezeki nomplok semacam ini. Namun, di satu sisi ia juga mulai merasa was-was. Ia masih belum tahu, apakah hadiah-hadiah ini adalah sebuah pertanda baik atau justru kebalikannya untuk hari esok.
“Daripada ngasih barang-barang mahal kayak gini, nggak bisa apa dia bilang makasih aja?” gumam Naira.
***
Naira baru saja meletakkan pantatnya di kursi kerjanya. Namun, tiba-tiba ia merasakan tarikan keras dari sampingnya, yang ternyata pelakunya adalah sahabatnya sendiri.
Maya menyeret kursi yang Naira duduki mendekat ke arahnya.
“Apaan sih, May? Pagi-pagi udah ngerusuh aja. Lagian sejak kapan kamu berangkat ngantor sepagi ini?” kesal Naira.
“Nggak nyadar semalam kamu ngilang nggak ada kabar? Mana udah terlanjur mancing rasa penasaran aku lagi.” Maya membalas dengan kesal pula. “Sekarang jelasin! Apa aja yang terjadi semalam antara kamu sama Pak Cakra!”
Naira memutar bola matanya malas. Mau menjelaskan dari mana pun ia tidak tahu. “Ya itu. Intinya dia minta aku nemenin ke reuni dia. Aku didandanin sedemikian rupa, dibawa ke salon, beliin baju, tas, sepatu. Gitu-gitu lah,” terang Naira.
Pupil mata Maya melebar mendengar ucapan sahabatnya. “Segitunya?”
“Iya. Kaget, kan?”
“Segitunya kamu nggak punya baju sampai buat ke acara kayak gitu aja Pak Cakra beliin kamu?” lanjut Maya yang membuat Naira mendengus sebal.
“Nay, kalau kamu nggak ada baju lagi, kan bisa kabarin aku, pinjam ke aku! Tas sepatuku juga masih ada yang oke, kok. Nggak malu-maluin banget dibawa ke acara kayak gitu. Tapi plis, jangan keganjenan sama Pak Cakra, apalagi niat morotin dia deh! Bahaya!”
Naira hampir saja menampol sahabatnya yang sudah salah sangka itu. Namun, begitu mendengar dua kalimat yang Maya katakan, Naira seketika teringat dengan kejadian semalam, serta ucapan teman-teman Cakra saat di pesta.
Kali ini, Naira sendiri yang berinisiatif untuk mendekatkan kursinya ke arah Maya. Ia mulai mengurangi volume suaranya agar tidak ada orang yang mendengar topik pembicaraan mereka.
“Soal bahaya, kamu benar, May. Dia nggak se-ijo yang kita pikir. Red flag banget lah pokoknya,” bisik Naira serius.
Ia ingin me-warning sahabatnya itu, agar tidak sampai terpesona dengan bos mereka yang ternyata punya dua muka itu.
Namun, bukannya menanggapi ucapan Naira dengan serius, Maya justru tertawa. Naira pun mendecak sebal. “Ish. Dikasih tahu juga. Lagian aku ngasih tahu kamu kan tujuannya baik, biar nggak sampai naksir itu cowok!”
“Iya deh iya, percaya. Biar aku nggak naksir, soalnya biar nggak jadi saingan kamu, kan?” canda Maya. “Tenang, Nay. Lagian kamu tahu sendiri, sama mantan aku yang nggak sebegitu kayanya kayak Pak Cakra aja aku udah ada pengalaman buruk. Mana mungkin masih berani mepetin orang kayak Pak Cakra? Trauma, Nay. Cukup sekali aja udah …”
“Bukan gitu. Tapi dia memang nggak sebaik yang kita lihat selama ini. Kamu percaya nggak kalau dia suka gonta-ganti cewek? Bahkan dalam setahun bisa ganti gandengan sampai tiga kali,” kata Naira ngotot.
“Ya paling yang pertama asistennya, kedua sekretarisnya, ketiga sodara jauh dia, dan semalam sama kamu kali, jadi dalam setahun ini kelihatan banyak gandengan,” elak Maya.
Sepertinya, seorang Cakrawala Aresta memang sudah terlanjur memiliki imej yang terlalu baik di kantor, sampai Maya saja bisa tidak mempercayai ucapan sahabatnya.
“Terserah deh,” kesal Naira. Ia kembali menendang kursinya menuju meja kerjanya. Namun, Maya seperti tidak rela hal itu berlalu begitu saja.
“Terus terus, ada kejadian apalagi, Nay? Soal rencana resign kamu juga gimana? Jadi?”
Naira berpikir sejenak. Sebenarnya ia sudah mempertimbangkan ini sejak semalam. Namun, hingga pagi ini ia belum punya keputusan final.
“Kayaknya harus aku tunda sebentar lagi. Aku nggak bisa resign sebelum aku dapat panggilan interview di tempat lain. Tabunganku nggak setebal itu buat meng-cover biaya hidup di ibu kota tanpa gaji bulanan,” terang Naira nelangsa.
Bukannya prihatin dengan keadaan temannya, Maya justru terkekeh. “Bilang aja mau cari kesempatan lagi buat mepetin Pak Cakra. Jadi curiga kalau memang ada apa-apa semalam, sampai kamu memutuskan buat menunda resign.”
Naira hanya menoleh sahabatnya itu dengan menunjukkan raut wajah malas. Kalau Maya saja sudah tidak bisa mempercayainya, lantas, harus pada siapa lagi Naira menuangkan keluh kesahnya tentang pria yang berstatus sebagai bos mereka itu?