02 - Keceplosan!

820 Words
Cakra yang kaget dengan sesuatu yang menabraknya, refleks menangkapnya. Di waktu besamaan, Naira menumpahkan minuman yang ia bawa ke bajunya dan Cakra, membuat pria itu terperanjat kaget setelah menegakkan tubuh Naira. “M- maaf. Saya nggak sengaja. Maafkan saya, Pak,” ungkap Naira dengan nada dibuat seolah gugup dan terkejut. Ia mengusap bagian jas dan kemeja Cakra yang basah dengan tisu. Namun, warna kekuningan dari orange juice itu justru semakin meluas. “Pak, kemeja Anda …” Cakra mendengus sebal. Ia menatap Naira dengan tatapan tajam. Ia sedikit mendorong Naira saat Naira masih berusaha menyentuh tubuhnya. “S- saya janji bakal tanggung jawab. Saya-” “Bagaimana caranya kamu akan bertanggung jawab?” potong Cakra. “Baju itu pasti mahal, saya nggak akan sanggup kalau disuruh gantiin. Tapi saya bisa nyuciin kok, Pak. Gimana kalau Bapak ikut saya sebentar, biar saya bersihkan dulu baju Bapak? Lalu, setelah pesta selesai nanti, biar bajunya saya bawa dulu untuk saya cuci,” kata Naira. Cakra menghela napas jengah. Sayangnya ia tidak dapat menangkap maksud dari ucapan gadis licik itu. Di matanya, Naira tampak benar-benar merasa bersalah. “Nggak perlu. Lupakan!” “Tapi, Pak-” “Arman!” Cakra memanggil asistennya. Lalu, pria itu mengangguk sebelum pergi. Naira tidak tahu apa yang sedang Cakra rencanakan. Namun, ia merasa jika rencananya telah gagal. “Sialan! Mana aku pakai gaun berwarna cerah lagi. Kalau begini kan jadi aku snediri yang rugi,” batin Naira. Gadis itu hendak beranjak. Namun, seseorang menahan lengannya, membuat ia kembali berbalik. Naira menelan salivanya kasar saat menyadari jika Cakra lah yang menahan lengannya. Pria itu menatap Naira dingin, membuat perasaan gadis itu menjadi was-was. “Bukankah baju kamu kotor? Kamu nggak mau ganti baju dulu?” tanya Cakra. Naira gelagapan. Ia tidak menyangka jika Cakra akan memperhatikan bajunya yang juga terkena cairan orange juice itu. “I- ini … iya, Pak. Saya mau bersihkan sebentar-” “Ikut saya!” Naira membulatkan matanya, saat Cakra tiba-tiba menariknya menjauh dari keramaian. Perasaannya tidak enak. Alarm bahaya berbunyi nyaring di kepalanya. Ia pikir, mungkin saja Cakra marah dengan apa yang terjadi pada mereka tadi. Cakrawala Aresta. Pria itu belum lama bergabung dengan perusahaan. Ini masih masuk dua bulan pertama Cakra memunculkan batang hidungnya. Naira sendiri belum tahu, seperti apa kepribadian anak lelaki dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Dan akhirnya, sekarang ia baru kepikiran, bagaimana jika rencananya gagal dan Cakra marah padanya? Bagaimana jika Cakra akan memecatnya dan meminta ia ganti rugi dalam nominal yang besar? “Arrrghh! Nay! Ceroboh banget, sih? Harusnya kamu dengerin ucapan Maya!” jerit batin gadis berusia dua puluh empat tahun itu. Meski ia ingin mencoba merasakan apa yang Maya rasakan, berhadapan dengan kehidupan orang kaya lalu ditawari uang dalam nominal besar, harusnya Naira tidak coba-coba mempraktikkannya dengan orang yang punya kuasa besar dalam hidupnya seperti anggota Keluarga Aresta. Naira membulatkan matanya saat tahu di mana tujuan akhir Cakra membawanya. Saat pegangan tangan pria itu terlepas, Naira langsung menyilangkan tangannya di depan d**a, sambil terus memperhatikan atasannya itu dengan was-was. Tak cukup sampai di situ. Tindakan Cakra yang berikutnya, membuat alarm tanda bahaya di kepala Naira berbunyi semakin nyaring. Gadis itu berteriak histeris dengan mata yang masih membuka sempurna. “Kamu kenapa?” tanya Cakra sambil membalikkan badannya menatap Naira. Naira bergerak mundur. Ia semakin resah saat Cakra menoleh ke arahnya. “J- jangan dekat-dekat!” “Saya cuma-” “S- saya janji. Saya janji nggak akan coba-coba godain Pak Cakra lagi. Saya juga janji, nggak akan berpikiran macem-macem lagi sama Pak Cakra. Saya mohon, maafkan saya, Pak!” cicit Naira dengan suara bergetar. Kening gadis itu bahkan sudah dibanjiri oleh keringat dingin. Sementara itu, Cakra mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Naira. Ia berusaha menela’ahnya. Setelah berhasil menerima maksud ucapan gadis itu, kerutan di keningnya pun menebal. Ia berkacak pinggang sambil mendekat ke arah Naira, membuat gadis itu semakin gelagapan. “Saya cuma bercanda. Saya nggak maksud buat main-main sama Bapak. Saya janji besok-besok nggak akan berani lagi,” gumam Naira. “Oh … jadi yang tadi itu kamu sengaja? Dan kamu berniat untuk menggoda saya?” Naira menelan salivanya dengan kasar. Ia baru sadar, kalau ia baru saja mengatakan yang sebenarnya. Ia menggigit bibinya dengan keras, menyesali kecerobohannya yang bisa saja membahayakan nasibnya. “Kamu … cukup berani juga, ya? Padahal kamu tahu saya adalah atasan kamu di kantor. Tapi kamu tetap nggak ada takutnya main-main sama saya,” ujar Cakra. Naira semakin merasa terpojokkan. Tamat sudah riwayatnya. Bahkan, jika Cakra mau, dia pasti bisa saja memecat Naira sekarang juga. “Saya benar-benar minta maaf, Pak. Awalnya saya cuma niat bercanda aja, kok. Tapi saya akui saya tetap salah. Maka dari itu, saya minta maaf,” ungkap Naira, siapa tahu, Cakra mau mengampuninya kali ini. Cakra menatap sesuatu yang aneh di wajah Naira. Ia menangkap sesuatu yang mengganggu indera penglihatannya. Lalu, tangannya terangkat. Ia menyentuh ujung bibir gadis di hadapannya, membuat Naira sontak mundur karena kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD