15 - Apartemen 2

1367 Words
Setelah menyelesaikan makan malam dan bekerja sama membereskan dapur, Cakra mengajak Naira berkeliling hunian itu. Naira sempat terdiam lama saat berada di depan sebuah kaca besar yang menampakkan keindahan kota di malam hari. Lampu-lampu gedung serta lampu kendaraan yang memenuhi jalanan tampak begitu cantik dari atas sini. Sepertinya, hanya dengan melihat keindahan seperti ini saja, perasaan letih setelah seharian bekerja bisa hilang dengan mudah. Tak heran jika seorang Cakrawala Aresta memilih tempat ini untuk ia tinggali. “Masih ada beberapa tempat yang mau aku tunjukkan ke kamu,” ucap Cakra, membuyarkan lamunan Naira. Naira menoleh dan mengernyitkan keningnya. “Memang nggak papa aku masuk-masuk ke tempat tinggalmu begini? Maksudnya, aku rasa ruang tamu, dapur sama toilet udah cukup.” “Kamu belum lihat kamarnya, kan?” Naira menelan saliva dengan kasar. Tubuhnya seketika menegang. Itulah yang sejak tadi ia takutkan. Ia selalu takut jika Cakra akan tiba-tiba membawa topik tersebut. “Kenapa? Kamu masih nggak percaya sama aku?” tanya Cakra. Pria itu berjalan mendekati Naira yang membeku di tempatnya. Namun, Naira secara refleks bergerak mundur, menghindar dari pria itu. “Nay …” “Kamu udah janji nggak akan macam-macam sama aku!” Naira berusaha untuk mengingatkan kembali, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Cakra tersenyum teduh. “Justru karena aku udah janji nggak akan macam-macam, harusnya kamu percaya, kan? Aku cuma mau tunjukin sesuatu sama kamu.” “Harus banget masuk kamar? Tapi itu kan tempat pribadi dan-” “Harus. Karena justru tujuan aku bawa kamu ke sini, karena ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan di sana,” potong Naira. “Nay, bisa, kan, percaya sama aku kali ini aja?” Naira menghela napas panjang. Seharusnya, tidak apa-apa, kan, selagi dirinya masih dalam keadaan sadar? Ia akhirnya mengangguk, membiarkan Cakra menggandeng tangannya memasuki sebuah ruangan lain. Itu adalah kamar utama yang ada di unit ini. Ukurannya sangat besar, dengan sebuah tempat tidur berukurang king size yang tampak mewah di tengah ruangan. Cakra mengajak Naira menuju salah satu sisi ruangan. Ia membuka gorden, hingga Naira bisa melihat pemandangan kota di malam hari, sama seperti yang ada di depan tadi. “Wah!!!” “Nggak nyesel, kan, aku bawa kamu ke sini?” tanya Cakra. Naira menoleh. Ia tidak menjawab. Masih terbesit ketakutan dalam hatinya, meski di sisi lain ia juga tidak bisa membohongi dirinya jika ia sangat suka dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Naira menyentuh kaca lebar di depannya. Andai saja ia bisa lebih sering melihat pemandangan seperti ini, mungkin ia tidak akan ketergantungan dengan minyak angin dan koyo. Pikirannya akan langsung fresh setiap hari, dan fisiknya akan terasa lebih segar. Namun, apalah daya. Ia hanya tinggal di kos-kosan dua petak, dan satu-satunya pemandangan yang bisa ia saksikan dari jendela kamarnya hanyalah deret pintu kos yang lain serta jemuran para penghuni kos. “Kamu suka?” tanya Cakra lagi. “Aku rasa cuma orang nggak waras yang nggak akan suka tempat ini. Kamu beruntung bisa nemuin tempat kayak gini. Setidaknya, kamu bisa healing setiap hari hanya dengan membuka gorden kamarmu,” balas Naira. Ia sadar, di dunia ini, ada orang yang beruntung terlahir dengan segala fasilitas yang memadahi, tetapi dirinya bukan termasuk ke dalam golongan itu. Meski demikian, Naira tidak pernah menyalahkan keadaan. Ia tahu, semua sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan yang harus ia lakukan hanyalah berusaha bertahan, dan melakukan yang sebaik mungkin. “Password apartemen ini adalah tanggal lahir kamu,” kata Cakra. Naira menoleh. Keningnya berkerut, merasa aneh dengan pernyataan Cakra. “Kenapa gitu? Kenapa nggak tanggal lahir kamu atau sesuatu yang lebih berhubungan dengan kamu? Lagi pula, aku nggak harus tahu password tempat tinggal kamu. Aku nggak mungkin datang ke sini kalau nggak sama kamu.” Cakra terkekeh. Ia menyentuh pundak Naira, memutar bahu gadis itu lalu mendorongnya menuju ke satu ruangan lain yang terhubung dengan kamar utama tersebut. Ternyata, ada area khusus untuk pakaian dan barang-barang pribadi milik pemilik kamar itu. Hanya saja, Naira merasa aneh dengan apa yang ia lihat sekarang. Di depannya saat ini, ada sebuah lemari besar dengan pintu kaca sehingga Naira bisa melihat apa saja yang ada di dalamnya. “Tas wanita? Ini- kamu-” Naira kehabisan kata-kata. Tidak mungkin, kan, Cakra ingin memamerkan pada Naira jika selama ini ia tinggal dengan seorang wanita? Naira langsung menyingkir, melepaskan tangan Cakra yang ada di pundaknya. Ia berbalik dan menatap pria itu penuh tanya. “Sebenarnya siapa yang tinggal di sini? Kenapa ada tas-tas wanita juga?” tanyanya. “Kamu.” “Kamu- APA?!” pekik Naira. Ia merasa, seperti ada yang salah dengan telinganya. Sepertinya ia salah dengar. “Maksud kamu?” “Untuk ke depannya, kamu yang akan tinggal di sini. Aku siapin ini semua buat kamu,” jawab Cakra dengan nada bicara santai, seolah apa yang ia ucapkan bukanlah hal yang serius. Naira terdiam selama beberapa detik. Otaknya seketika stuck, tak dapat berpikir jernih. Ia tidak mungkin salah tangkap dengan apa yang Cakra katakan, kan? Namun, justru tidak mungkin lagi jika tiba-tiba ada seorang pria yang memberikan satu hunian mewah beserta isinya pada wanita yang baru ia kencani beberapa hari, kan? “Nay …” “Kayaknya ada kesalah pahaman di sini. Oh! Mungkin karena udah malam. Kayaknya lebih baik aku pulang sekarang. Kamu gimana? Mau langsung istirahat aja? Aku nggak papa kok pulang sendiri. Toh kamu udah sampai sini juga,” ucap Naira dengan gugup. Ia mendadak merasa salah tingkah. Namun, saat gadis itu akan beranjak, Cakra menahan lengannya. Ia membawa kembali Naira ke hadapannya, lalu menatapnya dengan intens. “Kenapa?” Alis Naira mengernyit. Alih-alih dirinya yang bertanya, justru Cakra lah yang lebih dulu melempar pertanyaan tersebut. “Kamu nggak suka sama tempatnya? Ada sesuatu yang bikin kamu kurang sreg di sini? Kalau gitu, kita bisa ganti,” lanjut Cakra. Naira langsung mendorong Cakra menjauh. Jika ini adalah sebuah candaan, Naira rasa ini sudah keterlaluan. Naira memang berasal dari kalangan menengah bawah yang tidak akan mungkin bisa menginjakkan kaki di tempat seperti ini tanpa koneksi seperti Cakra. Namun, bukan berarti ia bisa direndahkan seperti ini, kan? “Aku rasa ini udah cukup berlebihan. Aku pulang dulu aja, ya?” “Bilang dulu ke aku, bagian mananya yang kamu nggak suka! Atau kalau kamu mau, aku bisa cari tempat tinggal lain buat kamu. Kamu lebih suka apartemen atau rumah? Terus-” “Cakra, stop!” sentak Naira. “Ini bukan waktunya bercanda. Yang lagi kamu omongin sekarang itu aset yang nilainya milyaran, bukan sesuatu yang bisa diomongin ngasal!” “Tapi aku serius mau kamu tinggal di sini. Aku nggak ada maksud merendahkan kamu atau bagaimana. Aku cuma mau, kamu punya kehidupan yang lebih nyaman, dan aku rasa tempat ini cocok buat kamu,” ucap Cakra. Naira menahan napasnya selama beberapa saat. Mimpi apa dia semalam, sampai benar-benar akan mendapat kesempatan untuk tinggal di tempat seperti ini? Namun, Naira segera ingat. Jika sejak awal, hubungannya dengan Cakra tidak benar-benar serius. Ia mendekati Cakra hanya demi membuktikan ucapan Maya jika ia bisa tetap berpikir realistis ketika sedang menjalin hubungan, serta ingin mencoba peruntungan mendapat nominal yang besar dari keluarga Cakra yang suatu saat nanti ingin mengusirnya. Melihat niatnya yang begitu buruk, bukan tak mungkin, kan, Cakra yang terlihat tiba-tiba ambisius ingin memilikinya juga memiliki maksud sama yang tidak lebih baik dari itu? “Maksudnya, kamu mau kita tinggal bareng?” tanya Naira, berusaha mencari kelemahan dari alasan Cakra yang menyuruhnya tinggal di sini. “Aku tahu kamu nggak akan nyaman dengan itu. Kebetulan, aku punya properti lain nggak jauh dari sini. Jadi, aku akan tetap tinggal di sana.” “Terus aku?” “Kamu bisa tinggal di sini sendiri. Aku pasti akan sering datang. Kita bisa terus barengan, dan hanya pisah saat kita mau tidur,” jawab Cakra dengan senyum tercetak di bibirnya. Naira meremat rok yang ia kenakan. Mulutnya membisu. Ia tidak bisa membuat keputusan sebesar ini dalam waktu singkat. Pindah ke sebuah hunian mewah dengan fasilitas super lengkap seperti ini, bukankah hanya orang bodoh yang akan menolaknya? Namun, di sisi lain, Naira juga merasa ada yang salah jika ia tiba-tiba menerima pemberian besar dari kekasihnya itu. Bukan seperti ini yang Naira rencanakan. Ini sudah melenceng jauh dari apa yang sejak awal melatar belakanginya mendekati seorang Cakrawala Aresta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD