Bab 11

1337 Words
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis." Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu. "Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "Sepertinya Anda butuh bantuan." Tanpa persetujuan Divya, ia membopong tubuh Divya menuju ke mobil yang terparkir. "Gue benci kudu berada di posisi kek gini," gerutu Divya. Ia tidak punya cukup banyak energi untuk membuat Ghazi kewalahan seperti biasanya. Sehingga yang dia lakukan cukup menuruti semua yang dikatakan oleh laki-laki berbadan tinggi besar itu. "Boleh minta sedikit bantuan, Nona?" tanya Ghazi. Divya menatap wajah Ghazi. Sungguh, dia malas berbicara. Divya benar-benar kehilangan semua tenaganya. Imunitas tubuhnya cukup drop setelah melewati kesenangan sesaat, kemarin. "Katakan!" "Saya tidak bisa meraih handle pintunya," jawab Ghazi. Dengan gerakan malas, Divya menarik apa yang seharusnya dia tarik. Menuruti perintah Ghazi. pria itu hati-hati mendudukkan Divya. Menarik tuas kecil di sisi kursi agar sedikit lebih rendah. Posisi yang akan jauh lebih nyaman untuk sang majikan muda. "Maaf, Nona. Anda harus menunggu lagi, hanya sebentar. Saya harus menebus obatnya di apotek itu." Ghazi menunjuk lokasi apotek menggunakan dagunya. Penyedia obat yang diresepkan oleh dokter ada di seberang lokasi parkir mereka. Divya mengibaskan tangannya, menandakan persetujuan serta pengusiran laki-laki itu. Ghazi menutup kembali pintu mobil dan meninggalkan wanita pucat itu. Delapan menit berikutnya, Ghazi sudah berada di balik kemudi. Dia siap untuk kembali ke rumah. "Telpon Ivy!" Tanpa menjawab, Ghazi melakukan perintah Divya. Menggunakan ponselnya ia menghubungi sahabat sang majikan. Kemudian mengulurkan telepon itu pada Divya. "Lo yang ngomonglah! Gue lemes banget, setan!" kesal Divya. Ternyata Ghazi tidak sepenuhnya responsif. Seseorang yang diseberang jelas mendengar umpatan sahabatnya. Hingga kepanikan itu timbul. "Divya?! Kamu baik-baik saja? Kamu belum tiba. Apakah Babang ganteng sakit atau terlambat bangun?" Begitu panggilan tersebut terhubung, pertanyaan memberondong Ivy sudah bisa mereka dengar bersama. "Maaf, Iv. Nona Divya tidak bisa pergi ke kampus. Beliau tidak enak badan." "Gue mo mati, b******k!" sela Divya. "What?! Aku akan datang ke rumahmu, Divya! Kamu mau aku bawakan apa?" "Baik, saya tutup, Iv." Ghazi memutus sepihak panggilan itu. Bahkan tanpa menjawab ucapan Ivy. Sangat tidak sopan! Akan tetapi, pekerjaannya hanya harus memprioritaskan Divya. Bukan sahabatnya atau orang lain. Bahkan Divya juga tidak memprotes tindakan sang pengawal itu. "Kenapa?" Ghazi menoleh pada Divya yang menyandarkan tubuhnya lebih rendah dari biasanya. Setengah berbaring dan tampak terlihat tidak sepenuhnya nyaman. "Untuk?" "Sebuah panggilan." "Kemana arah pembicaraan ini, Nona?" "Cukup, b******k! Lo manggil sahabat gue dengan nama dan sok akrab. Tapi kenapa lo bertindak seolah gue benar-benar bos lo yang kudu dihormati dan seakan-akan kalau lo buat kesalahan gue bakal bunuh lo!" Intonasi bicara Divya memang dimaksudkan penuh tekanan, jengkel, dan marah. Namun, karena dia terlalu lemah, hanya dengan tatapan melotot dan berbicara senormal yang ia mampu. "Bukankah kenyataannya memang demikian? Saya bekerja dengan Tuan Hen untuk menjaga Anda. Tidak sopan untuk saya memanggil Anda hanya dengan nama. Satu lagi, Anda pernah mengatakan akan mencekik saya bukan? Saya rasa Anda masih mengingatnya." papar Ghazi panjang lebar. Suara baritonnya mendominasi ruang dalam mobil itu. "Terserah! Gue pastikan keinginan itu bakal terpenuhi tidak lama lagi!" cibir Divya lemah. Kemudian, tidak ada lagi perdebatan di antara mereka. Divya menarik kain sutra batik untuk menutup wajahnya karena tidak lagi ingin adu argumentasi dengan Ghazi. "Anda baik-baik, saja?" "Gue pengen cepet sampe dan tidur kemudian nggak bangun lagi. Gue muak dengan semua peraturan bodoh ini." Ghazi menghela napasnya perlahan agar tidak sampai terdengar seperti mengeluh di samping Divya. Ia harus berkerja secara profesional. Saat tiba di pelataran rumah. Ghazi kembali menggendong tubuh Divya ala bridal style. Satu buntelan obat sudah berada di saku celananya. Ketika hendak menaiki anak tangga pertama. Seorang pria sudah menghampirinya dengan raut wajah tampak sangat cemas. "Divya?! Kau baik-baik saja? Aku mencemaskanmu. Tante Greta menelepon, dia bilang kau sakit. Aku langsung datang." "Jalan, Ghaz!" perintah Divya tanpa mau mendengar celotehan tidak penting dari Liam. "Tunggu, Div!" Liam menahan lengan Ghazi. "Biar kubantu kau ke kamar. Kurasa Om Hen tidak akan mengizinkan pengawal masuk kamar anaknya," tandas Liam. Seraya memberikan tatapan sinis dan kebencian pada Ghazi. Akan tetapi, percayalah! Bahwa Ghazi sama sekali tidak melirik muka Liam. "Jalan, Ghaz! Lo budek?!" seru Divya. "Aku datang menjengukmu. Aku di sini untukmu, Divya." "Gue nggak minta Lo datang, b******k! Kalau Lo di sini karena undangan nyokap gue, seharusnya Lo ada untuknya! Bukan gue!" Divya kehilangan rasionalnya. Ia tegang, karena amarnya dalam gendongan Ghazi. "Lo, lagi! Kuping Lo udah mulai budeg! Bodyguard nggak guna!" tambah, Divya semakin kesal. Tidak ada lagi yang mampu menahan langkah Ghazi. Pria itu menurut dan mengabaikan Liam membantu di tempatnya. Tangannya terkepal erat menahan emosi karena penolakan Divya. Setelah tiba di kamar Divya, Ghazi membaringkan tubuh wanita berambut panjang itu di atas ranjang yang luas. Interior kamar yang sangat menarik. Tidak ada satu sudut yang menunjukkan Divya gadis yang manja. Mulai dari warna dinding serta perabot yang ada, hanya berwarna biru bergradasi. Bukti bahwa Divya adalah wanita yang kuat, pemberani, dan bebas. "Aku bawa teh hangat untukmu, Div. Sedikit rasa manis mampu membuatmu lebih baik. " Tiba-tiba suara itu kembali hadir. Divya tampak sangat jengah dengan sikap Liam yang berusaha sekeras itu. Bahkan untuk sekedar kenal saja gadis yang memiliki bibir dengan lengkungan lebih dalam di bagian atas itu juga akan berusaha keras untuk menjauh darinya. "Usir dia, Ghaz! Gue mau istirahat!" perintah Divya, lagi. Begitu lebih dekat dengan Divya, Ghazi menahan tubuh Liam menggunakan satu lengannya. "Mari! Keluar, Tuan," ajak Ghazi dengan tenang. "Kau tak ada hak untuk mengusirku!" tekan Liam. "Benarkah? Menjaga keamanan dan keselamatan Nona Divya adalah tugasku. Aku memiliki wewenang siapa saja yang berhak mendekati beliau. Jadi, bukankah ini sudah jelas?" Dua pria itu beradu pandang. Seakan keluar ribuan anak panah dari sorot mata mereka, lalu beradu menghujam satu sama lain. "Oke! Pastikan dia meminum tehnya!" Liam hendak meletakkan cangkir teh itu di dekat nakas. Namun— "Suruh dia membawanya pergi, Ghaz! Itu adalah tipuan. Dia berusaha meracuniku," ucap Divya asal. Sebuah alasan untuk menolak kebaikan yang diberikan Liam. Ia merasa cukup senang bisa memerintah Ghazi, si pria datar itu. Sekaligus tameng yang melindunginya dari laki-laki yang sama sekali tidak dia harapkan. Namun dari dua pria itu memang tidak ada satu pun di antara mereka yang Divya harapkan. "Anda dengar? Silakan!" Ghazi mengangkat tangannya dan mempersilakan Liam untuk keluar. Bersama dengan cangkir yang dia bawa. Kemarahan dan kebencian Liam semakin tidak bisa disembunyikan. Namun, dia bersumpah tidak akan menyerah begitu saja. Tanpa kata, pria itu keluar dari kamar Divya. Langkah kaki yang lebar dan sedikit hentakan kasar. Bukti bahwa, Liam sangat ingin melempar batu pada muka Ghazi. "Anda butuh sesuatu yang lain, Nona?" "Pergilah!" usir Divya. Ghazi hanya mampu menggeleng pelan. Keki dengan tindakan Divya. Mungkin gadis itu lupa beberapa detik yang lalu dia sangat mengandalkan Ghazi. Tidak lama keluarnya Ghazi dari ruangan Divya. Pintu kembali terbuka. "Apa lo budeg, Ghaz?! Gue bilang—" ucapan Divya terhenti. "Wow! Wow! Kukira kamu sakit, Div. Ternyata masih bisa sangat galak." Ivy mengangkat kedua tangannya sebagai respon keterkejutannya. Dan seakan menyerahkan diri. "Sorry, gue kira—" Divya tidak melanjutkan ucapannya. Ia menghela napas lelah dan kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang. "Oke, tak apa, Div. Santai, aku tahu kamu benci banget ama Ghazi. Tapi, kurasa dia ngebantu kamu menghindar dari laki-laki sipit itu kan?" goda Ivy dengan wajah jahilnya. Divya tersenyum tipis. Perasaannya sudah cukup baik saat Ivy ada di dekatnya. Gadis penghibur, gadis yang sungguh memahami Divya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD