Bab10

1324 Words
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu. Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sendiri yang mana ia selalu ceria dengan senyum entengnya. "Kehidupan tuh kudu imbang, Iv. Kita bisa ada di mana pun kita mau. Gue yakin lo juga kagak nyesel pernah pergi ke club kan?" Divya memosisikan wajahnya untuk menoleh pada Ivy. Gadis dengan rambut keriting yang basah itu pun menggeleng, "nggak ada yang harus aku sesali bersamamu, Div. Kau sahabat terbaikku. Aku ingat segalanya dari awal hingga detik ini semua kebersamaan kita," ungkap Ivy. "Lo juga sahabat terbaik gue." Divya mendekat dan memeluk tubuh Ivy. Masih tetap dengan posisi tiduran. "Oke, waktunya kita pulang, girls. Tuan Hen akan mendampratku," seru Ghazi. Dia sudah diabaikan lebih dari dua jam. "Ah— rasanya gue nggak mau balik! Ini terlalu nyaman," balas Divya. "Lalu kau menumbalkan kepalaku untuk menjadi hiasan bola lampu di gerbang penyambutan," cerca Ghazi. Ivy meledakkan tawanya. Meski ngeri hal itu adalah kiasan kata-kata Ghazi yang menggelitik humornya. "Kapan-kapan, aku akan yakinkan Babang ganteng buat ajak Lo pergi ke tempat yang seru lagi. Sekarang emang waktunya kita balik, Div. Besok kita kudu mempersiapkan diri lebih matang. Skripsi udah di mata, Div." "Huh— mulai! Lo selalu berhasil buat gue bad mood, Ivy. Dasar!" gerutu Divya. Ia bangkit dan membersihkan tubuhnya. Keduanya pergi ke toilet. Tidak ada baju ganti, tidak ada pakaian hangat. Akibat terlalu senang kini, mereka harus menahan hawa dingin. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. * "See you, Ivy. Gue akan jemput lo besok pagi." "Seperti biasa," cengir Ivy. Wanita itu turun dan melambaikan tangan pada Divya. Gadis ayu dengan rambut yang masih sedikit basah itu membalas lambaian tangan sang sahabat. Kemudian, mobil merah menyala itu meninggalkan kostan Ivy. Kembali membelah jalanan. "Gue nggak suka ngakuin ini. But, thanks," kata Divya datar. Ia terlalu jaim untuk menunjukkan rasa terima kasihnya pada sang bodyguard. "Sudah tugasku. Kau jauh lebih terlihat— baik saat seperti tadi," jawab Ghazi. Divya menoleh menatap Ghazi tanpa kata. Berusaha meresapi ucapan Ghazi yang sengaja dibuat pelik. Sepersekian detik berikutnya dia kembali diam. Hingga kendaraan mewah itu berhenti tepat di garasi. Tanpa menunggu Ghazi membuka pintu, Divya keluar. Suhu tubuhnya meningkat, Divya merasa kedinginan luar biasa. "Malam, Ma, Pa. Div langsung ke kamar!" serunya seraya menaiki anak tangga. Ia tidak mau menunggu jawaban dari kedua orang tuanya yang asyik dengan tontonan mereka di ruang tengah. Keduanya menatap Divya dengan sunggingan senyum. Menurut laporan yang mereka terima bahwa Divya hari ini sangat baik menjalani hari dan begitu bahagia. Bahkan foto-foto yang dikirim oleh Ghazi pada nyonya dan tuan Hendery pun sebagai bukti nyata. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk menghancurkan kebahagiaan anak semata wayangnya. "Ghaz! Terima kasih," kata Hendery kala pria itu baru menginjakkan kaki di ruang tengah hendak menuju kamarnya. "Ini sudah tugas saya, Tuan Hen. Anda tidak perlu berterima kasih." "Tidak. Sedikit banyak kau mengubah putriku dari wanita malam menjadi putri kecilku yang manis." Ghazi mengangguk ringan. "Baik. Saya permisi Tuan Hen." Ghazi tidak bisa mengucapkan kata lain selain itu. Ia membungkuk separuh tubuh dan melenggang pergi. Saat tiba di kamar, ia lekas membuka jendela kaca lebar-lebar dan membiarkannya seperti itu. Ghazi juga lebih memilih tidur di bangku santai di dekat jendelanya ketimbang ranjang besar dalam ruangan. Melepaskan semua pakaian. Menyisakan boxer hitam dengan strip merah. Kemudian menceburkan diri ke kolam. Ini sudah jam bebas. Selagi itu, dia bebas menggunakan fasilitas yang ada. Ghazi berenang. Tubuhnya memang sudah lengket dan bosan karena harus berdiri layaknya patung menatap dua gadis di pantai yang seolah tidak memiliki lelah. Sementara Divya yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendekati jendela untuk menutup tirai. Netra cokelat muda miliknya menangkap jelas tubuh Ghazi yang tengah menyelami air tenang. Tanpa kata, ia terus menonton hal yang tidak ada menariknya. Hanya orang yang berenang apa yang menarik? Begitu, Ghazi usai. Pria itu meraih handuk dan membelitkan dipinggang. Saat itulah, Divya terpaku di tempat. Matanya tidak lagi teralihkan. Menatap perut Ghazi yang tampak sangat keras dan berotot. "Dia si gila b******k itu?" gumam Divya. "Berani-beraninya pakai kolamku," tambahnya seolah bertolak belakang dengan apa yang dirasakan. Kagum, tetapi ia justru memaki. Divya lekas menggelengkan kepalanya yang kian terasa berat. Akhirnya keputusannya final. Ia menutup rapat tirai itu dan mendekati ranjang. Ghazi yang merasa diawasi mendongak menatap tirai yang bergerak. Kemudian tanpa ekspresi kembali memasuki kamar. Membilas kembali tubuhnya dan mengenakan pakaian ringan lalu pergi tidur. Sudah lebih dari jam sepuluh. Semua orang pergi ke kamar masing-masing. Memejamkan mata untuk beristirahat dari kepenatan. Seperti biasa. Sebelum alarm berbunyi Ghazi sudah terjaga. Ia berolahraga ringan di samping kursi santai tempat dirinya biasa tidur. Pushup dan serangkaian workout lainnya. Baru pukul lima ia sudah mendapatkan cukup banyak keringat. Ghazi memutuskan tidak jogging pagi ini. Karena, langit gelap akibat mendung. Usai memanaskan tubuhnya, ia menyeka keringat dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas minuman dingin. "Lo udah bangun juga?" sergah Divya yang ternyata sudah duduk di meja makan. Tanpa ada makanan yang tersaji di depannya. "Sudah biasa, Divya. Kau baik-baik saja?" Ghazi mendekat, tetapi tidak melakukan apa pun. Hanya menatap wajah Divya yang terlihat pucat. "Gue rasa lo buat kesalahan." Divya membalas tatapan Ghazi. Sangat sendu dan tampak kesakitan. "Katakan! Apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya?" Kendati, Ghazi tidak tahu apa kesalahannya. "Gue demam. Pertama karena gue kedinginan semalam. Berendam dua jam dan balik dengan pakaian basah! Kedua gue melewatkan makan malam. Sekarang gue lapar. Lo kudu buat makanan buat gue," tandas Divya. Ghazi menggedikkan bahu dan menyetujui permintaan gadis itu. "Baik. Apa yang ingin kau makan? Pasta? Atau—" "Mie instan pedas brutal," sergah Divya. Sejenak Ghazi mengulang menatap mata Divya. "Oke." Kemudian meluncurkan satu kata itu. Ghazi mengeluarkan sedikit jamur, cabe rawit, ayam potong bagian d**a. Lalu mengambil satu bungkus mie instan rasa kari ayam. Tangannya lihai dan cekatan. Bahkan, Ghazi melupakan keinginannya ke dapur tadi untuk apa? Sepuluh menit kemudian, satu mangkuk mie kari ayam lengkap dengan toping jamur dan ayam sudah siap di hadapan Divya. Uap kuah yang mengepul mengeluarkan aroma yang lezat dan tampak sangat pedas. "Makanlah! Aku tinggal, aku harus bersiap, jam kerjaku sebentar lagi," pamit Ghazi. Ia beranjak, melangkah hendak meninggalkan Divya. "Lo libur hari ini. Gue nggak mau ke kampus. Lo bebas dari semua ocehan gue hari ini, Ghaz." Gadis itu mulai menyuap mienya. Meniupnya sesekali untuk menghilangkan panas. Tubuh Ghazi memutar kembali. Dengan posisi semula, menghadap pada Divya. "Kalau begitu, aku antar kau ke dokter, Div." "Kalian sudah bangun?! Ah— tidak heran untuk Ghazi, tapi— Divya?" Greta sudah turun. Siap untuk berkutat memerintah pelayan memasak sesuai keinginannya. Mata wanita itu menatap anak gadisnya tidak percaya. Pasalnya Divya tidak pernah bangun sepagi itu. "Nona Divya demam, Nyonya. Maaf, saya teledor kemarin," tutur Ghazi dengan penyesalan yang dalam. "Oh! Benarkah?!" Greta lekas mendekati tubuh Divya. Gadis itu asik melahap mie buatan Ghazi tanpa peduli ocehan ibunya. Greta menyentuh dahinya dan benar saja, Divya demam. "Benar, Ghaz. Baik, bersiaplah, Nak. Ghazi akan mengantarmu ke dokter. Mama ada—" "Ada arisan, ada urusan lain. Santai aja, Div udah biasa dengan alasan itu," serang Divya. Gadis itu usai dengan makannya dan lekas meninggalkan ruang makan dengan bekal satu botol air dingin. Ghazi canggung dengan kondisi itu. Ia lantas lekas meninggalkan dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD