Bab12

1143 Words
Ivy pulang tepat saat jarum jam pukul satu siang. Gadis itu rela meninggalkan kelas paginya demi menghibur dan menemani Divya. "Istirahatlah, Div. Aku pulang dulu, aku akan telepon kamu, nanti," pamit Ivy. Gadis itu melayangkan senyum pada sahabat karibnya. "Thanks, Iv. Lo sahabat terbaik," balas Divya. Keduanya berpelukan dan Ivy benar-benar pergi. Ghazi setia di samping pintu kamar Divya. Menjadi penjaga sampai jam lima tepat. "Hai! Babang ganteng. Jangan bilang kau berdiri di sana sejak tadi dan akan berlanjut sampai jam kerjamu berakhir," tuduh Ivy. Melontarkan pertanyaan yang dikemas selayaknya ketidakpercayaan. "Yap. Memang begitu adanya." "O—ke—" Ivy mengerucutkan bibir dan sedikit membungkuk. Seakan terkejut. "Baiklah, kurasa aku harus pergi. Semangat Babang ganteng. Mungkin kamu butuh duduk?" Ghazi menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal itu. Pria itu bekerja dan tidak ingin memakan gaji buta. Pukul tiga, Greta pulang. Dari pagi sampai sore tidak ada pemilik rumah yang menetap. Kini barulah dua majikan itu kembali satu persatu. "Apakah pesananku sudah datang, Bi?" Itulah pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut Greta. "Sudah Nyonya. Saya letakkan di dekat meja televisi," tandas si pelayan. "Bagus!" Tanpa kembali bertanya ia lekas menuju ke kamarnya. Sungguhkah tidak ada pertanyaan serta kecemasan untuk anaknya? Ghazi yang mendengar samar-samar percakapan mereka hanya mampu menghela napasnya pelan. Kemudian kepalanya menggeleng pelan. "Kenapa, lo?" Tiba-tiba suara Divya muncul di sampingnya. "Sesuai kontrak, tidak disebutkan di sana bahwa saya harus menjawab pertanyaan Anda yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan," balas Ghazi. "Persetan! Laki-laki gila!" umpat Divya. Bukan apa, dia bertanya dengan baik-baik tetapi justru dijawab demikian oleh Ghazi. Divya meninggalkan Ghazi dan mendekati tangga. Namun, dengan cepat Ghazi mencekal pergelangan tangan Divya, hendak mencegah apa pun yang akan dilakukan oleh gadis itu. "Apa yang Anda butuhkan, Nona? Anda harus istirahat. Biar saya ambilkan apa yang Anda ingin," ucap Ghazi. Dia bersungguh-sungguh dan tidak tampak di raut wajahnya bahwa ia menyesal telah mengatakan ungkapan kasar tadi. Seakan mereka tidak terlibat pembicaraan apa pun sebelumnya. "Gue bosen, setan! Lepasin tangan lo!" teriak Divya. Netra cokelatnya tampak lebih gelap. Mungkin karena efek cahaya. "Saya akan menemani Anda." "Nggak usah! Gue nggak butuh lo! Lagian gue juga nggak bakal minggat dari rumah gue sendiri!" tekan Divya. "Dalam kontrak, tertulis bahwa Anda tidak boleh menolak segala yang saya lakukan jika untuk kepentingan keamanan." "Gue bahkan belum tanda tangan dan dapat salinannya, jika Lo pikun!" serang Divya. Nada bicaranya mulai menurun. Sinis dan mengingatkan Ghazi bahwa kontrak atau perjanjian itu belum sah tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Saat itu juga Ghazi mengeluarkan satu lembar kertas yang sangat putih. Beberapa tinta hitam tampak berderet-deret di atasnya. Kemudian satu pena dan mengulurkannya pada Divya. "Ini berkas asli. Kemudian saya akan mengcopynya dan memberikan salinannya kepada Anda." Divya memelotot, ia menyahut kertas itu. Kembali membaca poin-poin yang telah mereka sepakati. Takut, kalau-kalau Ghazi bermain curang dengan mengubah isi yang beberapa waktu lalu mereka tulis. Setelah selesai membubuhkan tanda tangan di sana. Ia melemparkan kertas serta pena itu pada Ghazi. Lalu, ia menuruni anak tangga dengan cepat. Berbelok ke pintu belakang. Kolam renang, dengan satu taman yang bisa dibilang cukup luas. Tepat di seberangnya adalah kamar Ghazi. Divya menoleh ke arah kamar itu, kemudian mengembalikan pandangan pada posisi sedia kala. Ia duduk di kursi santai depan kolam. Serta payung besar yang menghalau sinarnya menerpa wajah, Divya. Embusan angin ringan membuatnya nyaman. "Anda tidak bisa terkena angin terlalu lama, Nona." "Mata lo buta? Gue baru duduk lima menit lalu. Kemudian lo datang bilang, terlalu lama?! Sebetulnya lo mau kerja atau ngekang gue?" "Maaf," ucap Ghazi singkat. "Saya hanya menja—" "Cukup! Tutup mulut lo! Gue hanya mau duduk tenang! Gue bosen di kamar, Ghazi! Gue harap lo bisa jaga mulut lo supaya tetep mingkem!" tegas Divya. Ghazi hanya mengangguk paham. Pria itu berdiri di belakang Divya. Meski matahari masih bersinar dengan cukup terik. Setidaknya ada genangan air di hadapan Divya. Saat itulah pemikiran jahil terbit di benak Divya. Ia menoleh pada Ghazi. Pria itu membalas tatapannya dsngan aneh. Seolah bertanya 'ada apa?' Sekian detik kemudian Divya melepaskan pakaiannya. Menyisakan hanya dalamannya saja. Dua kain penutup. Berjalan dengan langkah seksinya. Betul-betul sengaja menggoda Ghazi. Senyuman setan Divya bahkan terbit tanpa sepengetahuan Ghazi. Saat sampai di bibir kolam, gadis itu berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadap pada sang pengawal. Tubuh Divya sangat indah. Dadanya berukuran tidak kecil juga tidak besar. Pinggulnya lebar dengan pinggang yang kecil. Divya sungguh seksi. Akan tetapi tatapan Ghazi tidak terpicu sama sekali. Dia tetap tenang, kaku dan seakan tidak melihat keindahan dunia itu. Divya sedikit heran dan aneh pada Ghazi. Pasalnya dia melakukan ini benar-benar karena ingin melihat ptiya itu kepanasan, kebakaran jenggot karena bernafsu padanya. Akan tetapi reaksi yang ditunjukkan Ghazi diluar prediksinya. Divya merentangkan kedua tangannya dan menjatuhkan tubuhnya di atas air. Cipratan brutal itu beriak ke mana-mana. Bahkan sampai pada posisi Ghazi saat ini. Jas hitamnya sedikit basah begitupun dengan celana dan sepatu yang dia kenakan. Divya tertawa. Dia senang. Setidaknya meskipun usahanya gagal, tetapi dirinya bebas melakukan apa pun sekarang. Beberapa menit berada dalam air, Divya menarik dirinya. Ia sadar bahwa sakit yang dirasakan pagi tadi membuatnya lemah. Dia tidak ingin hal itu terulang lagi. Ghazi memberikan handuk yang sudah dia ambil tadi. "Setelah ini Anda harus makan lebih awal dan minum obat, Nona." "Diamlah! Gue nggak minta lo buka mulut, inget?!" Ghazi diam tidak menanggapi dengan cara apa pun. "Kontraknya, Nona. Anda tidak boleh membantah," tandas, Ghazi tidak ingin kalah. Ia melawan dengan caranya sendiri. Divya geram dan hanya menatap wajah Ghazi dengan bengis. Akan tetapi, kemudian dia tersenyum. Senyum yang dipaksakan. ** Suara ketukan pintu memaksa Divya untuk membukanya. Begitu tampak jelas pelakunya siapa, Divya hendak kembali menutup pintunya. Namun, sosok itu menahannya. "Tunggu, Div. Aku bukan pria jahat. Kenapa kamu begitu membenciku." Liam menatap Divya dengan intens. "Karena lo laki-laki b******n! Gue nggak bakal percaya ama setiap ucapan yang keluar dari mulut busuk lo!" Gadis itu tidak pernah mampu membendung amarahnya. Hanya dengan menatap wajah Liam, membuat emosinya mencuat. Mengingat perlakuan kurang ajar Liam waktu itu. "Divya!" Tiba-tiba suara berat menggelegar terdengar di seluruh lantai dua tersebut. Tangan Divya terhempas secara kasar dari pertanahannya pada daun pintu. Bahkan tubuh yang baru saja pulih itu terhuyung beberapa langkah. Hendery merangsek masuk ke kamar anaknya dengan paksa. Sedangkan Liam menonton di tempatnya. "Berulang kali papa katakan, bersikaplah baik pada Liam!" hardik Hendery. Matanya melotot pada sang anak. Divya mengepalkan tangannya menahan secara brutal rasa sakit dan sesak yang menimpanya. "Divya nggak bakal mau dekat sama laki-laki b******n itu!" Plak! Tamparan keras diterima oleh Divya. Bahkan sang ayah sama sekali tidak mengurangi tenaganya. Pipi Divya memerah seketika. Sesuatu yang telah Divya usahakan agar tidak menguar pun akhirnya tumpah. Air matanya menetes. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Mencari pengalihan rasa lara yang lebih besar ketimbang tamparan ayahnya sendiri. Lebih tepatnya, Divya ingin tidak memercayai sakit hati yang dia terima itu didapatkan dari ayahnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD