Bab13

1023 Words
Ghazi mendongak menatap satu ruang tertutup di lantai atas saat, telinganya mendengar berdebatan panjang yang terjadi. Raut mukanya tampak seperti biasa, tenang. Namun, ada satu perasaan yang lain dari biasa Ghazi rasakan. Kasihan. Kemudian, ia masuk. Tidak berniat untuk menguping amarah serta umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut sang penguasa di rumah itu. Hendery Kagendra. Ghazi mencari beberapa peralatan di lemarinya. Mengeluarkan satu kotak kayu. Ia ingin memakai waktu luang malam ini membuat karya fisik. Ghazi memang suka memodifikasi segala macam benda. Barangkali ada mainan yang rusak, dia akan memperbaikinya lebih menarik dari sebelumnya. Brak! Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Sontak Ghazi yang masih sibuk dengan dunianya sendiri lekas menoleh. "Tuan Hen? Ada yang bisa saya kerjakan?" tanyanya. Ia membungkuk setengah badan memberi hormat. Sungguh, Ghazi tampak seperti tidak mengetahui apa pun yang barusan terjadi di lantai atas. Berpura-pura tuli. "Aku mau bilang padamu. Saat Liam datang atau berada di sisi Divya. Kamu bebas melakukan kegiatan lainnya, Ghaz. Aku mau menjodohkan mereka. Biar mereka lebih dekat," ucap Hendery. Tegas dan tidak mahu tahu. "Baik, Tuan. Saya mengerti." Kemudian Hendery pergi. Dia tahu jawaban Ghazi pasti akan demikian. Ia datang hanya untuk mengatakan hal itu. Benar saja! Ghazi memang membuat mahakarya itu untuk saat seperti ini. Dia adalah pengawal yang berpengalaman. Bukan kaleng-kaleng. Ghazi dibayar jauh lebih tinggi tidak hanya serta merta mematuhi peraturan. Dia selalu memiliki cara, ide, serta gagasan yang baik. Kembali, Ghazi berkutat dengan kabel-kabel mini. Ukuran kecil dan benar-benar lembut. Kemudian ada permata-permata kecil. Tali temali, ring, dan masih banyak lagi yang dia utak-atik saat ini. Sampai jarum jam pukul sebelas malam. Ghazi baru selesai. Ia mengambil selimut kemudian keluar. Tidur di lokasi seperti biasanya. "Ini tidak akan jadi lebih mudah," gumamnya. Sebelum matanya terpejam. ** Ghazi siap dengan pakaian yang telah rapi. Ia keluar dari kamar dan siap untuk membuntuti Divya lagi. "Selamat pagi, Nyonya Greta," sapa Ghazi saat sampai di dapur. "Pagi, Ghaz. Kita sarapan bareng, ayo! Liam juga sudah bangun," kata Greta. Seakan keberadaan Liam harus diinformasikan kepada seluruh penghuni rumah. "Terima kasih, Nyonya. Anda terlebih dulu saja. Saya bisa nanti," balas Ghazi. "Baiklah. Kamu selalu seperti itu, Ghaz." Greta tersenyum ramah pada pria itu. Ghazi tersenyum dan mohon undur dari dapur itu. Ia akan menyiapkan mobil. Memanaskan mesin agar bisa digunakan segera. Saat melewati tangga, ia berpapasan dengan Divya. Wajah gadis itu sangat jauh berbeda. Ada memar dan tulang pipinya membengkak. "Hai, Ghaz," sapa Divya. Ini adalah kali pertama Divya menyapa Ghazi. Namun, sebelum Ghazi menjawab, wanita itu sudah melangkah pergi. Ghazi terlalu terhipnotis dengan pemandangan mengerikan itu. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, 'apakah Tuan Hen yang melakukannya?' Akan tetapi, belum sempat reda dari ketidakpercayaan, kini Liam menyusul turun. Dia tersenyum mengejek Ghazi, menepuk bahu pria itu dan berlalu begitu saja. Laki-laki berbadan tinggi besar itu, menyingkirkan segala pikirannya dan benar-benar keluar dari rumah. Ia akan menunggu Divya di halaman. Setelah sarapan usai satu demi satu orang keluar dari rumah. Siap memulai pekerjaan mereka masing-masing. "Ghaz, gue— berangkat—" ucapan Divya lemah dan ragu. "Saya tahu. Anda berangkat dengan Tuan Liam? Saya akan ikuti Anda." Divya mengangguk. Dia memang tidak pernah percaya dengan Liam. Seberapa pun kuat Liam berusaha, kebencian sudah terpatri kuat dalam benak Divya. Semua kesengsaraan ini hadir karena pria itu. Divya hendak pergi, tetapi— "Tunggu, Nona. Apakah Anda percaya pada saya?" Divya menatap wajah Ghazi intens sebelum memutuskan untuk mengangguk lemah. "Kalau begitu, bisa Anda memakai salah satu di antara dua benda ini?" Ghazi mengulurkan satu jam hitam dan satu cincin hitam yang tampak biasa saja. "Apa ini?" "Pilih salah satu!" ulang Ghazi tanpa mau menjelaskan lebih lanjut. Kemudian Divya mengambil cincin ring hitam. Lalu memasangnya di jari telunjuk tangan kanan. "Saya akan tahu keberadaan Anda. Serta apa pun yang Anda ucapkan. Jadi setiap kali Anda membutuhkan, saya akan lekas datang," tutur Ghazi. Sejenak Divya terdiam. "Seperti alat penyadap?" Ghazi mengangguk. "Tapi lo nggak bakal tahu gue sedang apa, kan? Kek semacam—" Ghazi memotong ucapan Divya dengan gelengan kepala. Dia tahu apa yang ada dalam benak Divya. "Oke! Gue selalu benci kalau kudu bilang—" Lagi-lagi, Ghazi memotong ucapan Divya yang hendak mengucapkan kata terima kasih. Divya memang tidak pernah menyukai mengucap terima kasih pada Ghazi. Dia masih menganggap bahwa Ghazi merusak kehidupannya. "Sudah tugas saya. Baiklah! Sepertinya Anda harus berangkat. Haruskah saya menjemput Ivy?" Divya mengangguk. Setuju dengan apa yang dikatakan Ghazi. Bahkan ia menyunggingkan sedikit senyum pada Ghazi. Banyak hal pertama kali yang Divya berikan pada Ghazi. Begitupun dengan pria itu. Banyak hal yang baru dia terima dari sang bos mudanya. Sungguh, gadis cantik itu harus mengenakan kacamata untuk menutupi memar dan bengkak di wajahnya. "Kamu minta ijin pengawalmu?" tanya Liam penasaran. Dia sudah menunggu di mobil cukup lama. Memerhatikan Divya dari kaca spion. "Bukan urusan Lo!" jawab Divya. Ia duduk di bangku belakang. Meskipun sebetulnya Divya benci duduk di sana. Sedari dulu, Divya memang tidak pernah mau berada di belakang. Itulah sebabnya dia selalu duduk di bangku depan bersama sopir. Divya tidak suka melihat pemandangan hanya dari samping kanan kiri. Gadis itu lebih menyukai melihat kedua sisi lewat duduk di bagian depan. Ghazi yang melihat hal itu hanya bungkam. Bahkan, Liam, dia tidak protes untuk saat ini. Pria itu akan berusaha sebaik mungkin. Mobil berjalan. Sesekali Liam menatap wajah Divya dari kaca depan. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Divya. Aku suka sama kamu. Bahkan aku sudah mencintaimu dari pertama kali melihatmu," kata Liam. Divya membisu, malas menanggapi omong kosong Liam. Divya mau berada satu mobil dengan Liam semata karena paksaan dari sang ayah. Tidak lebih. "Minggu depan kita menikah, Divya. Kurasa kamu sudah tahu akan hal itu," tambah Liam. Memancing agar Divya mau mengucap sepatah kata. "Gue harap, Lo dan keluarga lo mikir. Lo nggak g****k, kan? Gue bakal sibuk skripsi. Dua hari lagi, otak gue bakal pecah! Bisa kan nggak nambah beban gue?" "Tenang, Div. Aku akan bantu kamu. Aku bisa buat kamu lulus dengan mudah tanpa perlu memikirkan banyak hal," jawab Liam. Divya menarik sebelah sudut bibirnya, meremehkan. "Gue tahu emang lo dan keluarga lo, tuh licik!" Liam mengepalkan tangannya menahan emosi. "Mampus, kan Lo? Dasar laki-laki b******k!" umpat Divya dalam batin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD