"Ivy! Kangen banget, padahal cuma sehari doang nggak ketemu, Lo!" seru Divya begitu bertemu dengan sahabatnya di kampus.
Keduanya berpelukan sangat erat dan cukup lama. Ivy dan Divya tiba tidak lama jaraknya. Ghazi benar-benar menepati janjinya bahwa akan mengikuti Divya.
Begitu tiba di kostan Ivy, gadis itu lekas masuk mobil dan kendaraan itu melesat cepat. Begitu berbelok di pelataran kampus, mobil Liam baru saja selesai terparkir.
"Sorry, kemarin nggak jadi dateng. Gue nyicil tugas," jawab Ivy dengan wajah memelas. Mengharapkan belas kasih dari Divya.
"Santai aja, kali. Gue juga nggak berharap kemarin lo datang," jawab Divya.
Liam mendekati mereka. Begitu juga dengan Ghazi. Akan tetapi, pria itu masih menjaga jarak. Dia ingat apa yang dikatakan oleh Hendery bahwa Liam akan menggantikan posisinya saat Divya dan pria itu bersama.
"Tunggu! Kamu kenapa?" Ivy hendak melepaskan kacamata Divya. Kan tetapi, Divya mencegahnya. Belum waktunya bagi Ivy tahu kondisinya saat ini.
Liam hanya membuntuti dua gadis itu. Bahkan baik Divya ataupun Ivy sama sekali tidak merespon kehadiran pria bermata sipit tersebut.
"Inilah yang gue maksud. Lo nggak harus tahu duduk masalahnya," terang Divya. Mencoba menutupi fakta yang terjadi kemarin.
"Nggak! Kita nggak pernah sembunyikan apa pun, Divya. Kamu kudu cerita sama aku," timpal Ivy bersungguh-sungguh.
Selama ini diantara keduanya tidak pernah ada rahasia apa pun. Karena kehidupan keduanya sangat dekat. Bahkan, saat Divya terlambat haid hanya sehari saja curhat pada gadis berambut keriting itu.
"Nggak sekarang, di depan laki-laki syco! Lo tahu itu, Ivy," terang Divya dan Ivy mengangguk paham. Mata Divya melirik tajam pada Liam. Ia bermaksud agar sindirannya tepat sasaran.
Divya berhenti tepat di ambang pintu kelasnya. Ivy terlebih dulu masuk. Gadis bermata cokelat yang menakjubkan itu menatap Liam dengan serius.
"Lo nggak berniat buat ngawal gue di kelas, kan?" Sorot mata Divya tersirat akan usahanya menekan amarah. Jika, bukan karena ayahnya, mungkin ia akan melayangkan tinju pada laki-laki sok ganteng itu.
"Kenapa tidak? Aku free dan— aku bisa di sini bersamamu seharian," jawabnya enteng.
"Sinting, Lo! Bahkan Ghazi, bodyguard gue aja nggak akan lakuin hal bodoh seperti yang lo lakuin!"
Mata Divya berapi-api, dia hampir kehilangan kendali. "Gue kira lo pekerja keras, sukses seperti yang bokap gue bilang. Ternyata lo tidak lebih dari pengangguran yang sinting," umpat Divya.
Ia merangsek masuk ke kelas dengan sengaja menabrakkan bahunya pada bahu Liam. Kemudian tidak lagi menoleh bahkan melayangkan sepatah kata.
Liam menyerah dan meninggalkan kelas. Semakin banyak tugasnya untuk membuktikan bahwa dirinya memang laki-laki sukses, kaya raya dan baik hati.
Saat hendak menuju ke tempat di mana ia memarkirkan mobil, matanya menangkap sosok Ghazi. Ia mendekat dan menghampiri sang pengawal itu.
"Ngapain Lo di sini? Bukannya jelas apa yang dikatakan oleh Om Hen?"
Ghazi duduk dengan santai, tenang, dan seolah tidak pernah ada Liam di sana. Namun, dia tidak ingin suara Liam kembali menggema, hingga Ghazi memutuskan untuk bersua guna menjawab pernyataan dan pertanyaan Liam.
"Simpelnya. Tuan Hen mengatakan bahwa aku bebas melakukan apa pun. Apakah ada masalah untuk Anda, jika saya di kampus ini?"
Ghazi mengangguk santai, "kurasa tidak. Jadi sebaiknya saya pamit. Anda laki-laki yang sibuk bukan? Oh— atau sebaiknya Anda yang pergi? Membuktikan pada calon istri Anda bahwa laki-laki yang akan dinikahi benar-benar memiliki harta yang tidak akan habis dinikmati tujuh turunan."
Liam mengepalkan tangannya marah. Dia hendak menyerang Ghazi, tetapi ia urungkan. Kebencian Liam pada pria itu benar-benar tumbuh mendarah daging.
**
"Jadi ceritakan padaku, apa yang terjadi!" desak Ivy saat jam makan siang mereka tiba. Dua gadis itu memutuskan untuk mengisi perut yang keroncongan di kantin kampus.
Ghazi pun terlihat menghampiri keduanya, siap membantu kesulitan mereka. Divya belum sempat menjawab. Ghazi sudah mendekati mereka.
"Apa yang ingin Anda makan, Nona? Saya yang akan pesankan," tawar Ghazi.
"Bagus!" Ivy memainkan alisnya dan disambut senyum oleh Divya. Kedua gadis itu menuliskan pesanan mereka pada selembar kertas secara bergantian.
"Terima kasih, Babang Ganteng," kata Ivy seraya menyerahkan kertas itu.
"Bukan masalah," sahut Ghazi. Ia meninggalkan mereka menuju ke kios-kios di mana pesanan mereka akan dibuat.
Sementara itu Ivy masih menunggu Divya membuka obrolan. Namun, mata gadis bertubuh sedikit berisi itu membelalak saat melihat wajah Divya yang sedari tadi tertutup kacamata, bahkan saat di kelas.
"Div! Siapa yang lakuin itu?! Liam?!" Divya tertunduk.
Ghazi mampu mendengar obrolan mereka. Ia pun tertunduk seolah pertanyaan Ivy terlontar untuk dirinya. Divya tak acuh jika penjelasannya akan didengar oleh Ghazi.
"Bokap gue." Sesingkat itu jawaban Divya. Sukses membuat Ivy membungkam mulut tidak percaya. Bahkan, kemarin Ghazi pun juga tidak percaya. Akan tetapi mereka berdua, bahkan ketiga orang itu mau tidak mau harus menghadapi kenyataan bahwa Hendery memang laki-laki yang seperti itu.
Dia ingin semua orang menurut padanya. Dia ingin semua kendali ada di tangannya. Tanpa terkecuali Divya. Jika perlu pun Ivy sahabat Divya. Ingat bukan saat gadis itu diancam olehnya?
"Div, kamu bakal bertahan dan kuat kan?"
"Emang Lo berharap gue apa? Bunuh diri?"
"Ini berat, Divya. Aku yakin kamu merana, kesakitan dan pasti kamu sedih banget, kan? Selama ini hidupmu nggak pernah menerima kekerasan, sekalipun kamu melakukan banyak kesalahan, kan? Aku nggak liat kamu terluka karena ayahmu," tutur Ivy, dan itu benar.
Sejauh Ivy mengenal gadis itu, Hendery tidak pernah melayangkan pukulan pada Divya. Gadis itu tidak pernah mengeluh ayahnya suka main tangan. Paling sering adalah kedua orang tuanya yang tidak pernah ada waktu untuk Divya.
"Pastilah berat! Tapi gue kudu apa? Gue juga kagak bisa ngelawan. Lo tahu gue pengen pergi, tapi gue nggak akan bisa, kan? Lo tahu itu." Ivy mengangguk.
Berulangkali Divya memang mengatakan ingin minggat, tetapi Ivy hanya menganggap bahwa itu sebuah ucapan belaka. Karena sampai detik itu Divya masih bertahan. Siapa yang sangka bahwa kejadiannya semakin menyakitkan?
"Apa yang bisa aku bantu, Div?" Divya menggeleng. Tidak ada yang bisa membantu sahabatnya itu.
"Nggak ada, Iv. Gue bakal bertahan, dan masih coba buat bujuk bokap gue. Gue butuh lulus. Gue butuh kerja, gue butuh nikmatin hidup gue sebelum nikah. Hanya itu, gue nggak mau nikah secepat ini, Ivy."
"Laki-laki b******k itu semakin mempengaruhi bokap gue buat cepet-cepet nikah sama dia. Lo tahu, dia bilang minggu depan tuh kita bakal menikah." Suara Divya melemah. Ia benar-benar kehilangan keceriaan di wajahnya seperti yang terlihat dulu.
"Silakan, Nona. Makanannya telah siap, " sergah Ghazi. Divya kembali memakai kacamatanya. Seolah tidak ingin orang lain melihat kondisinya.
"Terima kasih, Babang Ganteng."
Keduanya penuh antusias untuk lekas melahap santapan mereka. Ivy yang betul-betul kelaparan. Sementara Divya yang hanya melakukan hal itu agar tidak terlihat kacau di depan sahabatnya serta pengawalnya. Semua hanya tipuan. Divya meyakinkan diri bahwa kesedihannya tidak harus dirasakan oleh orang lain.