Vivian mengembuskan napas dan menatap lelaki yang sedang berapi-api ini.
"Sebaiknya, Om pergi dari sini. Sebelum ada yang melihat kita nanti!" perintah Vivian dengan suara pelan, namun penuh dengan penekanan.
"Tidak. Aku tidak akan pergi kemanapun!" cetus lelaki itu yang masih kesal terhadap wanita di depannya sekarang dan masih menunggu sebuah penjelasan darinya.
"Ya sudah. Kalau begitu, saya yang pergi," cetus Vivian sembari bergeser dari hadapan lelaki, yang malah kembali merengkuh tubuh Vivian lagi. Bahkan, ia mengikat tubuh Vivian dengan kencang, menggunakan satu tangannya saja.
"Om, lepaskan. Bagaimana kalau ada yang melihat kita," bisik Vivian sembari menarik-narik juga memukul-mukul tangan yang melingkar di pinggangnya ini, agar bisa terlepas.
"Berjanjilah dulu, kalau kamu tidak akan melakukan kekonyolan seperti hari ini!" cetus Thomas.
Vivian mengembuskan napas dengan panjang, serta berhenti untuk memberontak. Ia gertakan giginya karena kesal yang memuncak.
"Kekonyolan apa sih??" ucap Vivian dengan gemas.
"Kekonyolan kamu, dengan pergi bersama dengan keponakanku itu."
"Ya memangnya kenapa?? Kita pergi bertiga tadi. Bukan cuma berduaan!" ucap Vivian geram.
"Tetapi tadi dia yang menjemput kamu kan?? Padahal, aku sudah datang ke sana tadi. Kenapa kamu malah pergi bersamanya??" ucap Thomas yang tidak terima.
"Ya nanti dia curiga. Memangnya kamu mau dia tahu?? Memangnya kamu mau dia melihat kita bersama??" cecar Vivian dan Thomas secara otomatis melepaskan tangannya, yang sempat melingkar di tubuh Vivian tadi.
Vivian menatap Thomas dengan rasa jengkel, ingin menjalin hubungan tanpa ketahuan. Tapi dia malah seolah tidak terima, dengan peraturan yang bahkan dibuat oleh dirinya sendiri dan malah terkesan menyalahkannya terus menerus.
"Harusnya kamu sudah tahu, resiko punya hubungan tersembunyi itu seperti apa. Jadi tidak bisa bebas. Tidak bisa melakukan apapun itu sesukanya. Kamu juga sadar akan hal itu kan?? Dari awal juga aku sudah bilang, jangan main api. Sekarang, kamu malah dengan sengaja memainkan apinya di tangan kamu sendiri. Bagaimana?? Apakah enak??" ucap Vivian, yang sudah lelah seharian ini dan pulang-pulang lapar ingin makan. Namun malah dicecar tanpa henti, oleh lelaki dewasa ini. Bagaimana ia tidak kesal jadinya??
Vivian menyibakkan rambutnya dengan kasar sambil mengembuskan napas dengan kencang. Lalu, ia pergi untuk meneruskan niatnya tadi dengan membuka pintu kulkas dan mengambil dua potong cake , juga menuangkan jus jeruk ke dalam gelas, lalu meneguknya dan mengisinya hingga penuh.
Vivian letakkan piring berisi cake di atas meja dan juga segelas jus juga di sebelahnya. Selanjutnya, ia menarik kursi dan duduk di depan makanan, yang sudah ia sajikan di atas meja tadi. Vivian santap cake-nya dengan lahap. Hingga empat kali suapan saja, satu potong cake yang berbentuk segitiga telah habis. Ia juga meneguk kembali segelas jus jeruk juga , untuk membantu mendorong makanan yang terasa menyangkut di tenggorokannya.
Vivian tidak mempedulikan lelaki di belakangnya ini sama sekali, sampai akhirnya, ia merasakan kepalanya dibelai dengan penuh kelembutan. Tapi tetap tidak membuatnya mencair dengan cepat.
"Maaf ya. Maafkan aku. Aku hanya... Aku hanya tidak mau kamu bersama dengan laki-laki lain selain aku. Aku hanya ingin, kamu menjadi milikku saja. Aku tidak ingin, bila kamu sampai berpaling dariku. Aku tidak mau kehilangan kamu," ucap Thomas yang kini melingkarkan tangannya di leher Vivian dari belakang dan mengecup puncak kepalanya juga dengan lembut.
"Ya sudah sana! Jangan membuatku dalam masalah. Aku sudah lelah seharian ini. Aku cuma mau makan dengan tenang, lalu pergi istirahat," usir Vivian dan secara otomatis, Thomas pun menghentikan dekapannya pada leher Vivian. Tetapi tetap tidak kunjung pergi juga dan hanya diam saja, di belakang tubuh Vivian.
"Tunggu apa lagi???" tegas Vivian.
"Aku akan duduk di sini dan menemani kamu di sini. Tidak apa-apa kan??"
"Terserah," ucap Vivian sembari mengunyah.
Thomas menyandarkan punggungnya pada kursi , sembari dengan menatap wanita yang berada di depannya. Ia pandangi tanpa bosan. Meskipun, ia terkesan diabaikan begini. Namun, meski begitu, ia tetap tidak gentar. Ia tetap mau saja menungguinya sampai selesai. Hingga Vivian bangun dari kursi dan membawa piring maupun gelas yang telah kosong, untuk ia bersihkan dan simpan kembali pada tempatnya.
Ketika sedang mengelap tangannya yang basah, pada kain yang menggantung di dekat wastafel. Tiba-tiba saja, sepasang tangan malah melingkar di atas tubuhnya. Vivian pun sampai harus menghela napas panjang, karena kelakuan lelaki bertubuh dewasa, yang seperti anak kecil ini.
"Kenapa tidak kapok-kapok juga?? Kamu benar-benar sedang cari mati???" ucap Vivian geram.
"Tidak. Tapi aku ingin seperti ini dulu sebentar saja. Aku begitu merindukan kamu. Kita hanya bertemu sebentar sekali hari ini."
Vivian mengembuskan napas. Ia berusaha melepaskan tangan yang sedang melingkar di atas tubuhnya, tapi tetap tidak mau terlepas juga.
" Kalau kamu takut ketahuan, bagaimana kalau kita pergi ke kamarku saja?" saran Thomas dan tengah didekapnya itu, langsung segera tersenyum masam.
"Aku capek. Jangan aneh-aneh! Ayo cepat lepaskan!" cetus Vivian yang terpaksa menancapkan kukunya pada punggung tangan Thomas, hingga ia menarik tangannya tersebut dan melihat ke arah tangan yang mengeluarkan cairan merah.
"Vi... Dad... Kalian sedang apa??" tanya wanita, yang baru saja datang untuk menyusul Vivian.
Vivian segera menggeleng kuat-kuat. Sementara Thomas menyembunyikan tangannya dan segera tersenyum kepada putrinya itu. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"A-aku lapar dan habis makan kue tadi. Ini baru selesai cuci piringnya," jelas Vivian, sebelum Yasmine mencurigainya.
"Oh begitu. Terus, kalau Dad sedang apa di sini??" tanya Yasmine.
"Ingin buat teh. Tidak bisa tidur."
"Oh buat teh. Ya sudah. Yasmine saja yang buat kan ya?? Dad duduk dulu di sini," perintah Yasmine seraya mendekati Thomas, lalu memegang pundaknya dan mendudukkannya di kursi.
"Eum, Yas. Aku duluan ya? Udah kenyang. Sekarang aku malah ngantuk," ucap Vivian yang segera pergi cepat-cepat dan hanya bisa Thomas pandangi saja kepergiannya.
Sementara itu di dalam kamar. Vivian yang sudah meringkuk di atas tempat tidur itupun menghela napas dengan panjang. Hampir saja ketahuan. Untungnya, ia cepat-cepat melepaskan orang yang sudah hilang akal sehatnya tadi. Coba kalau tidak, tidak tahu akan seperti apa marahnya Yasmine kepadanya. Pasti, ia akan dicap sebagai wanita rendahan. Padahal, ia juga tidak bermaksud seperti itu. Dan lagi , apakah sebuah kesalahan, bila menjalin hubungan, bersama pria yang sama-sama single juga??
Ah entahlah. Ingin istirahat, malah jadi memikirkan hal begini lagi. Tadinya mau tidak peduli dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi, apa yang mereka lakukan, benar-benar sudah diluar batasan. Ia malah jadi merasa terikat sekarang. Tapi juga selalu memikirkan, pantaskah ia menggantungkan harapan, kepada lelaki yang kelihatan mencintai, tapi tidak terlihat seperti ingin memiliki keseriusan hubungan dengannya.
Apa sekarang ini , ia hanya sedang dimanfaatkan??
"Ck! Tahu ah!!" seru Vivian sembari membekap wajahnya sendiri dengan bantal.
Jalani saja dan lihat, sampai kemana arah dan batasnya. Ia ini wanita, bukan ia yang harus mengambil keputusan. Tetapi lelaki lah yang seharusnya melakukan hal yang demikian. Jadi, ia hanya bisa menunggu dan melihat, apa selanjutnya hal, yang akan dilakukan oleh pria dewasa itu.
Keesokan harinya.
Dahi Yasmine mengernyit, ketika melihat sang ayah, yang baru saja mengambil sendok maupun garpu dari atas meja.
"Dad?? Tangan Daddy kenapa?? Kok merah begitu??" tanya Yasmine dan sedikit mengusik, si penyebab luka itu ada, sampai ia menoleh sekilas, untuk melihat hasil perbuatannya semalam.
"Bukan apa-apa. Hanya luka kecil saja," ujar Thomas sembari memperhatikan punggung tangannya sendiri dan juga sempat melirik kepada Vivian juga setelahnya.
"Tapi kok lukanya begini sih, Dad?" ucap Yasmine, sembari menarik tangan sang ayah dan memperhatikannya dengan seksama. Semalam, Yasmine tidaklah fokus dan lagi, Thomas menyembunyikan tangannya di bawah meja dan sekarang, luka yang Vivian berikan, malah terlihat juga olehnya. Bahkan, oleh semua orang yang berada di meja makan.
"Bentuknya, seperti kuku tidak sih, Dad??" ucap Yasmine, yang mencoba untuk menyamakan dengan dua kuku jari telunjuk, serta jari tengah miliknya sendiri dan terlihat begitu mirip.
"Bukan!" cetus Thomas sembari menarik tangannya kembali dari cekalan putrinya sendiri. "Ayo cepat makan. Nanti kamu malah terlambat ke kampus!" cetus Thomas lagi, yang segera menyendok makanan dari dalam piringnya sendiri, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Yasmine nampak tertegun. Intuisi tajamnya sebagai seorang wanita pun meronta-ronta. Apa ayahnya ini, sedang dekat dengan seorang wanita?? Karena dari bentuknya, persis seperti bekas kuku jemari tangannya juga. Kalau sampai lelaki pun, sepertinya bentuknya tidak seperti itu dan lagi, untuk apa seorang laki-laki melukai ayahnya menggunakan kuku??
"Yas, ayo cepat. Hari ini mata pelajarannya Pak Cakra lho," ucap Vivian sambil menyebutkan nama seorang dosen killer di kampus mereka.
"Oh iya ya! Hampir aja lupa!" seru Yasmine yang melupakan sejenak kecurigaannya kepada sang ayah dan cepat-cepat melahap menu sarapan paginya.
Seusai sarapan pagi bersama. Seperti biasa, Axel maju paling depan. Ia meminta kunci mobil, tentu saja kepada Tuan rumah di sini.
"Om, mana kunci mobilnya??" ucap Axel sembari mengulurkan tangan kanannya di hadapan Thomas.
Thomas mengembuskan napas dan berjalan, tanpa peduli kepada lelaki muda yang mengikuti arah perginya lelaki, yang merupakan pamannya ini.
"Pak, ini kunci mobilnya, tolong antarkan Yasmine dan Vivian ke kampus sekarang juga. Mereka sudah sangat terlambat," perintah Thomas, sembari meletakkan kunci pada telapak tangan Pak Berry yang sedang terulur.
"Baik, Tuan."
Pak Berry menggenggam kunci tersebut dan segera masuk ke dalam mobil. Ia juga menyalakan mesin mobil dan segera melaju sesuai perintah dari tuannya tadi. Sementara itu, lelaki yang berada di belakang sana nampak tersenyum masam sembari geleng-geleng kepala.
"Axel, kamu jaga rumah ya," perintah Thomas dengan sangat enteng seraya menoleh ke belakang dan langsung meninggalkan lelaki, yang tengah menghela napas ini.
Thomas memasuki mobil tanpa supir. Ia memegang setir dan menyalakan mesin, lalu melaju juga sambil meninggalkan lelaki yang hanya bisa diam saja, tanpa sempat melakukan protes apa-apa.
"Pelit sekali. Pinjam mobil saja tidak boleh," ucap Axel bermonolog.
Ketika sorenya.
Thomas pulang seperti biasa dan bertanya kepada putrinya yang berada di rumah, tentang bagaimana hari mereka tadi dan ternyata, sesuai dengan apa yang memang ia inginkan. Untung saja, ia cepat bertindak. Karena sudah berusaha mencegah dari sisi Vivian, dia malah tidak bersahabat sama sekali. Jadi terpaksa, ia harus turun tangan sendiri, untuk menyentil gangguan kecil, yang mengusik hubungan bersama Vivian.
"Sekarang , kemana dia pergi??" tanya Thomas, kepada putrinya yang sedang duduk di ruang tamu sendirian, sambil mengerjakan tugas kuliah untuk besok.
"Tidak tahu, Dad. Pas pulang dari antar Vivian ke cafe, Kak Axel udah nggak ada si rumah," jawab Yasmine sembari mendongak untuk menatap sang ayah, yang sedang memperhatikan sekeliling rumah.
"Oh, Mungkin dia pulang ke rumahnya. Ya sudah tidak apa-apa. Malah bagus seperti itu," ucap Thomas yang merasa lega di detik itu juga. Ia melenggang ke kamarnya, tanpa ada rasa khawatir dan sudah memikirkan dengan riang, bila nanti malam ia akan pergi menjemput Vivian seperti biasa dan mungkin akan mengajaknya mampir sebentar, untuk membelikannya camilan.
Malamnya.
Saat akan menjemput Vivian ke cafe. Thomas tertegun di dalam mobil yang ia hentikan mendadak dari kejauhan. Pandangan matanya lurus ke depan dan ia, melihat adegan yang sama, yang terjadi seperti kemarin malam. Saat keponakan yang kurang ajar itu datang menjemput Vivian dan kali ini, menggunakan mobilnya sendiri.
"Ck!! Brengsekk sekali dia," rutuk Thomas sembari mencekal setir dengan kencang. Kalau saja bukan keponakan, sudah ia hantam wajahnya itu, karena sudah berani-beraninya mendekati dengan sangat intens, wanita yang merupakan miliknya.
Di mobil yang Axel kendarai sendiri.
"Aku jemput kamu begini, ada yang marah tidak??" tanya Axel sembari memutar setir mobil ke kiri dan kanan.
Vivian malah nampak diam tertegun dan pikirannya langsung tertuju, kepada laki-laki yang semalam marah-marah kepadanya.
Bingung. Kalau dijawab iya, pasti pertanyaannya akan semakin panjang nanti. Ia takut keceplosan. Jadi yang paling harus ia lontarkan tentu saja jawaban yang sebaliknya.
"Tidak," jawab Vivian singkat sembari melihat ke luar dari kaca mobil.
"Hahh... Baguslah. Soalnya, aku jadi tidak enak nanti. Berarti, kamu belum punya pacar??" tanya Axel lagi.
"Belum," jawab Vivian sembari menelan salivanya sendiri.
"Daftar boleh??" tanya Axel yang seketika membuat Vivian berpaling wajah dan menatap kepadanya.
"Ha??"