Thomas Murka

2012 Words
Sementara itu, di tempat orang-orang, yang sedang mengganggu pikiran Thomas dengan sangat keras. "Ayo, kita jalan-jalan ke mall!" ajak Axel yang disambut antusias oleh Yasmine. Tetapi malah disambut sebaliknya oleh Vivian. "Em, saya harus pergi bekerja," ucap Vivian kepada lelaki yang duduk di depannya. "Kerja??" ulang Axel. "Iya, Kak. Vivian itu kerja part time di cafe setiap pulang kuliah," jelas Yasmine . "Oh begitu. Masuk jam berapa memangnya??" tanya Axel sembari menoleh ke belakang, setelah tadi hanya melihat dari kaca di atas kepalanya saja. "Jam tiga sih, Kak," jawab Vivian. "Tapi ini baru jam satu lewat sedikit. Masih sempet mungkin, Vi," ucap Yasmine ikut-ikutan menjawab lagi. "Iya tapi, belum lagi di perjalanannya nanti kan? Pasti makan waktu lama juga," timpal Vivian. "Wah sayang ya? Tapi cuma sebentar mungkin sempat. Kamu bekerjanya di daerah mana? Jadi, biar kita sekalian ke mall di dekat tempat kerja kamu saja, supaya kamu tidak terlambat. Bagaimana??" usulan yang Axel berikan akhirnya, untuk mendapatkan jalan tengah. Vivian terdiam sambil berpikir keras. Tadi sudah ada yang mengiriminya pesan, bak cacing yang kepanasan. Padahal, hanya diantar jemput dan itupun bertiga. Kalau sampai pergi main dulu, apa tidak akan murka nanti, orang yang sedang berada jauh di sana itu? Ah tapi biar sajalah. Toh hanya pergi main bertiga. Tidak melakukan hal yang tidak-tidak juga. Dan lagi, sejak kapan, ia menjadi harus mengikuti setiap kata-kata dari orang itu?? "Ya sudah ayo deh , Kak!" cetus Vivian setuju. "Asyik! Ayo kita jalan-jalan lagi!" seru Yasmine sembari mengangkat kedua tangannya ke atas. Sedangkan Vivian tersenyum tipis sembari menekan simbol merah di layar ponselnya. Tidak berbunyi maupun bergetar. Tapi, kalau layarnya menyala terus menerus, baterainya bisa habis nanti. Ah lebih baik, ia nonaktifkan saja ponselnya ini. Daripada ia mendapatkan teror yang seakan tiada akhirnya. Ponsel miliknya sendiri Vivian matikan dan hanya selang hitungan detik, ponsel Yasmine lah yang akhirnya berdering. "Iya, kenapa, Dad??" tanya Yasmine, dengan ponsel yang sudah menempel di daun telinganya. Vivian terlihat menghela napas sambil sedikit geleng-geleng kepala. Ponselnya mati dan ia langsung menghubungi nomor anaknya sendiri. Dasar. Tidak ada kapok-kapoknya lelaki dewasa itu. "Kamu langsung pulang ke rumah kan??" tanya lelaki yang sedang menelpon Yasmine saat ini. "Em, Yasmine mau main dulu, Dad. Kak Axel yang ajak. Ini sudah di jalan." "Langsung pulang ke rumah saja. Tidak perlu main. Lagipula, kamu mau main kemana??" "Main ke mall, Dad. Yasmine nggak sendirian kok. Kan ada Kak Axel, terus Vivian juga ikut." "Dia bukannya harus pergi bekerja???" cecar Thomas, yang merasa telah dibohongi. Tadi di pesan , sudah mengiyakan untuk tidak dekat-dekat. Sekarang, kenyataannya malah berbanding terbalik begini. Membuat si penelepon sampai buru-buru membuka ikatan dasinya, dengan sekali tarikan yang kencang. "Masih ada waktu, Dad. Kita juga rencananya, mau pergi ke mall yang dekat dari tempat kerja Vivian. Jadi, setelah jalan-jalan nanti, Vivian bisa langsung kerja juga." "Berikan handphone kamu kepada Axel!" perintah Thomas. Yasmine melirik ke arah depan dan melihat lelaki, yang tengah sibuk sekali dalam mengemudikan mobil ini. "Sedang bawa mobil, Dad. Nanti kalau malah nggak konsen gimana coba??" ucap Yasmine. "Hah... Ya sudah. Nanti kalau mobil sudah menepi, kamu suruh Axel menelpon balik ya?? Jangan sampai tidak!" "Iya, Dad. Iya." "Ya sudah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa untuk memberikan Dad kabar juga dengan sering." "Iya, Dad. Siap," jawab Yasmine seiring dengan panggilan yang ia akhiri juga dan yang sedang berada jauh di sana itupun hanya bisa menghela napas saja, dengan sorotan mata yang tajam. Di sebuah Mall. Yasmine menggandeng lengan Vivian, ketika mereka baru saja turun dari mobil. Keduanya sedang menunggu seseorang, yang kini menyusul mereka dan juga berdiri di hadapan keduanya. "Come on, girls! it's time for us to have fun. Are you all ready??" "Yes!!" seru Yasmine yang paling kencang. "Ya sudah ayo," ajak Axel yang berjalan ke dalam mall duluan dan menyusul dua wanita yang sedang bergandengan tangan di belakangnya. "Main atau makan dulu??" tanya Axel sembari menoleh ke belakang dan menatap Yasmine maupun Vivian juga. "Main dulu deh, Kak. Makannya nanti habis main. Kan capek terus laper plus haus kan tuh." "Iya juga ya. Ok deh kita main dulu," ucap Axel sembari kembali berjalan sambil menatap ke depan , maupun ke kanan kiri, untuk mencari tempat bermain yang sekiranya mengasyikan. "Timezone?" tanya Axel sambil terus berjalan dengan langkah yang menurutnya pelan, tapi karena tinggi badannya, yang mencapai dua meter lebih, ia jadi serasa berjalan dengan cepat sekali, hingga dua wanita di belakangnya itu tertinggal lumayan jauh juga. "Hey, kenapa masih di sana??" seru Axel seraya menatap dua wanita, yang sedang berlari kecil untuk mengejarnya. "Hahh... Hahh... Kak! Jalannya pelan sedikit sih!" protes Yasmine. "Ini sudah yang paling pelan. Memangnya kamu lihat aku berlari tadi??" balas Axel sembari bertolak pinggang. "Ya kan Kak Axel itu tinggi! Satu langkah kaki Kak Axel, setara dua langkah kaki kita. Apa lagi Vivian," ucap Yasmine sembari menoleh kepada gadis sebaya di sisinya ini, yang memiliki tinggi sekitar lima belas sentimeter di bawahnya. "Iya ya. Kamu mungil sekali," ucap Axel sembari meletakkan tangannya di atas kepala Vivian. Tinggi Yasmine masih sepundaknya. Kalau Vivian, malahan hanya sampai sedadanya saja. "Bukan Vivian yang mungil. Tapi emang Kak Axel-nya aja yang ketinggian!" cetus Yasmine. "Ya kan memang keturunan keluarga kita itu tinggi-tinggi semuanya. Yang paling kecil itu justru Mommy kamu dulu kan? Dilihat dari fotonya, cuma setinggi Vivian sepertinya," ucap Axel sembari menatap wanita, yang sedang tersenyum kaku itu. Pantas saja dikejar pikirnya, dari perawakannya saja, malah mirip dengan mendiang istrinya itu. "Ya sudah. Kalau begitu, ayo! Supaya tidak ada yang tertinggal," ajak Axel sembari merangkul bahu Yasmine di sisi kiri dan merangkul wanita yang sedang melamun di sisi kanannya. "Jangan dirangkul-rangkul, Kak. Nanti ada yang marah lho," seloroh Yasmine dan yang tengah membawa dua gadis ini pun langsung berhenti langkah kakinya. "Hah?? Siapa??" tanya Axel, yang tadinya hanya menatap Yasmine, tapi yang ditatap malah mengangkat dagunya ke arah wanita , yang berada di sisi bagian kanan Axel berdiri sekarang ini. "Kamu??" tanya Axel kepada Vivian. Tapi Yasmine jugalah yang membalas. "Iya, Kak. Eh, nggak deh. Vivian kan jomlo. Cuma ada yang suka. Tapi Vivian-nya nggak suka," ujar Yasmine, yang sengaja memberikan umpan pada mata kail dan sekarang tengah melemparkannya ke danau. "Oh ya?? Memangnya, tipe kamu yang seperti apa??" tanya Axel kepada Vivian dan Yasmine , yang merasa umpannya termakan itupun, mulai menarik mangsa yang sudah mulai terjerat. "Dia suka yang tinggi seperti Kak Axel sih," jawab Yasmine. Vivian mendelik terhadap yang bicara sembarangan tadi. Sementara yang namanya disebut-sebut tadi pun malah tersenyum seperti orang yang salah tingkah. Vivian pun segera mendekat kepada Yasmine dan mencubit lengannya. "Aduh!" seru Yasmine yang langsung menggosok-gosok lengannya. "Sakit, Vi," keluh Yasmine. "Lagian," bisik Vivian sembari mendelik kepada Yasmine dan yang di tengah-tengah, nampak tersenyum melihat tingkah kedua wanita yang berada di hadapannya. "Ya sudah. Ayo, kalian yang jalan duluan. Biar aku jalan di belakang kalian," ucap Axel menengahi , sembari menunggu dua wanita itu, yang kini berjalan riang mendahuluinya di depan. Sementara Axel menunggu dulu beberapa saat, baru kemudian ikut berjalan juga dengan lebih pelan lagi. Sore harinya. Satu-satunya lelaki dewasa yang pergi bekerja saat pagi hari itu, kini telah kembali ke kediamannya. Ia melangkah dengan sedikit terburu-buru, ketika pintu mobil baru saja ia banting dengan kencang. Lelaki itu masuk dan nampak memperhatikan ke arah sekitar rumah. Khususnya ruang tamu, yang pertama kali ia pijakan kakinya di sana. Hingga sosok wanita, yang baru saja keluar dari dapur, dengan bungkus camilan besar yang tengah ia dekap menatap kepadanya dengan heran. "Dad baru pulang??" tanya Yasmine. "Iya. Dimana teman kamu dan Axel??? Kenapa kamu sendirian??" cecar Thomas. "Vivian kan kerja, Dad. Terus, kalau Kak Axel tadi habis antar aku pulang langsung pergi lagi. Katanya mau pergi main ke rumah temannya dulu." "Oh begitu. Oh iya, kalian kemana saja seharian ini??" tanya Thomas. "Ke mall. Tadi , sepulang kuliah Kak Axel jemput terus ajak Yasmine dan Vivian ke mall. Kita main dulu di Timezone. Terus makan, baru deh anter Vivian ke tempat kerjanya. Nanti malam juga, Kak Axel mau jemput Vivian." "Ya sudah," ucap Thomas sembari berjalan lagi. Tapi berhenti langkah kakinya, karena ucapan melantur dari putrinya sendiri. "Kak Axel dan Vivian cocok ya, Dad??" ucap Yasmine. "Apa?? Kamu bilang apa tadi??" "Temannya Yasmine dan Kak Axel cocok!" ulang Yasmine dengan lebih keras. "Cocok dari mananya??? Axel itu terlalu tinggi! Mana serasi! Terlalu jomplang!" cetus Thomas. "Ya kan jadi saling melengkapi, Dad. Yang satu tinggi, yang satunya kurang tinggi. Bisalah untuk memperbaiki keturunan," ucap Yasmine sembari tersenyum dengan alis yang ia buat naik turun. "Tidak cocok sama sekali!! Sudah! Dad mau pergi mandi dulu!" ketus Thomas sembari cepat-cepat pergi ke lantai atas. Yasmine mengangkat bahunya dan pergi ke sofa. Ia duduk sendiri di sana, sembari memakan camilan yang ia bawa-bawa dari dapur tadi. Sementara itu, lelaki yang baru saja masuk ke dalam kamar, kini membuka jas hitamnya dengan kasar dan kemudian membantingnya ke lantai. "Sial!!" rutuk Thomas. Mengesalkan sekali. Katanya tidak akan dekat-dekat. Tapi nyatanya, malah pergi bersama dan pergi makan juga. Mana Yasmine sampai mengatakan, bila mereka itu serasi. Pasti, banyak sekali interaksi yang mereka lakukan bersama tadi. Kata-kata yang memenuhi isi kepala Thomas saat ini. "Dia benar-benar tidak bisa dipegang sama sekali ucapannya," gumam Thomas seraya melepaskan kancing- kancing kemeja putihnya dengan kasar dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Malamnya. Thomas sudah bersiap-siap untuk pergi menjemput sang pujaan hatinya. Ia berdandan dengan lumayan lama dan tidak lupa juga, menyemprotkan parfum di tubuhnya. Setelah itu, kedua bola matanya itupun tertuju pada jam yang berada di dinding kamar. Merasa sudah waktunya menjemput, Thomas pun bergegas. Ia keluar dari dalam kamarnya dan menoleh ke arah kanan serta kiri, ketika dirasa sudah cukup aman dari pandangan sang putri semata wayangnya, Thomas pun cepat-cepat keluar dari dalam kamar dan menutup pintu kamarnya kembali, lalu berjalan cepat ke lantai bawah. Setibanya di mobil, Thomas pun segera memasuki mobilnya tersebut dan cepat-cepat tancap gas, agar tidak terlambat menjemput Vivian di cafe tempat ia bekerja. Setelah lama perjalanan yang ditempuh olehnya. Thomas tiba juga di tempat tujuan. Namun, saat sudah dekat, ia nampak menghentikan laju kendaraannya dan melihat ke depan sana, saat Vivian yang sedang berdiri di sisi mobil, bersama dengan seorang pria, yang sangat ia kenali orangnya. "Al, aku duluan ya??" ucap Vivian, kepada laki-laki yang berada dimotor dan segera masuk ke dalam mobil, yang pintunya dibukakan oleh seorang lelaki, dengan tubuhnya yang tegap dan tinggi. Pantas saja ditolak pikir Aldo. Rupanya, ada lelaki yang jauh segala-galanya dari dia. Memiliki mobil, bertubuh tinggi dan juga wajahnya kalah tampan, seperti orang blasteran. "Jangan lupa pakai sabuk pengamannya," ingatkan lelaki itu sebelum menutup pintu mobil kembali. Mobil pun melaju pergi meninggalkan Aldo. Sekaligus juga, meninggalkan seseorang yang sedang tertegun di dalam mobil hitam dan hanya bisa diam, ketika sang pujaan hatinya dibawa pergi, oleh keponakannya sendiri. Setibanya di rumah. Vivian menunggu Axel untuk masuk ke dalam rumah bersama. Sekalian mengucapkan rasa terima kasihnya, karena sudah repot-repot menjemput, maupun mengantarnya juga tadi siang. Mereka juga naik ke lantai atas bersama dan berpisah di depan pintu kamar masing-masing. Di dalam kamar. Vivian mandi dengan air hangat dan juga berganti pakaian. Karena lapar, ia pun pergi ke bawah dan berharap menemukan sesuatu untuk bisa memuaskan rasa laparnya ini. Vivian melangkah masuk ke dalam ruangan dapur dan disaat yang bersamaan, seseorang nampak merengkuh tubuhnya dan memojokkannya ke dinding, yang berada di sisi kulkas. "Om," ucap Vivian dengan suara berbisik kepada lelaki yang tiba-tiba membuka mulutnya dan meraup leher Vivian. Vivian membeliak kaget sekaligus panik. Ia segera mendorong lelaki itu, karena takut aksinya terpergok orang rumah. "Om, berhenti!" cetus Vivian sembari mendorong kedua bahu orang, yang sedang menatapnya dengan penuh amarah. "Kenapa kamu menipu ku??" tanya orang itu selanjutnya. "Menipu? Menipu apa??" tanya Vivian kebingungan. "Kamu pergi dengannya tadi siang dan juga menghabiskan waktu bersama dengannya. Bahkan, kamu juga diantar dan dijemput olehnya tadi. Bukankah tadi siang, kamu bilang tidak akan melakukannya???" cecar orang yang kesabarannya setipis tisu ini. Vivian diam saja. Ia tidak mau berdebat di sini. Ini adalah ruang terbuka dan siapa saja bisa datang , serta melihat kebersamaan mereka di tempat ini. "Kenapa kamu diam saja?? Ayo jawab!" cetus Thomas yang sedang panas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD