Pukul 14.05
"Ya, cukup sekian untuk hari ini. Kita bertemu lagi di minggu depan," ucap dosen yang mengajar di dalam kelas Yasmine dan Vivian juga.
Para mahasiswa merapikan buku-buku mereka dan Yasmine pun berbisik kepada Vivian yang duduk di sampingnya.
"Vi, kerja hari ini?" tanya Yasmine.
"Eum, iya. Aku masuk kerja, Yas."
"Mau diantar ke sana sekarang?? Apa mau pulang dulu??" tanya Yasmine lagi.
"Nggak usah. Aku berangkat sendiri paling nanti. Em, aku ada perlu sama Aldo dulu."
"Jawab yang semalam ya? Padahal, kalau diterima lumayan lho, kamu jadi ada yang antar jemput nanti. Jadi lebih hemat kan?" kelakar Yasmine.
"Apa sih, Yas. Aku jadikan dia ojek dong bukan pacar. Ya sudah. Aku duluan ya? Aku mau tunggu di depan kelasnya Aldo dulu."
"Iya deh. Nanti kalau mau dijemput kamu chat Pak Berry ya? Udah kamu save kan nomornya??" tanya Yasmine.
"Iya udah kok. Dahh, Yas. Aku duluan," ucap Vivian sembari memakai tas dan keluar lebih dulu dari ruang kelasnya.
Vivian menunggu di depan kelas Aldo, yang berada di paling ujung. Ia berdiam diri di dekat pagar pembatas lantai tiga, sambil berpikir dengan keras sendirian di sana.
Tentang Aldo hanya perlu ditolak dan selesai kan? Lantas, bagaimana dengan lelaki, yang siang ini mengajaknya pergi dan sejak tadi mengiriminya pesan, bahkan sekarang menelepon dirinya tanpa henti ini.
Sial sekali. Yasmine malah menghubunginya memakai nomor ayahnya itu. Jadikan dia tahu nomor teleponnya dan sekarang malah menghubungi, seperti sedang menerornya begini.
"Iya! Kenapa???" tanya Vivian jutek, ketika ponsel sudah menempel di daun telinganya.
"Sedang dimana?? Aku sedang di parkiran kantor, sebentar lagi aku menuju ke sana. Kamu masih di kampus kan?? Tadi, Yasmine mengatakan, kalau kalian sudah keluar dari kelas."
"Masih di kampus. Masih nunggu Aldo dulu," jawab Vivian.
"Untuk apa menunggunya??" tanya thomas yang nada suaranya sudah mulai meninggi saja.
"Mau jawab yang semalam dan juga, mau bilang kalau hari ini aku izin tidak masuk kerja dulu."
"Oh begitu. Jangan lupa, kamu...,"
"Iya iya! Tolak kan??" potong Vivian yang rupanya terdengar oleh pria yang baru saja keluar dari dalam kelas.
"Vivian?" panggil orang tersebut dan Vivian langsung terbelalak, lalu menoleh ke belakang dan segera mengakhiri panggilan telepon yang sedang berlangsung saat ini.
"Hai, Al," sapa Vivian yang segera memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya.
"Hai juga. Em, kamu sudah lama nunggu ya?" tanya Aldo.
"Oh nggak kok. Baru juga beberapa menit."
"Ya sudah. Ayo jalan," ajak Aldo, sembari menunggu Vivian untuk berjalan lebih dulu dan setelah itu , baru ia mengimbangi langkah kaki Vivian, hingga keduanya berjalan seiring dan juga sejajar lurus ke depan.
"Al, aku...,"
"Nanti saja bicaranya. Jangan di sini," ucap Aldo yang masih berusaha untuk tenang. Padahal, ia sudah berdebar tak keruan. Sudah tahu jawaban Vivian, tapi masih juga berharap, bila ucapannya tadi, bukanlah untuk dirinya.
Aldo maupun Vivian turun melalui tangga mereka berdua pergi ke tempat yang lebih sepi, karena tidak enak juga, bila ada yang mendengarkan percakapan mereka berdua nantinya. Langkah kaki Aldo membawa Vivian ke arah timur kampus, dimana hanya ada taman dan banyaknya pepohonan yang tingginya hanya berkisar delapan kaki saja.
"Em, Aldo. Aku mau bicara," ucap Vivian yang segera memotong langkah kaki Aldo, dengan berdiri di depannya.
"Iya. Silahkan. Akan aku dengarkan."
"Em, soal yang semalam, sepertinya, aku belum bisa menerima kamu untuk saat ini," ungkap Vivian.
"Benarkah? Kalau begitu, apa nanti bisa??"
"B-bukan. Bukan begitu maksudku. Em, aku belum mau menjalin hubungan dengan siapapun. Aku, mau fokus ke pendidikan dan juga pekerjaan aku dulu. Jadi, aku benar-benar minta maaf, kalau belum bisa menerima kamu."
"Hhh... Sayang sekali ya? Mungkin, aku yang terlalu terburu-buru juga. Harusnya, aku lebih lama lagi, melakukan pendekatan terhadap kamu. Atau mungkin, kamu sudah punya seseorang yang kamu sukai? Kamu sedang dekat dengan siapa mungkin," ucap Aldo, yang masih penasaran terhadap Vivian. Apa lagi kedengarannya tadi, ia sedang melakukan panggilan telepon entah dengan siapa, hanya saja kedengarannya mereka cukup dekat. Sanak saudara tidaklah mungkin juga, karena Yasmine pernah bercerita, bila Vivian tidak memilikinya di sini.
Vivian menggeleng tapi tidak sambil menatap Aldo juga. "Tidak ada sih. Cuma memang belum mau punya hubungan dengan siapa-siapa."
"Oh begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku terima kok. Tapi aku harap, setelah ini kamu jangan menjauh ya? Kita jalani seperti biasa saja. Seperti halnya teman. Jangan malah kamu jadi menjauhiku. Berangkat dan pulang dari cafe juga tidak apa-apa, kalau mau sama-sama. Selama aku jomblo sih dijamin aman."
"Iya. Tapi, sepertinya hari ini aku izin nggak kerja dulu, Al. Bisa nggak ya kira-kira?? Aku ada perlu soalnya."
"Bisa kok. Nanti, akan aku sampaikan ke Kak Danish, kalau kamu izin tidak masuk hari ini."
"Iya, Al. Terima kasih ya?"
"Iya. Sama-sama. Em, kalau begitu aku berangkat dulu deh. Kamu mau sekalian ke depan?" tanya Aldo.
"Nggak, Al. Aku mau di sini dulu."
"Ya sudah. Aku duluan ya?"
"Iya."
Vivian berjalan sendirian keluar dari dalam kampusnya. Ia menyusuri jalanan dan sengaja menunggu di tempat sepi dan juga di tempat yang agak jauh dari kampusnya. Alasannya tentu saja, agar tidak ada yang melihat, saat ia dijemput oleh orang yang kini sudah mulai menghubunginya lagi, melalui sambungan telepon seluler.
"Kamu dimana?? Aku sudah berada di depan kampus kamu sekarang," tanya Thomas.
"Putar balik. Aku ada di gang kecil yang sebelum pertigaan."
"Ok baiklah. Aku akan segera ke sana sekarang."
Vivian mengintip dari dalam gang dan dari sana, ia melihat mobil bersama pengemudinya datang dan berhenti di depan gang tersebut, lalu segera membuka pintu mobil di seberangnya sambil menatap wanita yang sedang sibuk melihat ke sisi kiri dan kanan maupun ke belakang tubuhnya juga.
"Ayo masuk," ajak Thomas.
Setelah merasa situasi aman dan cukup terkendali, Vivian buru-buru masuk ke dalam mobil tersebut dan cepat-cepat menutup pintu kembali.
"Ayo cepat jalan," perintah Vivian kepada orang yang hanya menatap ke arah tubuhnya saja dan tiba-tiba saja mendekat, membuat Vivian nekat, untuk melayangkan telapak tangan ke wajahnya.
PLAK!
"Ah! Kenapa aku ditampar???" tanya Thomas yang memegangi matanya yang terasa perih, berkat sabetan dari telapak tangan Vivian tadi.
"Kita masih di dekat kampus! Kenapa Om malah mau berbuat macam-macam??" tuduh Vivian.
"Apanya yang macam-macam? Kamu belum pakai sabuk pengaman. Aku hanya ingin memakaikannya saja," ujar Thomas yang segera menarik ujung sabuk dan merealisasikan, apa yang tadi ia ucapkan.
Sabuk sudah terpasang dan Thomas melirik wanita, yang tidak menatap kepadanya sama sekali itu. "Sudah. Ayo kita jalan," ucap Thomas yang segera memegang kemudi dan melaju lagi dengan mobil hitamnya itu, sembari sesekali mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa perih ini.
Vivian mengulum bibirnya sendiri, sembari melihat keluar dari kaca mobil yang tertutup rapat. Merasa bersalah. Tapi gengsi juga untuk meminta maaf. Lagi pula, dianya saja, yang bukannya bicara, malah langsung menyosor seperti tadi dan lagi, kebiasaannya kan memang seperti itu. Seringkali menciumnya tanpa aba-aba. Tanpa bicara dan tanpa meminta izin dari ia sebelumnya. Jadi sudah sepantasnya, bila ia selalu berpikiran negatif terhadap orang itu.
Setelah perjalanan yang lumayan panjang dilalui. Thomas nampak menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang cukup sepi. Ia mematikan mesin mobilnya dan menoleh kepada wanita, yang sejak tadi hanya diam saja.
"Ayo turun," ajak Thomas dengan pelan dan lembut, tapi tidak membuat Vivian tergugah sama sekali.
"Tidak mau," tolaknya yang tetap tidak menatap kepadanya sama sekali.
"Kenapa? Kita sudah sampai. Ayo, kita turun sekarang," ajak Thomas lagi.
"Anda sadar tidak sih? Bagaimana kalau ada yang melihat kita nanti? Teman kuliah saya, atau mungkin teman kerja Om nanti," ujar Vivian.
Thomas mengembuskan napas dan terlihat meraih sesuatu di kursi belakang, lalu memberikannya kepada Vivian. "Ini ambil," ucap Thomas sembari memberikan topi berwarna hitam kepada Vivian. Ia juga meraih benda lain dari dashboard mobilnya dan memberikannya lagi kepada Vivian. "Ini, ambil ini juga," ucap thomas sembari memberikan sebuah kacamata hitam polos juga kepada Vivian.
Semua benda tadi sudah berada di genggaman tangan Vivian, yang nampak masih kebingungan.
"Ayo pakai. Pakai semua, kalau kamu begitu takut ada yang melihat kita berdua nantinya," perintah Thomas.
Vivian tidak banyak protes lagi dan segera menggunakan, semua benda yang Thomas berikan kepadanya. Sementara Thomas sendiri, terlihat sedang membuka jas hitam di tubuhnya dan meletakkannya di kursi belakang mobil. Ia juga melonggarkan dasi dan membuka ikatan dasinya juga dari leher. Dasi itupun ditumpuk bersama dengan jas hitam tadi. Kemudian, ia bukan kancing lengan kemeja putihnya dan menggulungnya hingga mencapai siku kedua-duanya.
"Sudah?" tanya Thomas, yang telah selesai merapikan dirinya sendiri, lalu menatap kepada wanita, yang masih juga sibuk merapikan rambutnya. Tadinya, terlihat ia gulung dan masukkan ke dalam topi, tapi karena terlalu tebal, Vivian jadi agak kesulitan untuk menurunkan topinya.
"Gerai saja," perintah Thomas yang hanya menatap, tanpa mau ikut andil. Bisa kena tampar lagi nanti pikirnya. Yang tadi saja pedihnya masih terasa membekas di mata.
Vivian turuti kata-kata pria dewasa di sisinya tersebut, yang masih sibuk memperhatikan dirinya sejak tadi. Rambut lurus nan panjang milik Vivian sudah menjuntai ke bawah. Kini, hanya tinggal menunggu instruksi saja, dari lelaki yang sejak tadi hanya diam saja sambil memperhatikannya.
"Sudah," ucap Vivian.
"Ya sudah. Ayo kita turun," ajak Thomas, yang kini keluar dari pintu yang sebelah kanan. Sementara Vivian pun keluar juga dari sisi yang satunya lagi.
"Ayo," ajak Thomas lagi yang kini berjalan bersama Vivian. Tapi karena takut ada yang menyadari siapa dirinya. Vivian jadi mengambil jarak satu langkah di belakang Thomas.
Rupa-rupanya, Thomas mengajak Vivian ke sebuah restoran dengan view pepohonan. Nampak sepi, karena jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Yang pasti, di sini mereka bisa menghabiskan waktu bersama dengan tenang, tanpa ada yang berkasak kusuk dan membicarakan tentang mereka berdua.
"Ayo pilih," ucap Thomas ketika daftar menunya sudah berada di genggaman tangan Vivian maupun dirinya juga.
Vivian cepat memesan. Ia malas, bila harus melakukan banyak pertanyaan. Tinggal pesan saja. Makan dan pulang. Begitulah rencana yang berada di kepalanya. Hanya saja, beda kepala, beda juga rencana yang ada di dalamnya.
Ketika mereka selesai menyantap makanan yang mereka pesan. Thomas rupanya sudah memiliki schedule lanjutan, setelah acara makan-makan ini usai.
"Sudah habis. Kita langsung pulang kan sekarang?" ucap Vivian yang sembari menyeka bibirnya sendiri.
"Siapa bilang?" ujar Thomas dan Vivian pun menurunkan tangannya dengan perlahan, lalu setelah tangannya berada di atas meja. Ia terlihat menghela napas sambil menatap pria di depannya, melalui kacamata hitam yang sedang ia kenakan.
"Terus, memangnya kita mau kemana lagi??" tanya Vivian, yang tidak dijawab oleh lelaki yang saat ini sedang sibuk menghabiskan makanan di dalam piringnya sendiri.
Saat makanan telah selesai disantap dan telah dibayar semua makanannya. Thomas mengajak Vivian pergi dari sana dan kembali ke dalam mobil lagi.
"Kita mau pergi kemana lagi sekarang??" tanya Vivian lagi, kepada lelaki yang tengah serius mengemudi di sisinya ini.
"Ada. Nanti juga kamu tahu," jawab Thomas sembari melihat jalanan melalui kaca spion mobil, yang berada di sisinya. dan setelah itu berbelok dan melaju lagi.
Vivian diam dan memperhatikan jalanan saja. Dari jarak beberapa meter, ia sudah melihat papan nama, yang bertuliskan nama sebuah tempat penginapan di depan sana.
Hanya iseng membaca saja tadinya. Akan tetapi, secara tiba-tiba dan tanpa Vivian duga sebelumnya, mobil yang sedang Thomas kendarai itupun malah berbelok ke tempat itu dan Vivian kini, terlihat mengernyitkan dahinya sembari menatap tajam kepada Thomas.
"Kenapa kita datang ke sini??" tanya Vivian, ketika sudah memasuki area parkiran.
"Kenapa memangnya??" tanya balik Thomas, yang tengah sibuk memarkirkan mobilnya.
"Ini kan hotel. Untuk apa kita pergi ke hotel??" tanya Vivian tetapi ia malah tidak mendapatkan jawaban apapun dan malah diminta untuk turun, saat mobil sudah terparkir dengan rapi di basement.
"Ayo turun," ajak Thomas sembari berusaha melepaskan sabuk pengaman, yang melingkar di atas tubuhnya dan kemudian, membuka pintu mobilnya juga.
Vivian diam saja di dalam mobil sambil menyilangkan dua tangan di atas dadanya sendiri. Ia melihat kepada Thomas yang sudah menutup pintu pada kursi kemudi. Jadi terpaksa, ia pun turun juga dan menghampiri Thomas di sana.
"Kita mau apa di sini??" tanya Vivian lagi, kepada lelaki yang terkesan tidak mendengarkan kata-katanya sedikitpun sejak tadi.
"Ayo," ajak Thomas yang langsung berjalan saja, ketika sudah melihat ke arah sekeliling dan memastikan keadaan aman terkendali. Lalu kemudian berjalan duluan.
Tadinya, Vivian hanya diam saja di sana. Tapi karena tidak tahu wilayah sini, ia pun mengembuskan napas dan jadi mengikuti lelaki tadi, dengan berjalan mengekor di belakangnya. Lelaki tersebut, terus saja berjalan dan pergi ke bagian resepsionis juga untuk meminta kunci di sana. Hingga ketika mereka tiba di salah satu kamar dan pintu kamar hotel dibuka, Vivian hanya diam saja di luar dan enggan masuk ke dalam sama sekali.
"Ayo masuk," ajak Thomas, ketika pintu kamar hotel, sudah terbuka dengan lebar.