Prima dengan cepat mengusir para wartawan yang meliput pagi itu. Entah siapa yang mengundang mereka. Yang jelas, mereka sudah berhasil mengambil gambar keduanya dan mungkin beberapa menit lagi semuanya akan sampai ke masyarakat.
"Halo, Pak Danu. Urus para wartawan itu. Jangan sampai mereka keluar dari hotel ini dan menyebarkan semuanya."
Prima berbicara pada salah seorang bawahannya. Ia sendiri begitu terkejut melihat apa yang terjadi dengan sang adik. Sejak semalam ia mencari di mana Prasta berada. Dan ternyata ia telah berakhir di sini dengan seorang gadis yang entah siapa.
"Prasta, apa yang terjadi?" tanya Prima terlihat frustrasi.
"Aku enggak tau, Kak. Pas bangun udah di sini."
"Kalau Papa tahu bisa gawat ini, Pras," sahut Prima.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar dan menoleh pada Sasti yang menatapnya dengan nyalang.
"Siapa kamu?" tanya Prima kemudian.
"Kalian yang siapa? Ini kamarku dan pria gila ini udah masuk tanpa izin dan melakukan itu," ucap Sasti hampir terisak.
"Eh, gua enggak merasa melakukan itu. Jadi, jangan nuduh," kata Prasta.
"Tapi, buktinya ada. Apalagi yang mau kamu tutupi."
Prasta menatap Sasti dengan nyalang. Kemudian membuang napasnya dengan kasar. Ia lantas mengambil celana dan memakainya dengan cepat.
"Sudah-sudah. Siapa nama kamu?" tanya Prima kemudian.
"Sasti."
"Sasti, pakai pakaian kamu dan kita bicara, kan, ini baik-baik," ucap Prima kemudian.
Gadis itu pun manut. Ia menarik selimut untuk membungkus tubuhnya dan berlalu menuju ke kamar mandi. Saat itu, Prima bisa melihat bekas percintaan mereka di sprei yang ternoda. Lagi-lagi, pria itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Pras, kalau kayak begitu kamu enggak bisa ngelak. Kamu sudah melakukan itu sama dia. Kita harus cari solusinya," kata Prima.
"Aku enggak merasa melakukan itu, Kak. Aku pasti dijebak. Aku ingat setelah minum aku merasa pusing. Aku yakin ini rencana gadis itu," jelas Prasta.
"Ya, demi apa, Pras? Dia bahkan enggak kenal sama kamu."
"Uang. Apalagi? Kak Prima pokoknya harus urus ini semua. Bayar wartawan-wartawan itu biar mereka enggak menyebarkan rumor apa-apa juga foto-foto tadi. Aku enggak mau semuanya berantakan," titah Prasta.
Prima membuang napasnya dengan kasar. Lantas, mengangguk. Ia kemudian mengambil ponsel dan mencoba menghubungi asistennya. Ketika telepon tersambung, Prima kembali mengurut keningnya.
"Baiklah, urus semuanya. Tanpa terkecuali," kata Prima.
"Baik, Pak "
Prima memutus sambungan telepon, lalu menoleh ke arah Prasta yang sudah selesai berpakaian.
"Gimana, Kak?"
Prima menggeleng, lalu menjelaskan semuanya.
"Mereka minta bayaran untuk menghapus foto-foto itu. Tapi, mereka akan tetap menyebarkan berita ini. Intinya dalam tajuknya, kamu akan diberitakan bertemu dan dekat dengan model itu," jelas Prima.
"Apa? Dia itu rendahan, Kak. Mana mungkin orang-orang percaya kalau aku dekat sama dia. Enggak. Jangan sampai ada berita apa-apa," kata Prasta.
"Tapi dia model yang sedang naik daun, Pras. Lagi pula, foto kamu tadi ... sudah sampai ke Papa dan Sinta. Kakak enggak tau kenapa bisa sampai secepat itu menyebar, tapi mereka sedang menunggu kita di rumah."
Prasta menggeleng lemah mendengar ucapan sang kakak. Ini gila. Kecanggihan teknologi benar-benar membuatnya jadi mati kutu. Apa yang harus ia katakan pada sang papa mengenai hal ini.
Sementara di kamar mandi, Sasti membersihkan dirinya yang merasa sangat kotor. Mana mungkin ia bisa pulang dan menghadapi sang ibu yang pasti akan sangat kecewa kepadanya. Sejak awal, sang ibu sudah mewanti-wanti untuk menjaga diri. Jadi, kalau sudah begini, ia harus bagaimana?
Gadis itu kemudian memutuskan untuk keluar usai selesai berpakaian. Namun, ia begitu geram ketika mendengar ucapan Prasta yang sangat merendahkannya.
"Gadis itu pasti bisa dibeli pakai uang, Kak. Kasih aja berapa pun yang dia minta. Setelah itu minta dia pergi sejauh-jauhnya dari kota ini. Gadis rendahan kayak dia paling cuma butuh duit," ucap Prasta.
Sasti melongo mendengar ucapan pria gila yang tidur dengannya selama. Semudah dan semurah itu, kah, dirinya? Baiklah. Mari selesaikan ini dengan sesuatu yang tidak biasa. Prasta harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia perbuat kepadanya.
"Aku enggak mau uang. Aku mau kamu nikahin aku," ucap Sasti.
Prasta dan Kasta sontak menoleh mendengar ucapan Sasti. Keduanya terkesiap dan menggeleng lemah.
"Apa? Nikah? Siapa juga yang mau punya istri kayak elu. Dengar, ya! Elu itu enggak setara sama gua. Jadi, jangan pernah berharap gua bakal masuk ke perangkap elu," ucap Prasta.
"Ya, udah kalau enggak mau. Kita bawa ini ke jalur hukum. Aku akan bilang kalau kamu udah memperk*sa aku dengan jalan masuk diam-diam ke kamar ini dan melakukannya secara paksa," ancam Sasti.
Kali ini, Prasta tak bisa berkata-kata. Alibi gadis itu benar-benar sesuai dengan dugaannya, bahwa benar ia telah dijebak dan akan berakhir seperti ini.
"Jadi, bener elu sengaja jebak gua? Dasar cewek gila," umpat Prasta.
"Aku enggak jebak kamu. Tapi, kesombongan kamu itu perlu diberi hukuman. Kamu pikir aku rela menjual harga diriku demi uang. Jadi, karena sudah begini. Nikahi aku," sahut Sasti mantap.
Persetan dengan apa pun yang terjadi setelah ini. Entah karirnya atau hidupnya, Sasti sudah mempertaruhkan hidupnya demi harga dirinya. Jadi, karena sudah basah, lebih baik ia berenang sekalian.
"Enggak waras dia, Kak," umpat Prasta.
Namun, kemudian Prima mencoba menengahi.
"Pras, lebih baik kita temui Papa dulu. Kita tunggu keputusan Papa. Mungkin saja Papa punya pertimbangan lain," kata Prima.
"Mana mungkin aku bisa ketemu Papa, Kak. Papa pasti marah karena hal ini. Aku dan Sinta sudah mau menikah. Semuanya pasti berantakan," kata Prasta.
"Aku yang akan ngomong sama Papa," ucap Prima.
"Hai, aku masih di sini. Aku nunggu."
Sasti menyela. Gadis itu menyilangkan lengannya dan menatap kedua kakak beradik itu dengan nyalang.
"Sampai kapan pun gua enggak akan nikahi elu."
"Siapa bilang? Kamu harus nikahi dia, Pras."
Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. Hans Adyatama, pemilik Adyatama Group datang bersama dengan beberapa bawahannya ke kamar itu. Baik Sasti, Prasta, dan Prima hanya bisa terdiam ketika pria dengan kumis tebal itu masuk dan menatap mereka satu per satu dengan gusar.
"Kamu akan menikahi gadis ini. Itu adalah konsekuensi yang harus kamu bayar karena sudah melakukan hal di luar batas," jelas Hans.
"Tapi, Pa. Aku dijebak. Aku aja enggak kenal sama cewek ini. Mana bisa aku nikahin dia."
"Urus itu belakangan. Media akan membuat berita yang akan mencoreng nama baik keluarga kita. Dan itu semua karena kecerobohanmu. Pak Danu akan urus semuanya."
Titah Hans tidak bisa diganggu gugat. Ia berkuasa dan akan membuat keputusan yang bisa menyelesaikan semuanya. Ia terkejut dengan kejadian ini. Namun, lebih daripada itu, ia harus menunjukan kepada kedua putranya bahwa ia berkuasa.
Hans kemudian mendekati Sasti yang mematung sejak tadi. Ia memperhatikan gadis itu dari atas ke bawah, lalu melempar ucapan.
"Bawa gadis ini ke rumah. Dia tidak boleh bertemu dengan siapa pun setelah ini," kata Hans.