Bab 1. Darah di Sprei
"Aaarggh ... siapa kamu?"
Teriakan itu menggema di kamar suite Hotel Emerald pagi itu. Sasti menarik selimut demi menutupi tubuhnya yang polos sampai ke d**a. Gadis itu terkejut ketika tiba-tiba terbangun dan seranjang dengan seorang pria.
Prasta yang masih tenggelam dalam dunia mimpi mengernyit. Ia membuka mata usai mendapat sebuah tendangan dan mendengar teriakan yang hampir merobek gendang telinganya. Ini gila! Siapa yang berteriak sepagi ini?
"Siapa kamu?"
Lagi, Sasti bertanya. Gegas Prasta bangkit dan ikut tergemap ketika melihat dirinya juga dalam keadaan tanpa busana.
"Elu yang siapa? Ngapain gua di sini sama elu?" teriak Prasta tak kalah terkejut.
"Ini kamarku. Ngapain kamu di sini?" tanya Sasti.
Saat itu, Prasta mencoba mengedarkan pandangan. Ini memang bukan kamar yang kakaknya pesan. Jadi, apakah ia benar-benar salah kamar?
"Elu pasti yang bawa gua ke sini, kan? Aah ... sial!"
Prasta hampir meledakan emosinya. Mana mungkin ia melakukan hal gila ini? Ia akan segera menikah dengan Sinta.
"Jangan nuduh orang. Kamu yang masuk kamar orang sembarangan. Kenapa malah nyalahin aku?"
Sasti hampir terisak ketika menyadari keadaan mereka sangat mengejutkan. Ia bahkan tidak pernah berciuman, mengapa hari ini bisa tidur dengan pria tak dikenal?
"Diam elu! Siapa lagi kalau bukan elu, hah? Gua ini anak orang kaya. Gua pewaris Adyatama Group. Mana mungkin gua membuat kesalahan dengan tidur sama cewek enggak jelas kayak elu?"
Prasta mulai gusar. Pria itu hendak bangkit dan meraih kemeja dan celananya. Namun, itu terlalu jauh dari jangkauan. Sementara Sasti yang tidak terima gegas melempar jawaban.
"Kamu pikir aku cewek gila yang rela melepas kesucian demi uang? Walaupun miskin aku masih punya harga diri, ya. Lagi pula siapa yang mau sama cowok arogan dan egois kayak kamu. Cewek waras pun enggak akan pernah mau," ucap Sasti kesal.
Harga diri dan kesuciannya sudah hilang, tapi pria itu malah menyombongkan kekayaannya. Memangnya apa yang bisa dibanggakan. Itu adalah hasil jerih payah orang tuanya.
Prasta menyeringai, lalu tersenyum penuh ejekan.
"Justru karena elu waras jadi pakai cara picik ini untuk menjerat gua. Elu bakal hamil dan minta warisan, kan, sama keluarga Adyatama karena udah punya benih dari gua. Ketebak banget rencana elu," sahut Prasta.
Sasti melongo. Apakah ini sebuah sinetron sampai pria sombong di sampingnya terus menuduhnya? Padahal ia adalah korban.
"Jaga mulut kamu, ya. Kamu pikir aku yang rencanain ini semua?" tanya Sasti.
"Iya. Lagi pula, selera gua bukan cewek kayak elu begini. Biar pun mabuk, gua bisa bedain mana yang high class dan low class kayak elu," jelas Prasta.
Sasti benar-benar ingin memukul pria itu karena sudah mengira bahwa dirinya begitu hina dengan merencakan ini semua. Jadi, gadis itu terdiam sejenak demi mengingat-ingat apa yang terjadi usai ia keluar dari klub malam kemarin. Namun, ingatannya begitu tumpul. Tak ada satupun kejadian yang ia ingat kecuali ia banyak minum karena sedang patah hati.
"Udahlah. Lupain hari ini. Gua yakin gua enggak ngapa-ngapain elu. Anggap aja kita enggak saling kenal," ucap Prasta seraya beringsut ke tepi ranjang.
Namun, gerakannya terhenti ketika tangannya menyentuh sprei basah dengan bercak darah segar di sana. Pria itu menelan ludahnya, lalu mendongak demi melihat Sasti yang masih tidak terima.
"Masih bilang kamu enggak ngelakuin apa-apa?" tanya Sasti dengan nada kasar, tapi terdengar putus asa.
Prasta terdiam. Kali ini, giliran ia yang menggali ingatannya malam kemarin. Pria itu yakin masuk ke kamar yang dipesan sang kakak usai berpesta di ballroom hotel. Ia memang merasa aneh ketika hanya meminum beberapa teguk saja langsung merasa pusing, jadi ia meminta sang kakak memesan kamar hotel sembari menunggu pesta usai. Sayangnya, ia malah berakhir di sini bersama seorang gadis.
"Enggak-enggak. Ini jebakan! Aku enggak percaya ini," kata Prasta.
Saat itu, ia hendak meraih celananya yang ada di lantai ketika dengan gusar Sasti menendangnya.
Bug!
"Aauh, gila elu, ya. Sakit ini."
Prasta mengumpat kasar. Ia masih menutupi tubuhnya dengan selimut yang ia bagi dengan gadis itu. Namun, sudah duduk di lantai.
"Kamu enggak akan bisa lari dari tanggung jawab," sahut Sasti.
"Tanggung jawab apa? Udah gua bilang, gua enggak ngelakuin hal itu," kata Prasta.
"Tapi semuanya sudah jelas. Kamu pikir kamu masih bisa mengelak. Dasar pria gila. Mau menikmati tapi enggak mau bertanggung jawab. Begini kamu bangga jadi anak orang kaya. Kalau enggak ada papamu pasti kamu bukan apa-apa," umpat Sasti makin gusar.
Ia tak tahu, tanggung jawab apa yang ia minta. Namun, melihat keadaannya seperti ini, gadis itu tak tahu harus menjelaskan seperti apa kepada sang ibu. Keadaan ini benar-benar di luar kendalinya dan ia tak bisa mengatasi ini sendirian. Ia hanya model pendatang baru dengan penghasilan yang belum bisa dianggap besar. Lantas, dengan kejadian ini, apa yang akan terjadi padanya?
Prasta berpikir sejenak. Gadis ini mengaku miskin, jadi lebih baik ia mengeluarkan uangnya dan membuat masalah ini beres seketika. Ia kembali naik ke ranjang dan mencoba bernegosiasi.
"Okay. Berapa yang elu mau? 100 juta? 200 juta? Gua bakal bayar asal elu berhenti gangguin gua dan melupakan kejadian ini," kata Prasta.
Sasti hampir tergoda dengan nominal yang pria itu sebutkan. Uang ratusan juta itu sangat banyak. Gadis itu bahkan tidak pernah membayangkan memilikinya. Namun, harga dirinya bagaimana? Pria itu mencoba membelinya dengan rupiah.
"Kamu pikir aku mata duitan? Harga diriku udah hilang gara-gara kamu. Ini enggak setara dengan uang yang kamu punya. Enggak akan pernah setara," ucap Sasti berapi-api.
Prasta kemudian menyeringai. Gadis itu mencoba memerasnya. Iya, ia tahu hal itu.
"500 juta? Setengah milliar itu pasti bisa membuat semua masalah selesai, kan? Jangan jual mahal jadi cewek. Enggak usah pakai akting. Gua tahu, berapa standar harga yang bakal elu minta ke gua karena tahu gua adalah pewaris dadi Adyatama Group," jelas Prasta.
Plak!
Saat itu, satu tamparan mendarat di pipi Prasta. Walau terkesiap, ia masih berpikir jika ini adalah bagian dari akting. Jadi, ia mengusap pipinya dan tersenyum kecil.
"Apa mau elu sebenarnya!?"
Sasti menciut ketika pria itu berteriak dengan kencang. Napas gadis itu memburu karena tiba-tiba merasa ketakutan. Ia tak menyangka jika akan terjebak dalam situasi semacam ini. Ia baru sekali mengalami hal seperti ini. Namun, ia makin terkejut ketika tiba-tiba pintu kamar hotel dibuka dari luar. Dan sorot kamera langsung mengambil foto mereka.
"Wah, bener-bener pewaris Adyatama Group dengan seorang model sedang tidur di hotel ini."
"Iya. Cepat ambil gambar untuk berita kita."
"Kita harus kabarkan ini kepada seluruh dunia."
Saat itu, Prasta dan Sasti hanya bisa terdiam. Apa ini? Apakah mereka akan masuk ke halaman koran paling depan? Sampai akhirnya, terdengar suara dari arah belakang mereka.
"Hai, apa-apaan kalian? Cepat bubar."
Prasta mengenali suara itu. Itu adalah sang kakak-Prima-yang menyewakan kamar semalam. Ketika pria berkacamata itu masuk, ia ikut terkejut dengan apa yang ia lihat.
"Prasta, apa yang kamu lakukan?"