"Dia calon istri gua," ucap Prasta.
"Sial*n!"
Frans mengumpat kasar. Ia memegangi sudut bibirnya yang berdarah akibat pukulan Prasta. Sementara para wartawan mulai mengambil gambar. Saat itu, Hans langsung menengahi.
"Tolong jangan ambil gambar. Ini hanya gangguan kecil. Tolong singkirkan pria ini," kata Hans kemudian.
Para pengawal segera menarik lengan Frans menjauh dari tempat konferensi pers. Walau mereka sempat memperhatikan pria itu, tapi mereka lebih percaya kepada pemilik Adyatama Group yang berkuasa. Hans kemudian meminta Prasta dan Sasti masuk ke mobil. Masih dengan menggandeng tangan gadis itu, Prasta menuju ke mobil.
Sesampainya di mobil, ia langsung mengumpat kasar.
"Sial!"
"Jaga sikap kamu, Prasta. Kita masih jadi perhatian publik," kata Hans.
"Papa sendiri apa-apaan. Kenapa bilang Kak Prima yang akan menikahi Sinta. Sinta itu pacar Prasta, Pa."
"Diam kamu! Ini sudah menjadi keputusan papa. Ini adalah konsekuensi yang harus kamu terima karena sudah mengkhianati kepercayaan papa."
Prasta memejamkan mata. Ia kesal bukan main dengan hal ini. Sepanjang perjalanan pulang, ia memilih untuk diam saja. Sampai akhirnya mobil masuk ke halaman luas kediaman Adyatama. Prasta turun lebih dulu, sedangkan Hans dan Sasti belakangan. Saat itu, gadis yang sejak tadi memikirkan nasibnya itu membuka suara.
"Maaf, Pak. Apa saya boleh pulang ke rumah saja? Ibu saya sendiri di rumah dan-"
"Ibumu sudah ada di dalam. Masuklah!"
Hans menyahut cepat. Pria itu sudah bisa menebak jika Sasti akan minta diantar pulang. Jadi, ia menjemput Asih-sang ibu-untuk diajaknya kemari.
"Apa?"
"Kalian akan tinggal di sini mulai sekarang untuk kita mempersiapkan pernikahanmu dengan Prasta. Jangan membantah. Cepat masuk!"
Tanpa membuang waktu lagi, Sasti membuka pintu mobil dan berlari menuju ke kamarnya. Gadis itu sudah tidak sabar bertemu dengan Asih yang sejak kemarin pasti mengempaskannya.
"Ibu."
"Sasti."
Asih sedang duduk di tepi ranjang ketika sang putri masuk. Sasti langsung memeluk ibunya saat itu demi meminta maaf atas semua yang terjadi.
"Maaf, ya, Bu. Sasti juga enggak tau kenapa bisa sampai begini," ucap Sasti.
"Ya, sudahlah, Sas. Semua sudah terjadi. Kamu harus menjalaninya sekarang."
Sasti melepas pelukan, lalu mendongak demi melihat sang ibu yang sama sekali tidak menunjukan kekesalan.
"Jaga sikapmu mulai sekarang. Ibu enggak tau bagaimana ke depannya karena Pak Hans sudah memutuskan semuanya."
Sasti membuang napasnya dengan kasar. Iya, hidup dan matinya kini tergantung pada keluarga Adyatama. Mungkin ini keputusan gila, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Sementara di kamarnya, Prasta mencoba menghubungi Sinta yang sejak pagi tadi tak bisa dihubungi. Gadis itu sudah tau berita ini dan jelas sedang marah besar. Namun, sama seperti tadi pagi, telepon Prasta sama sekali tak diangkat oleh Sinta. Pria itu jadi frustrasi dibuatnya.
Tak lama, Prima mengetuk pintu kamar sang adik dan masuk usai dipersilakan. Pria itu tertunduk dalam dan merasa tak enak hati karena konferensi pers yang tadi dilakukan sang papa.
"Pras, maaf aku enggak tau kalau Papa punya rencana seperti itu," katanya.
"Itu bukan salah Kak Prima. Itu udah keputusan Papa," ucap Prasta kemudian.
"Kalau kamu mau, aku bisa bilang ke Papa kalau-"
"Enggak usah, Kak. Keputusan Papa udah final dan aku harus terima itu semua," sahut Prasta.
Prima mengangguk lemah. Ia sendiri tak bisa berbuat banyak jika papanya telah mengambil keputusan seperti ini.
Dan, hari pernikahan tiba setelah sebulan kejadian itu berlalu. Selama itu pula, baik Prasta ataupun Sasti sama-sama tidak saling bicara. Walaupun serumah, mereka juga tidak pernah bertegur sapa. Sampai dipertemukan di mimbar pengantin sore itu.
Prasta melirik gadis yang akan ia nikahi beberapa saat lagi sejenak. Sasti memang tampak berbeda dengan baju pengantin berwarna putih gading yang sempurna dipadu dengan tiara. Namun, itu masih belum cukup bagi Prasta untuk jatuh dalam pesonanya. Sementara di sudut lain, Sinta menatap mereka berdua dengan nyalang. Ia tak bisa terima jika sang kekasih menikah dengan gadis lain. Namun, kegilaan Prasta patut mendapatkan hal itu. Sinta berjanji akan membuat Prasta menyesal karena telah mengkhianatinya dengan gadis seperti Sasti.
Akad dilaksanakan dengan lancar dan resepsi digelar sangat meriah. Ribuan orang tamu undangan datang dan memberi doa restu kepada kedua mempelai. Ratusan hadiah menumpuk demi memberi gift pada mempelai berdua.
Sinta masih menatap Prasta dan Sasti dari kejauhan. Di tangannya, wine sebagai temen meredakan gelebah sesekali ia tenggak. Sampai akhirnya, Prima datang menyapanya.
"Aku boleh nemenin kamu?" tanya pria itu.
"Iya, Kak."
Sinta tersenyum getir. Bagaimanapun ia harus tetap tampil elegan.
"Kamu pasti masih sedih. Aku juga enggak nyangka kalau Prasta bisa melakukan ini ke kamu," ucap Prima.
Sinta menoleh, lalu mulai menyelidiki semuanya.
"Kak Prima bareng sama Prasta, kan, malam itu?"
"Iya."
"Terus kenapa pisah di tengah pesta?" tanya Sinta penuh selidik.
"Prasta bilang dia enggak enak badan. Aku enggak tau bener apa enggak, soalnya aku langsung pesen kamar dan dia ke sana sendirian. Ternyata dia malah pergi ke kamarnya Sasti," jelas Prima sedikit menambahi.
Alih-alih membela sang adik, Prima terlihat senang ketika Sinta membenci Prasta karena pengkhianatannya.
"Apa dia bohong soal enggak enak badan?" tanya Sinta.
Prima menggeleng. Lebih baik, ia pura-pura tak tahu dan memanfaatkan situasi ini. Karena memang ini yang ia mau.
"Kamu jangan sedih lagi, ya. Prasta mungkin memang enggak pantas dapetin kamu," ucap Prima.
Sinta tersenyum, lalu mengangguk lemah. Saat itu, Sinta dan Prima memutuskan untuk keluar daripada melanjutkan pesta resepsi pernikahan Prasta dan Sasti.
Resepsi selesai malam itu. Semua tamu undangan telah pulang dan semuanya kembali ke kamar untuk beristirahat. Sasti yang hendak kembali ke kamarnya dicegah oleh Asih. Sang ibu menggeleng lemah dan meminta anak gadisnya masuk ke kamar Prasta.
"Enggak mau, Bu. Aku mau tidur di kamar ini," kata Sasti.
"Eh, kamu harus tidur sama suamimu, Sasti."
"Tapi, Bu-"
"Sasti."
Tiba-tiba suara Hans menyambangi rungu kedua wanita beda generasi itu. Keduanya menoleh dan mendapati pria tua yang masih tampak menawan itu berjalan mendekat.
"Tidur di kamar Prasta. Biarkan ibumu tidur di sini," katanya.
"Tapi, Pak. Saya-"
"Biar aku yang antar. Cepat!"
Sasti membuang napasnya dengan kasar. Dengan baju pengantin yang masih melekat, gadis itu berjalan bersisihan dengan Hans menuju ke kamar Prasta di lantai 2. Sesampainya di depan pintu, Sasti mengetuk pintu itu.
"Siapa?"
"Ini aku."
"Ngapain ke sini?" Prasta bertanya tanpa membuka pintu.
"Dia istrimu. Jadi, dia akan tidur di sini."
Mendengar ucapan sang papa, Prasta buru-buru membuka pintu. Pria itu menatap nanar Sasti yang berdiri bersisihan dengan Hans.
"Masuk!"
Sasti manut. Di belakangnya, seorang pelayan membawa koper kecil berisi pakaian ganti milik gadis itu. Hans kemudian pergi meninggalkan kamar itu tak lama kemudian. Sementara Sasti segera masuk ke kamar mandi.
"Eh, mau apa elu?" tanya Prasta.
"Mandilah," sahut Prasta.
"Gua duluan."
Tanpa permisi, Prasta masuk ke kamar mandi lebih dulu. Sementara, Sasti mencebik kesal.
"Dasar nyebelin," umpatnya.
Setelah menunggu cukup lama, Prasta akhirnya keluar dari kamar mandi. Sayangnya, Sasti malah ketiduran di ranjang karena saking capeknya. Gadis itu bahkan belum mengganti pakaian pengantinnya saat ini.
"Aah ... gila. Ini cewek apaan, sih? Bisa-bisanya dia tidur dengan pakaian dan make up tebal begini? Di ranjang gua lagi," ucap Prasta kesal.
Pria itu tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk membangunkan Sasti yang terlelap.
"Heh? Bangun elu. Eh, Sasti. Bangun!"
Namun, sama sekali tak ada jawaban. Prasta kemudian mendekat dan mencoba menggoyang tubuh gadis itu. Tentu saja agar ia terjaga. Nyatanya yang terjadi ... Sasti menarik tubuh pria itu hingga merebah di ranjang tepat di sampingnya. Saat itu, Sasti yang setengah sadar karena teriakan Prasta menyipitkan mata, lalu tersenyum kecil. Ia meletakan kepalanya di d**a Prasta, lantas berbisik.
"Sebentar saja. Aku lelah."