Setelah mengantar Kiara sampai ke rumahnya, kini mobil Agam sudah keluar dari rumah Kiara. Dilan pun mengikutinya kembali menuju ke rumah Agam sekarang ini. Jalanan tampak biasa saja, tak macet tapi tak juga lancar. Mereka sampai di rumah Agam pada pukul dua belas malam. Itu karena tadi mereka mampir membeli Martabak untuk disantap mereka berdua di rumah.
"Lo ada masalah lagi sama nyokap bokap Lo?" tanya Agam saat mereka berdua sedang makan martabak yang tadi mereka beli saat akan pulang.
Dilan tampak tersenyum, sepertinya dirinya ini memang tidak pandai berakting. Dia tidak bisa pura-pura baik-baik saja di depan sahabatnya karena meskipun sudah ditutupi sedemikian rupa, tetap saja Dmereka semua tahu bahwa sekarang ini Dilan tengah memiliki masalah.
"Ya biasa lah, masalah bandingin gua sama Dikta lagi. Ga tahu lah, gua juga males mikirinnya sebenarnya." ujar Dilan kepada Agam tersebut. Agam tak banyak bertanya lagi karena ia tak mau memaksa Dilan untuk bercerita. Biarlah Dilan bercerita jika ia mau saja. Kini mereka masih ada disana.
“Emangnya gua salah ya Gam? Gua salah kalo gua ga sepinter Dilan? Enggak kan ya? Lagi pula juga bukan gua yang minta dilahirkan dari keluarga mereka.” ujar Dilan yang menyebutkan ‘keluarga mereka’ bukan ‘keluarga gua’. Ada alasan tersendiri kenapa Dilan tidak menyebut mereka dengan keluarganya karena toh mereka juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai keluarga mereka.
“Tapi mereka terus menerus bentuk gua supaya gua bisa jadi Dikta yang kedua. Padahal gua ya gua, Dikta ya Dikta. Gua sama Dikta itu perbedaannya kontras banget Gam. Tapi kenapa mereka ga bisa lihat perbedaan itu? Tiap gua ga bisa ngelakuin apa yang dilakuin Dikta pasti gua dianggap bodoh. Tapi apa mereka ga sadar kalo gua juga punya kemampuan.” ujar Dilan masih mengatakan segala unek-uneknya itu. Agam masih mendengarkan saja karena baginya Dilan hanya butuh di dengarkan untuk saat ini.
“Gua bisa menciptakan lagu, gua juga bisa nyangi. Bahkan gua punya banyak piala dan penghargaan lebih banyak dari Dikta. Tapi semuanya sia-sia karena mereka ga ngelirik sama sekali. Dikta ga bisa ngelakuin itu semua, dia ga bisa nyiptain lagu dan ga bisa nyanyi juga. Kadang gua suka protes sama Tuhan, kenapa Tuhan melahirkan gua di keluarga yang perfect kayak mereka. Keluarga yang ga bisa menerima kurang dari anaknya.” ujar Dilan pada Agam.
“Lo itu berharga Dilan, buat gua, Kiara dan Randra lo itu sangat berharga. Mungkin keluarga lo masih menutup mata kalo non-akademik itu prestasinya ga kalah jauh dari akademik. Jadi sekarang lo fokus buat bangun diri lo, bener kata Kiara tadi. Gua juga dukung lo buat masuk dapur rekaman, suara lo itu udah komersil banget. Lo lihat kan tadi banyak banget yang terpesona sama lo dan lagu lo. Mereka banyak yang pingin denger lagu lo terus menerus.” ujar Agam.
“Ga ada salahnya buat coba kan Lan? Lagi pula kali lo berhasil, mungkin keluarga lo bakalan ngelirik usaha lo dan keberhasilan lo itu. Percaya sama gua semua akan indah pada waktunya.” tambah Agam menenangkan Dilan. Dilan mengangguk sebagai jawaban untuk Agam.
Mereka itu terkadang aneh karena mereka sama-sama butuh ditenangkan tapi antara satu dengan yang lainnya malah saling menenangkan. Mereka tidak ada pilihan lagi karena mereka hanya bisa saling menenangkan. Tak ada orang lain di luar mereka yang bisa menenangkan badai yang mereka miliki.
Setelah pembicaraan itu Dilan menjadi lebih tenang, benar ternyata jika membagi cerita ke orang lain akan merasa lebih tenang. Seperti yang ia rasakan saat ini. Sekarang ia melihat Agam memainkan handphonenya lagi.
"Ck ini Aruna kenapa lagi masih on jam segini. Bentar ya Lan gua mau telfon Aruna dulu. Jam segini dia belum tidur, gua khawatir kalo dia begadang terus." ujar Agam kepada Dilan dan Dilan mengangguk saat ini.
Agam mendial nomor Aruna tapi tidak diangkat, padahal Aruna jelas-jelas sedang online sekarang ini. Agam pun heran kenapa sebenarnya Aruna atau memang jangan-jangan Aruna ini sengaja memang tidak menerima panggilannya, mungkin Aruna masih marah kepada dirinya karena hal tadi.
Ia tahu Aruna akan marah tapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa meninggalkan Kiara sendirian. Seharusnya Aruna sudah paham akan hal ini. Lagi pula sekarang ia juga sudah adil pada Aruna dan Kiara, tapi tetap saja Aruna merasa bahwa Kiara lebih diprioritaskan dibandingkan dirinya. Padahal Agam sama sekali tidak memiliki pikiran seperti itu. Ia hanya ingin dirinya tenang dengan menjaga Kiara dan Aruna.
Agam lupa bahwa manusia itu terbatas, ia tak bisa menjaga dua orang sekaligus. Terkadang manusia saja tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Malah ia ingin menjaga dua orang sekaligus. Itu sangat berat.
Karena tak kunjung di angkat, Agam pun mengirim pesan kepada Aruna untuk mengangkat panggilannya itu. Namun ternyata tidak di balas olehnya, meksipun tidak dibalas chat dari Agam itu di baca oleh Aruna. Hal ini membuat Agam tahu bahwa Aruna memang masih terjaga dari tidurnya. Agam masih mencoba untuk mendial nomor dari Aruna hingga pada akhirnya panggilannya di jawab oleh Aruna. Sekarang ini Agam mulai berbicara.
"Hallo, sayang kamu kenapa belum tidur?" tanya Agam pertama kali.
"Emangnya kamu perduli mau aku tidur atau ga? Yang kamu perdulikan kan cuman Kiara." ujar Aruna itu, Agam tahu Aruna masih marah padanya.
"Aku ga pernah maksud buat gitu Na, kamu tahu sendiri kan kalo Kiara itu beda, dia juga sahabat aku jadi aku harus jaga dia." ujar Agam tersebut.
"Aku tahu Agam, karena kamu udah ngomong ini seribu kali. Tapi kenapa harus kamu sih Agam? Kan masih ada Dilan sama Randra. Kenapa harus kamu yang paling dekat sama Kiara dan selalu ada buat Kiara? Terus, aku ini kamu anggap apa sebenarnya?" tanya Aruna yang sudah mulai naik emosinya. Hari ini memang sangat membuat dirinya kesal terus menerus, ia kesal.
"Aruna, bukannya kayak gitu. Kamu kan tahu aku, Dilan sana Randra sama aja kok. Kita selalu jagain Kiara. Jadi aku mohon sama kamu, tolong jangan kata-katain Kiara ya. Please sayang, kamu tahu kalo aku sayang banget sama kamu. Ayo kita hindari buat ga marahan lagi." ujar Agam itu.
"Aku ga janji Gam, aku mau tidur. Night." ujar Aruna kepada Agam.
"Night sayang, kamu beneran tidur ya jangan begadang." jawab Agam tapi belum selesai tadi ia berbicara panggilan tersebut sudah dimatikan sepihak oleh Aruna. Ia tahu, Aruna pasti masih sangat marah kepada dirinya. Namun ia lega karena Aruna tidak pergi dari hidupnya, Aruna masih stay.
Agam melihat handphonenya sebentar dan sekarang ini ia memutuskan untuk mencharge handphonenya. Baru setelah itu ia kembali ke tempatnya tadi. Dilan masih duduk disana sembari memakaj martabkanya itu. Ia juga sesekali melihat ke arah handphonenya. Ia berharap bahwa Papa atau Mama atau Dikta menelfonnya atau mengirim pesan kepadanya, bertanya sedang ada dimana Dilan. Ia juga berharap mereka mengkhawatirkan Dilan dengan meminta Dilan untuk pulang. Namun harapannya tak akan berujung.
Sia-sia saja ia berharap penuh tapi harapannya tak ada yang terpenuhi. Ia tak diharapkan di keluarganya, kepulangannya tidak pernah ditunggu. Jadi mengapa mereka harus mengkhawatirkan dirinya yang tak bisa apa-apa. Dirinya yang tak bisa diandalkan di keluargamy. Sepertinya keluarganya menyesal telah melahirkan dirinya. Hanya saja mereka belum membicarakan kepada dirinya, mungkin suatu saat nanti kata-kata itu akan ia dengar dari mulut Mamanya, Papanya, bahkan dari mulut Dikta. Ia yakin itu.
Sementara Agam dan Dilan sedang saling mengobrol, berbeda dengan Randra yang sekarang ini sendirian di balkon kamarnya. Ia menyesap rokok yang terselip ditangannya. Percaya atau tidak, ini adalah rokok bungkus kedua yang ia habiskan dalam kurun waktu tiga hingga empat jam malam ini. Kepalanya benar-benar pusing dan hatinya sakit memikirkan tentan Rania.
"Ran, gua sama sekali ga nyangka kalo ternyata Lo udah punya cowok. Kenapa Lo ga pernah bilang dan kenapa Lo ga pernah publish cowok Lo itu Ran? Dengan Lo kayak gitu buat gua ga tahu kalo selama ini gua mencintai seseorang yang sudah dimiliki. Seseorang yang sudah menemukan kapalnya untuk dinaiki hingga sampai ke tujuan." ujar Randra menatap kosong ke langit.
"Kapal gua yang dulu banyak lubangnya, sekarang perlahan mulai karam Ran. Kapal gua udah mengarungi samudera tanpa tahu tujuannya ingin kemana. Itu semua karena tujuan awal kapal gua adalah membawa Lo dengan tujuan ke ruang kebahagiaan. Namun sekarang? Kapal gua kosong dan karam." tambah Randra masih dengan menyesap nikotin ditangannya.
Randra sangat mencintai Rania, bahkan ia merasakan pertama kali jatuh cinta pada Rania, ia pun langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia selalu berharap Rania akan membalas cintanya tapi Rania selama ini tidak pernah menyukainya dengan alasan ia benci dengan Randra yang selalu menggunakan kacamata hitamnya setiap harinya. Namun malam ini, Randra tahu bahwa selama ini Rania hanya beralasan saja kepada dirinya itu.
Karena yang sesungguhnya terjadi adalah Rania yang ternyata sudah memiliki pacar. Randra begitu terpukul, padahal ia sudah mencari informasi dari mana pun dan semuanya mengatakan bahwa Rania masih single. Namun kenapa semuanya tidak benar? Mereka sengaja berbohong pada Randra karena kasihan pada Randra atau sebenarnya memang mereka tidak tahu?
"Selanjutnya bagimana gua harus hidup ya Rania? Padahal Lo satu-satunya cewek yang mirip sama Mama. Gua kira gua bisa dapatin Lo tapi ternyata Tuhan masih menunda kebahagiaan gua." ujar Randra tersebut.
Randra masih termenung sendirian di balkon kamarnya, Agam dan Dilan juga masih mengobrol dengan obrolan yang menyesakkan. Sementara Kiara? Kiara tetap tenggelam dalam gelapnya dunia. Ia masih belum bisa tidur. Sebenarnya, Kiara kadangkala tidak bisa tidur ketika pikirannya berkecamuk memikirkan tentang hidupnya dan teman-temannya. Ya, iya sering sekali memikirkan ketiga temannya itu. Ah lebih tepatnya ketiga sahabatnya.
Kadang ia berpikir, apakah mereka tidak kelelahan ia repotkan terus menerus? Apakah mereka bertiga tidak terganggu dengan adanya dirinya yang selalu membutuhkan mereka bertiga? Apakah mereka masih akan sanggup untuk berada di dekatnya sampai lima tahun, sepuluh tahun dan sampai mereka tua nanti? Entah kenapa Kiara selalu memikirkan hal itu.
"Hitam dan gelap.." ujar Kiara saat ini dengan mata yang terpejam.
"Masih hitam dan gelap juga..." ujar Kiara saat matanya ia buka. Faktanya memang begitu hidup Kiara. Ingin Kiara terpejam atau terbuka matanya tetap sama saja baginya, gelap yang selalu menenggelamkannya.
Terkadang Kiara sesak, ia bertanya kepada Tuhan sebenarnya apa salahnya hingga ia diberikan ujian seperti ini. Ia hanya lelah merepotkan orang lain terus menerus, karena faktanya semandiri apa pun ia mencoba tetap saja orang buta sepertinya membutuhkan orang lain yang bisa melihat dengan mata jernihnya. Ia takut orang-orang terdekatnya meninggalkannya karena lelah harus terus menerus ia repotkan. Ketakutan itu semakin menjadi tatkala Aruna yang terus menerus memprotes kepada dirinya karena Agam.
Ia tidak menyalahkan Aruna karena Aruna memprotes dirinya ada alasannya, Aruna memprotes dirinya karena ia mungkin memang sudah keterlaluan. Ia sudah mengambil perhatian yang seharusnya diberikan oleh Agam untuk Aruna. Sepertinya, Kiara harus tegas pada Agam. Pasalnya selama ini bukannya ia selalu meminta Agam untuk menemaninya. Tidak, justru Agam yang selalu menjemputnya dan melakukan apa pun yang Aruna anggap itu adalah pemintaan darinya. Padahal ia sama sekali tidak minta.
Kiara juga sudah pernah mengatakan berkali-kali pada Agam bahwa Agam harus memperhatikan Aruna, Agam melakukannya dan memang Agam sudah memperhatikan Aruna tapi Aruna selalu merasa bahwa perhatian Agam kepada Aruna sangat kurang dibandingkan perhatian Agam pada Kiara.
"Kiara, kakak masuk ya." ujar Kelvano yang sekarang sudah ada di dalam kamar adiknya itu. Kiara tidak berpura-pura tidur seperti orang-orang pada umumnya yang ketahuan belum tidur saat malam bahkan sudah hampir berganti pagi. Kelvano tampak mendekati Kiara dan duduk disampingnya.
"Kenapa sayang? Kiara kenapa belum tidur? Udah mau jam satu loh." ujar Kelvano kepada Kiara. Kiara sekarang ini tersenyum kepada Kelvano.
"Kak, kira-kira Kiara bisa melihat lagi ga?" tanya Kiara pada Kelvano. Kelvano terdiam sebentar, ia sebenarnya selalu sedih ketika mendapat pertanyaan seperti ini dari Kiara. Jika ia bisa meminta satu permintaan untuk dikabulkan, ia pasti akan meminta Tuhan untuk memberikan donor mata ke adiknya ini. Karena sungguh keluarganya sudah mencari-cari tapi belum temu.
"Bisa sayang, kamu akan melihat lagi." ujar Kelvano kepada Kiara itu.
"Kiara sayang banget sama kakak." ujar Kiara sembari memeluk Kelvano.
"Kakak juga sayang banget sama Kiara. Kalo Kiara sayang sama kakak, sekarang Kiara tidur ya. Kiara ga mau kan besok sekolahnya telat?" tanya Kelvano dan Kiara menggeleng. Kini Kiara sudah dalam posisi tidur dan Kelvano tampak disana untuk mengelus lembut rambut Kiara hingga pada akhirnya Kiara pun terlelap. Sekarang ini Kelvano menicum kepala Kiara, selanjutnya ia keluar untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya yang tadi sempat tertunda. Ia tadi memang sudah tidur tapi terbangun lagi karena tiba-tiba ia ingin mengecek apakah Kiara sudah tidur atau belum.