8 - Pertemuan Tanpa Rencana

1439 Words
Perempuan dengan jilbab sepanjang lutut itu termenung, menatap beberapa rangka kursi yang belum jadi diruangan ini. Cadar berwarna hitam menghiasi wajahnya seakan itu adalah pakaian paling nyaman yang membuatnya tenang dan tentu tidak merasa was-was. "Bingkainya tinggal satu kak." beritahu Annisa yang baru saja dari belakang, memantau bingkai yang mereka pesan seminggu lalu. Sebagai balasan ia hanya tersenyum pelan dibalik cadarnya menepuk sofa didekatnya agar Annisa duduk disana dan anak remaja berumur 18 tahun itu segera melaksanakannya. "Lama banget." keluh Annisa yang dibalas kekehan kecil oleh Bellvania. "Oh iya... kak Barra engga pernah lagi ke studio ya kak." "Loh memangnya dia siapa hingga harus berkunjung setiap saat." "Dia kan udah bekerja sama dengan kita tentunya harus datang sesekali dong." Bellvania membenarkan hal itu tetapi menurutnya berkunjung atau tidak itu tidaklah penting selagi semuanya berjalan dengan baik maka Bellvania tidak masalah dengan itu. "Dia kerjanya apasi kak?" tanya Annisa lagi "Kakak engga tau." jawab Bellvania seadanya karena dia memang tidak tau Barra bekerja apa. "Oh iya. Orang tua kakak bawa pulang oleh-oleh apa?" "Ba-" "Kak Annisa dipanggil Pak Galih." ucapan Bellvania terpotong dengan datangnya Aksa, anak Pak Galih yang bungsu. "Aku ke dalam dulu ya kak." pamit Annisa, Bellvania kembali sendiri di ruangan ini, orang tuanya memang sudah kembali kemarin hanya saja ia selalu lupa membawakan oleh-oleh untuk Annisa dan Yahya. Seminggu ini semenjak kejadian ia mengetahui agama Barra, laki-laki itu pernah datang lagi ke studio padahal mereka sedang melakukan kerja sama. "Bellvania?" mendengar itu perempuan bercadar itu mendongak menemukan Barra sedang menatapnya, beberapa detik kemudian Bellvania menunduk merasa bingung mengenai kenapa laki-laki itu bisa berada disini. "Aku kira tadi salah orang." Barra kembali bersuara. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hai... Aku Dito." Bellvania sedikit tersentak karena ternyata ada orang lain yang datang bersama Barra, dan dari sapaannya tadi Bellvania tau jika orang itu berkeyakinan sama dengannya yaitu beragama islam padahal Bellvania kira laki-laki itu hanya akan berteman dengan sesamanya saja. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Bellvania." jawabnya pelan. "Kita berdua kedalam dulu Bellvania, permisi." Setelah keduanya berlalu Bellvania mendongak, ada perasaan aneh dalam dirinya saat Barra berada disini bahkan menyapanya seperti tadi. Sebenarnya ada apa dengannya kenapa begitu gelisah dan tidak tenang saat Barra berada dalam jangkauannya. Harusnya ia harus berhenti atas keanehan ini karena takutnya jika semuanya berjalan semakin jauh maka akan terjadi sesuatu yang tidak Bellvania inginkan. Apa benar jika dirinya memang berharap ada sesuatu disini tetapi jika memang seperti itu lalu apa yang harus Bellvania lakukan untuk mengendalikan semuanya? Sangat tidak mungkin ia dan Barra setakdir bukan? "Astagfirullah... Astagfirullah... Astagfirullah." kata itu terus terulang dari bibirnya, mencoba mengenyahkan kegelisahan dalam hatinya, ada gebuan yang tak bisa ia kendalikan saat tau ternyata Barra juga berada disini. "Kak Bellva... Kata pak Galih besok pagi bingkainya bakal sampe di studio." Bellvania mendongak menemukan Annisa dengan rok abu-abunya serta baju lengan panjang berwarna hitam, jilbab senada dengan warna roknya dan yang terakhir tas selempang kecilnya. "Aku juga sudah kasi uangnya sama Pak Galih... Jadi kita pulang kak?" pertanyaan itu membuat Bellvania sedikit terganggu entah kenapa hatinya belum ingin beranjak dari sini. Sejenak ia kembali beristighfar mencoba memperbaiki kegelisahan yang datang tiba-tiba dalam hatinya. "Yaudah kita pulang, sudah mau sore juga." sebagai tanggapan Annisa mengangguk pelan, keduanya berjalan keluar dari ruangan tersebut berjalan kearah taksi yang menunggu mereka sedaritadi. Hari ini Bellvania memang menutup studio lebih cepat karena harus kesini mengecek bingkai yang ia pesan seminggu lalu. Harusnya Yahya juga ikut tetapi anak remaja itu katanya ada urusan maka dari itu hanya Annisa yang pergi bersamanya. "Jalan Pak." pintanya pada supir taksi saat keduanya telah duduk di kursi penumpang. Mobil melaju meninggalkan tempat pengrajin kayu itu bersama dengan kegelisahan yang belum hilang dalam hati Bellvania. "Aku baru tau kalau kak Barra ternyata sering pesen sebagian alat lukisnya disana, ternyata Pak Galih beserta karyawannya itu serba bisa ya." "Kamu tau darimana Annisa?" "Tadi aku tanya langsung sama Kak Barra soalnya aku kaget dia tiba-tiba ada disana. Temennya itu ternyata arsitek loh, dan pekerjaan Kak Barra itu melukis tapi katanya juga punya beberapa bisnis kuliner bisa dikatakan bekerja sama dengan teman-temannya, dia cuman nanam modal dan temannya itu yang kelola. Dan lagi ada juga toko baju kalau engga salah, apalagi ya? Tadi banyak kata Barra karena kalau dia punya peluang serta modal kenapa engga?" Bellvania bungkam, dia baru tau kalau ternyata Barra itu tipe laki-laki yang gila akan bisnis walaupun itu Bagus karena tidak terkesan membuang-buang uang tetapi apakah laki-laki itu tidak takut jika nantinya malah tertipu? "Ternyata bukan cuman kita yang dia ajak kerjasama ada banyak orang. Dia tadi menjelaskan banyak loh kak." Annisa terus bercerita sedangkan Bellvania hanya terdiam memandang jalanan yang mereka berdua lalui. "Ehh Pak Danu... Jangan lupa singgah di tempat biasa ya!" supir taksi ini adalah langganan mereka, setiap pulang ataupun pergi pasti Pak Danu yang mereka hubungi. Yang pertama diantar adalah Yahya dan Annisa kemudian Bellvania yang paling terakhir. Umur Pak Danu sudah kepala lima tetapi katanya via harus bekerja agar anak dan istrinya tetap makan dan hidup nyaman. "Iya Mba Annisa... Engga bakal lupa kok. Tua-tua gini jiwa bapak masih mudah loh." Kedua perempuan itu tertawa kecil karena candaan Pak Danu. Mobil terhenti tepat didepan toko kue kecil, setiap pulang dari studio Annisa dan Yahya selalu singgah disana untuk membeli kue sebagai oleh-oleh untuk anak panti. Itu sebenarnya pesanan ibu panti agar anak-anak merasa terhibur akan hal itu. Annisa turun meninggalkan Bellvania sendiri dengan kaga mobil yang terbuka, perempuan bercadar itu sibuk memperhatikan sebagian orang yang berlalu lalang ada yang masuk toko kue seperti ini Annisa ada juga yang sekedar lewat saja. Dapat Bellvania lihat didalam toko Annisa disambut oleh perempuan paruh baya Bu Ranti namanya, pemilik toko kue itu sekaligus pembuatnya langsung. Mereka berdua terlihat sedang berbincang seru dimana Annisa tertawa lepas dan Bu Ranti hanya tersenyum pelan saja. Salah satu pegawai Bu Ranti keluar dari dapur memberikan beberapa kotak kue yang sudah dikantongi, terlihat Annisa dengan sigap menerima dua kantong kotak kue tersebut kemudian berjalan dengan hati-hati keluar dari toko kue itu. Tentu Bellvania melihat itu semua karena kaca depan toko kue itu transparan dan sangat jelas terlihat, "Berat banget." keluhan Annisa langsung terdengar saat pintu mobil terbuka, anak remaja itu memasukkan kantong pertama pertama terlebih dahulu kemudian menyusul kantong kedua. Dua kantong kue itu kini sebagai penghalang antara Bellvania dan Annisa. Setelah melihat semuanya sudah sesuai Pak Danu kembali melanjutkan tugasnya, yaitu mengantar kedua perempuan yang ada dibelakangnya saat ini. *** "Udahlah Barra engga udah terlalu galau kayak gitu kan kamu bisa ke studio fotonya." saat ini Barra memang sedang mematung di dekat mobilnya karena ia sangat berharap Bellvania masih berada ditempatnya tetapi ternyata telah pulang dan itupun sudah dari beberapa puluh menit yang lalu. Sekali lagi Dito berdecak kesal melihat kelakuan temannya yang seperti orang putus Cinta saat ini padahal mereka berdua bisa bertemu kapan saja jika Barra ingin berkunjung ke Studio perempuan bercadar itu. "Dit..." "Apaan?" "Salah engga sih kalau aku mau dekat sama dia?" bukannya menjawab pertanyaan Barra, Dito malah terdiam karena jujur dia juga bingung ingin menjawab seperti apa pertanyaan temannya itu. Karena apa yang sedang Barra dekati ini bukan hal mudah untuk diatasi masih untung jika perempuan itu berkeyakinan sama dengan Barra tetapi perempuan bernama Bellvania itu? "Seminggu ini aku berusaha menghindar Dit! Berusaha abai karena memang jalur kami yang tidak sejalan, lagian kami berdua baru bertemu seminggu lalu mana mungkin langsung menghadirkan sesuatu kan?" itu memang benar, selama seminggu ini ia berusaha sibuk dengan segala pekerjaannya menganggap Bellvania hanyalah angin lalu selayaknya dulu saat berkenalan dengan perempuan tetapi rasanya ini berbeda. "Tidak ada yang bisa menebak perasaan Dit! Bahkan ada orang yang hanya melalui ponsel tanpa bertemu sama sekali tetapi sudah saling nyaman satu sama lain. Mereka berdua tidak pernah saling menatap wajah tetapi apa yang terjadi? Sesuatu itu tetap ada." Barra bungkam seolah membenarkan apa yang Dito katakan dan kasus yang temannya bilang itu sudah banyak terjadi di kalangan anak remaja. "Tetapi aku tidak pernah melihat wajahnya Dit." gumamnya tetapi masih mampu Dito dengar dengan sangat jelas. "Tapi kamu sudah tenggelam dalam manik matanya Bar, kalian sudah saling menatap tanpa sengaja." Barra bungkam lagi, apa yang Dito ucapkan lagi dan lagi membuatnya bingung ingin mengatakan apa. Semuanya terasa sangat rumit untuknya. "Aku bingung." lirihnya pelan. "Jangan terlalu berjalan terlalu jauh apalagi terjebak dalam rasa penasaranmu Bar! Karena kalian berdua benar-benar sebuah kerumitan yang saling bertentangan. Jika benar kamu telah mencintainya maka hilangkan segera, kecuali..." "Kecuali?" "Kecuali kamu mengubah keyakinanmu." Barra diam, menatap hampa pintu mobilnya dan untungnya tempatnya saat ini sangat strategis. Kata-kata Dito tergiang dalam otaknya saat ini. Mengubah keyakinan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD