"Kamu kesini lagi Bellvania." dibalik cadarnya Bellvania membalas sapa riang Pelita dengan senyuman tulus yang bisa terlihat oleh matanya.
"Baru kemarin ketemu tapi rasanya kangen aja gitu sama kamu." seru Pelita lagi yang dibalas tawa kecil oleh Bellvania.
"Kamu sering kesini?"
"Iya. Cerry sangat suka bermain ditaman ini kalau sore padahal didekat rumah ada taman juga karena katanya disini tuh banyak teman dan seru sedangkan didekat rumah anak-anaknya suka mengejek dan bandel." Pelita bercerita sambil memperhatikan anaknya yang sibuk bermain ayunan bersama anak-anak lain, merasa bahagia saat melihat tawa lepas anaknya disana.
"Kamu bahagia dengan semua ini Pelita?"
"Tentu saja aku bahagia rasanya aku tidak pernah menyangka akan merasakan kebahagiaan seindah ini Bellvania. Rasanya sakit kemarin itu engga ada apa-apnya dengan apa yang kurasakan kemarin, saat mengingat perselingkuhan itu aku terkesan biasa saja padahal saat itu aku merasa sangat terpuruk. Dan dari semua ini aku tau arti kalimat semua akan Indah pada waktunya." Bellvania dapat melihat betapa cerianya Pelita saat ini, perempuan cantik itu bahkan enggan melunturkan senyumnya sama sekali.
"Kamu merasakan cinta yang Indah?"
"Aku tidak terlalu merasakan bagaimana sebenarnya cinta bertindak. Yang aku lakukan hanyalah menikmati setiap keadaan yang Allah suguhkan padaku meskipun kemarin aku sempat memaki takdir yang Allah berikan padaku bahkan begitu membenci takdirku sendiri tetapi setelah merasakan semua ini aku bersyukur Allah memberiku ujian itu karena tanpa kejadian itu aku takkan pernah merasakan kebahagiaan seindah ini." ibu satu anak itu meraih jemari Bellvania, mengenggamnya serta ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Bellvania.
"Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja atau mungkin sedang dilema tetapi percayalah semuanya takkan datang padamu secara percuma dibalik jatuh ini ada hartu karun yang harus kamu cari disuatu tempat." ujar Pelita dengan suara lembutnya.
"Aku merasa hampa dengan kenyataan yang ada didepanku."
"Itu berarti kamu merasa kecewa atas keadaan itu."
"Kecewa?"
"Ya... Kamu merasa kecewa maka dari itu kamu merasa hampa dan bersikap seperti orang linglung."
"Tapi kenapa aku harus kecewa?"
"Mungkin karena perlahan kamu merasa nyaman dengan keadaan itu hanya saja kenyatannya suiit kamu terima bahkan sangat diluar ekspektasimu sendiri." Pelita kembali memperbaiki duduknya, menatap anaknya yang kini sibuk bermain petak umpet disekeliling taman ini.
"Hatiku terasa sangat sesak Pelita."
"Kita perempuan Bellvania, bukan hal langka kita merasakan hal seperti ini jika itu berhubungan dengan lelaki baik diawal pertemuan ataupun di beberapa kejadian. Tidak ada yang salah dalam mencintai ataupun kagum pada seseorang hanya saja sebagai perempuan kita harus selalu ingat yang namanya alarm untuk diri sendiri bahwa ada saatnya untuk berhenti."
"Tapi Pelita, jika aku berhenti maka semuanya akan terasa semakin menyesakkan dan kami baru bertemu kemarin rasanya sulit sekali dinyatakan bahwa ini adalah perasaan yang sering anak muda rasakan." perempuan bercadar hitam itu menyandarkan punggungnya pada kursi taman, menatap kumpulan anak-anak tertawa riang seakan tidak ada hal lebih seru kecuali bermain, bermain dan bermain.
"Tidak ada orang yang bisa mengerti perasaannya Bellvania."
"Kenapa seperti itu?"
"Terkadang mereka mengira ia mencintai padahal nyatanya hanyalah sekedar menyayangi layaknya kakak-adik ataupun persahabatan, terkadang juga mereka mengira hanya sekedar sahabat tetapi nyatanya sudah saling mencintai sejak dulu, kadang juga ada yang mengira hanya sekedar kakak-adik tetapi nyatanya mereka sudah terjebak dalam permainan mereka sendiri." Pelita mengeluarkan sebotol air minum dari dalam keranjang yang ia bawa kemudian berjalan menghampiri Cerry, anaknya. Yang terlihat sangat kelelahan bermain.
Bellvania hanya melihat itu dalam diam, mencoba mencerna ucapan demi ucapan yang Pelita berikan padanya. Ternyata sekuat apapun seseorang pasti akan ada waktunya memerlukan yang namanya pencerahan dari orang lain.
"Ante Va." Bellvania menegakkan punggungnya kemudian tersenyum manis didepan Cerry yang sedang tersenyum riang didepannya,
"Hai cantik... Puas bermain?"
Anak perempuan menggemaskan itu mengerucutkan bibirnya kesal kemudian menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri membuat rambut kuncir kudanya mengikuti arahan itu, Bellvania tentu paham jika anak ini belum puas bermain hanya saja Pelita sudah mengajaknya kemari.
"Sebentar lagi suamiku datang menjemput." itu adalah suara Pelita sekaligus jawaban kenapa mengajak anaknya kemari.
Pelita mengambil jaket kecil yang ada diatas keranjang bawaannya kemudian memakainya pada Cerry, terlihat anak itu masih terlihat kesal karena masih ingin bermain tetapi sudah diajak pulang.
"Esok sini agi."
"Iya... Besok kita kesini lagi."
"Arus ama."
"Iya... Harus lama dan sampai princess cantik ini puas dan meminta sendiri untuk pulang."
"Anji?"
"Iya sayang... Janji, pake topinya ya!" Pelita mengambil topi bundar lucu berwarna pink disamping tasnya kemudian memakaikan pada anaknya.
Bellvania tertawa kecil melihat interaksi keduanya, merasa nyaman melihat betapa sayangnya Pelita pada Cerry padahal kemarin perempuan tangguh itu mengatakan padanya jika Cerry selalu mengingatkannya tentang luka masa lalu.
"Kami duluan ya Bellvania, suamiku sudah ada didepan. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Dadaah Ante Va."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Dadaah juga Cerry." Bellvania melambaikan tangannya membalas lambaian Cerry dan kedua siluet tubuh itu sudah menghilang dari pandangannya.
Bellvania terdiam memandang kumpulan anak-anak yang masih sibuk bermain padahal sebagian ibu mereka sudah memanggil untuk pulang, bukannya menuruti kumpulan anak-anak itu malahan sibuk bermain kembali seakan panggilan ibu mereka adalah angin lalu.
"Ternyata sudah setengah enam." gumamnya saat melihat jam yang ada di pergelangan tangannya.
"Lebih baik aku pulang saja." perempuan bercadar itu berdiri melangkah pelan menjauhi taman kompleks yang masih di hiasi kumpulan anak-anak yang entah kapan lelahnya, tawa mereka masih bergema begitu indah seakan dalam otak mereka hanyalah bermain yang paling untuk tetapi bukankah anak-anak isi pikirannya memanglah permainan?
***
"Tadi ada klien yang datang kesini katanya mau melihat perkembangan lukisannya tapi kamu belum pulang, dari mana aja Bar?" suara serta pertanyaan Dito menyambut kedatangan Barra yang melangkah pelan masuk kedalam apartemen kemudian duduk di dekat Dito. Menyandarkan punggungnya sambari tangannya sibuk memijat pelipisnya.
"Terus dia bilang apa?" tanya Barra beberapa detik kemudian.
"Katanya besok dia balik lagi." jawab Dito tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop yang ada didepannya.
"Tumben kerja disini biasanya di kantor." herannya, tentu saja Barra heran karena ini pertama kalinya sahabatnya itu bekerja dirumah
"Kejar target." jawab Dito singkat.
"Aku masuk mandi dulu." pamitnya yang dibalas anggukan singkat oleh Dito.
Barra berdiri dengan wajah lelahnya kemudian berjalan masuk kedalam kamarnya sambil pikirannya kembali berkelana mengenai perbincangan singkanya dengan pemimpin shalat itu.
"Saya jawab yang paling sederhana saja tidak perlu terlalu jauh ya. Perempuan itu yang pantas terlihat hanyalah wajah dan telapak tangannya yang lainnya harus ditutup dan tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan keluarga mereka ataupun suami mereka."
Barra membuka jam yang ada di pergelangan tangannya kemudian menyimpannya dilemari khusus tempat penyimpanan jam tangannya, disana terlihat beberapa merek jam tangan yang tentunya Barra koleksi dengan baik dan dominan berwarna hitam tetapi terdapat warna coklat dan navi juga.
"Saat kamu di keramaian tentunya banyak kamu temukan yang berpenampilan sesuai dengan apa yang saya katakan itu tetapi ada juga yang sekedar menutup saja tanpa tau itu benar atau salah. Kadang juga mereka tau itu salah tetapi tetap melanjutkannya dan tentunya itu hak semua perempuan walaupun kenyatannya menutup semuanya kecuali yang saya bilang tadi adalah sebuah kewajiban untuk mereka."
Laki-laki itu terdiam, masih bingung dan tidak mengerti dengan ucapan pemimpin shalat itu. Ia merasa bingung dan kurang puas atas penjelasan yang malah membuat pikirannya semakin pusing saja.
"Anak remaja sekarang banyak yang lupa akan pergaulan, mereka terkadang bingung ingin menanggapi seperti apa peraturan agama kami. Mungkin sebagian dari mereka mengerti dan menuruti tetapi sebagian lagi memilih abai dan menanggap itu hanyalah peraturan kuno ataupun kewajiban yang bisa di bawa santai saja."
Perkataan itu tergiang dalam pikiran Barra, berarti menutup kepala itu adalah kewajiban untuk perempuan tetapi ingin melakukan nya atau tidak itu tergantung dari mereka masing-masing ingin melaksanakan kewajiban itu atau abai saja, begitu?
Barra menggelengkan kepalanya rasanya pikirannya semakin memusingkan saja padahal ini hanya pertanyaan biasa tetapi kenapa sulit sekali ia mengerti. Ia duduk di tepi ranjang membuka kaos kakinya kemudian menyimpannya di keranjang cucian yang kotor didekat pintu kamar mandi.
"Nak! Mau sebagaimanapun kamu mencari kamu takkan puas akan jawabannya karena keyakinan kita berbeda dan tentunya sulit kamu terima penjelasannya. Karena apa yang kamu tanyakan tentang agama kami sedangkan kamu berbeda agama dengan kami, saya tidak bisa menjelaskan terlalu jauh tetapi kalau misalkan hatimu masih tergerak ingin mengetahui jalan-jalanlah kerumah datanglah bertamu saya akan mencoba menjelaskan perlahan tetapi ingat hanya yang kutau saja."
Barra masih mengingat pemimpin shalat ini menepuk pundaknya beberapa kali sebelum berlalu dari hadapannya, mereka berdua memang tak sengaja bertemu di warung dekat gedung apartemen maka dari itu Barra memutuskan bertanya tetapi jawaban yang ia dapatkan hanyalah garis besarnya saja bahkan mungkin hanya beberapa persen saja.
Menghembuskan napas pelan, Barra berdiri membuka lemari pakaiannya mengambil pakaian ganti, kemudian mengambil handuk yang tergantung lalu berjalan kedalam kamar mandi untuk menyegarkan badannya terutama pikirannya yang semakin rumit saja.
"Mungkin aku harus kerumahnya." gumamnya sebelum benar-benar masuk kedalam kamar mandi.
Karena Barra hanya ingin menuntaskan penasaran dalam pikirannya agar tidak terus menerus bertanya tanpa jawaban sama sekali.