"Tante ingin kamu menikahi perempuan pilihan tante." untuk kesekian kalinya Barra menatap jengah perempuan berambut coklat didepannya, adik mamanya datang berkunjung ke apartmennya tetapi lagi dan lagi malah membahas tentang perempuan, hal yang paling Barra tidak sukai.
"Tante tentu tau apa jawabanku." jawabnya malas.
"Barra... Kamu itu tanggung jawab tante, dan hanya kamu satu-satunya keluarga tante saat ini." ujar Vinda, adik dari ibu kandung Barra.
"Aku masih punya dua tante dan satu om dari pihak papa." peringatnya yang dibalas dengusan kesal oleh Vinda.
"Mereka sudah melupakanmu, dan lagi? Saat pembagian warisan kamu malah tidak dapat sepeserpun dari mereka." Barra memijat dahinya pelan mendengar hal itu.
"Mereka menawarkan tetapi aku yang menolak Tante, aku lebih suka melukis daripada harus pusing memikirkan saham ataupun tumpukan kertas entah kapan habisnya." ia memang menolak tawaran dari pihak Papanya untuk bergabung di perusahaan keluarga besarnya, Barra hanya ingin bebas tanpa harus memusingkan yang namanya saham ataupun harta.
"Tetapi setidaknya mereka tetap tidak melupakanmu Barra, kemarin saat perayaan ulangtahun perusahaan mereka tidak mengundangmu sama sekali." Barra bungkam, apa yang Vinda katakan memang benar. Beberapa hari lalu keluarga besar papanya melakukan perayaan ulang tahun perusahaan mereka tetapi Barra tidak di undang sama sekali.
"Tante tidak memintamu membenci mereka karena itu adalah hakmu tetapi jangan terlalu lama bungkam Barra, kamu juga masuk dalam jajaran keluarga mereka sesekali datanglah kesana perlihatkan posisimu, rasanya aku ingin membungkam para sepupu sombongmu itu saat mereka datang ke butikku. Sangat bangga dengan harta mereka padahal ayahmu lah yang seharusnya memilki itu semua dan tentu kamu sebagai penerusnya tetapi mereka malah seprti ini."
Perempuan berumur 40 tahun itu memang memilki butik yang bisa dibilang cukup besar, perempuan dua anak itu tentu mengelola semuanya dari nol ditemani oleh kakaknya, harusnya saat ini mereka berdua menikmati hasil kerja kerasnya tapi sayangnya sang kakak lebih dulu pergi akibat sebuah kecelakaan entah disengaja atau tidak.
"Tante... Aku sendiri yang tidak menginginkan posisi itu." ulangnya lagi yang tidak ditanggapi oleh Vinda.
"Nama perempuan itu Syahira. Dia berprofesi sebagai dokter anak di rumah sakit dekat sini, dia sangat lemah lembut Tante sudah bertemu dengannya. Jadi kapan kamu ada waktu untuk sebuah pertemuan pertama?"
"Aku tidak bisa besok karena harus bertemu dengan teman lama untuk membahas mengenai kerjasamaku dengan dia."
"Kerja sama apa?"
"Restoran." balas Barra singkat.
"Sudah berapa bisnis yang kamu jalankan? Apakah semuanya hanya sekedar menanam modal lalu mereka yang mengelola?"
"Aku tidak tau, saat temanku datang menawarkan dan jika keuntungannya memungkinan maka kenapa tidak aku ikut saja? Jika uangku bisa ku bisniskan kenapa harus tinggal di dompet saja? Lagian aku bisa membantu mereka juga." Barra memang lebih suka seperti ini, bukan karena ia banyak uang hanya saja jika ada teman yang menawarkan dan uang tabungannya memadai maka ia takkan segan mengeluarkannya, mengenai untung-rugi dan kebenarannya maka ia biarkan mengalir begitu saja.
"Lalu? Kapan kamu ada waktu senggang?"
"Aku tidak tau Tante." jawabnya pelan,
"Barra... Tante hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kamu, jika nantinya kamu tidak cocok dengan Syahira maka Tante takkan memaksa. Tetapi tolong jika kamu ada waktu maka beritahu Tante agar kalian bertemu terlebih dahulu sebagai perkenalan."
"Akan kuusahakan Tante." Vinda tersenyum senang mendengar hal itu.
"Kamu tau Barra, sampai saat ini Tante masih berpikiran jika mereka lah yang membuat kedua orangtuamu tiada." ujarnya lirih.
"Kita sudah membahas ini Tante, dan bukankah polisi sudah mengatakan jika ini murni kecelakaan?"
"Tetapi firasat Tante mengatakan jika merekalah yang melakukannya, apapun bisa orang kaya lakukan Barra demi setumpuk harta meskipun itu harus menyingkirkan kakak kandungnya sendiri."
"Tante... " peringat Barra
"Tante bahkan masih berharap jika mamamu masih hidup dan sedang bersama dia yang kita tidak tau keberadaannya. Apalagi hanya jasad papamu yang ditemukan saat itu." harapnya dengan binar mata yang meredup
"Bukankah polisi sudah mengatakan jika tubuh mama terbakar habis saat ledakan itu?"
"Harapan itu tetap ada Barra, apalagi dia juga ikut menghilang tepat di hari kecelakan itu juga."
Barra bungkam lagi, sakit karena kehilangan kedua orangtuanya kini terasakan lagi padahal kejadian itu sudah termakan tahun, tetapi kenapa rasanya baru kemarin kejadian itu terjadi.
"Rasanya menyesakkan jika harus berharap tanpa kepastian sama sekali, setiap malam aku selalu berharap jika firasatku ini benar. Kakak kandungku masih hidup bersama dia yang juga menghilang entah dimana. Pasti dia sudah besar sekarang dan wajahnya juga sudah dewasa sepertimu." Vinda tertawa kecil ditengah wajah sendunya,
"Tante, jangan menggali harapan terlalu dalam nanti harapan itu malah kembali menyakiti Tante ribuan kali." sebenarnya Barra juga berharap demikian tetapi apa yang dikatakan polisi saat itu tentu sudah terjawab dengan jelas.
"Tante harus kembali, besok tante akan ke malaysia."
"Untuk?" tanyanya
"Mertua Tante sakit dan Ommu tentu ingin kesana."
Barra berdiri kemudian berlutut dihadapan Tantenya, memperhatikan wajah yang sekilas mirip dengan wajah mamanya. Penampilan tantenya selalu identik dengan sempurna karena tentu pemilik butik harus terus menerus terlihat menawan, rambut coklat yang tergulung rapi serta anting berwarna senada dengan gaunnya, hijau.
Barra meraih jemari Vinda lalu menggengamnya erat.
"Aku bahagia karena Tante masih memperhatikanku padahal umurku sudah setua ini, hatiku merasa sangat senang karena sosok mama seakan ada didalam diri Tante. Setiap melihat Tante rasanya aku melihat Mama disini, jangan bersedih karena rasanya aku gagal menjaga Tante jika seperti itu dan tentunya kedua sepupu cantikku itu akan mengomeliku karena membuat bidadari mereka menangis."
Vinda melepaskan genggaman tangan keponakannya itu kemudian memukul pundaknya pelan, ia tertawa kecil mendengar perkataan keponakan itu. Rasanya setiap melihat wajah Barra ia jadi mengingat kakaknya. Mata Barra serta bentuk bibirnya sangat mirip dengan sang kakak.
"Yaudah... Tante pulang dulu. Bye." Vinda berdiri di ikuti oleh Barra, ia mengecup pelan pipi keponakannya sebagai tanda perpisahan, meraih tas jinjingnya yang ada di meja kemudian berjalan keluar apartemen keponakannya itu, ia berjalan tanpa ingin mendengar perkataan Barra lagi karena setiap dia bertemu Barra maka kilasan kejadian kecelakan kakaknya pasti teringat lagi.
Setelah menutup pintu apartemennya Barra duduk kembali di sofa, memikirkan kembali jalan hidupnya yang selalu rumit tanpa memilki ujung sama sekali. Ia menghembuskan napasnya berkali-kali, menatap jam sudah menujukkan pukul 9 malam tetapi Dito belum pulang sama sekali padahal tadinya hanya pamit untuk bertemu klien yang katanya mendadak meminta perubahan sketsa ruangannya.
"Maaf Pak Barra, penyelidikan ini harus dihentikan karena menurut kami semua ini murni kecelakaan bukan disengaja seperti dugaan Tante anda."
Perkataan polisi beberapa tahun lalu kembali lagi, saat itu Tantenya berusaha agar kecelakaan itu diselidiki karena katanya ini semua sudah direncakan tetapi setelah berjalan beberapa hari semuanya dihentikan karena tidak menemukan jawaban apapun.
"Tante sangat yakin mereka yang melakukannya Barra karena mereka ingin mengambil semua harta papa kamu, kita engga boleh menyerah jangan biarkan mereka malah berbuat seenaknya seperti ini."
Rasanya baru kemarin Tantenya terus memberontak didalam pelukan suaminya sendiri, meminta keadilan untuk kematian kedua orangtuanya yang menurut Tantenya sudah terencana, Barra hanya bisa terdiam karena bingung dan linglung ingin menanggapi seperti apa hal itu.
"Maafkan kami karena jasad mama anda tidak bisa kami evakuasi sepertinya terlalap habis oleh kobaran api. Hanya jasad papa anda yang kami temukan itupun tidak bisa kami dikenali karena wajahnya sudah terbakar."
Tentu suasana saat itu tidak terkendali, tantenya yang menangis histeris karena tidak bisa menerima kenyataan, dan lagi besoknya 'dia' juga menghilang entah kemana.
Barra menyandarkan punggungnya pada sofa, berusaha membuat pikirannya tetap tenang kedua orang tuanya sudah tenang disana jadi semua masalah ini tidak perlu di ungkit lagi.
Syahira.
Apa Barra harus bertemu perempuan itu, tetapi bagaimana dengan Bellvania? Bukankah saat ini Barra harus mengakui jika ia telah jatuh hati pada perempuan berpenampilan aneh itu? Tetapi apakah ada jalan keluar untuk bersama Bellvania?
Mengubah keyakinan?
Tentu, perkataan Dito sore tadi masih ada didalam pikirannya, apakah semuanya memang harus seperti itu? Barra mengacak rambutnya frustasi memikirkan begitu banyak masalah yang datang padanya.
Dito :
Kayaknya aku pulang larut soalnya orang kaya ini banyak maunya padahal ini udah malam. Waktu istirahatku berkurang drastis.
Barra berdecak kesal melihat pesan yang Dito kerimkan padanya, padahal ia membuka ponsel untuk menghubungi temannya itu kenapa belum pulang tetapi ternyata pesan Dito terlebih dahulu mengabarinya.
"Apakah Bellvania akan menerimaku jika aku berpindah agama?" gumamnya pelan dan tentunya hanya dijawab oleh hening malam.
"Tapi apa aku harus bertemu dengan perempuan bernama Syahira itu?" tanyanya lagi dan tentunya tanpa jawaban sama sekali.