"Capek banget kayaknya, padahal baru jam 5 juga." Barra tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, masih sibuk menatap kosong meja didepan sana.
"Kenapa sih Bar? Kayak orang lagi putus cinta tau engga." masih bungkam,
"Tadi aku ke restoran, terus ketemu sama teman bisnis." beritahunya,
"Lalu? Yang buat kamu kayak orang merana habis diputusin pacar tuh apa? Pulang-pulang bukannya langsung ke kamar untuk bersih-bersih malah diem kayak gini." omel Dito, sepertinya dia sudah cocok memposisikan diri sebagai ibu Barra.
"Kamu kok kayak ibu-ibu Dit? Ngomel-ngomel engga jelas." Barra menatap Dito dengan pandangan heran.
Karena kesal melihat kelakuan Barra, ia berlalu masuk kedalam kamarnya tanpa peduli tatapan heran laki-laki itu.
Aneh, batin Barra.
"Tante kamu tadi kesini, mastiin kamu benar-benar ketemu sama perempuan pilihannya!" teriak Dito dari dalam kamarnya.
"Terus? Dia bilang apa lagi? Kok bisa perempuan itu bisa sampai di restoran?" tanya Barra dengan suara agak sedikit di besarkan agar Dito mendengarkan suaranya.
"Aku cuman bilang kamu keluar engga nyabutin posisi kamu ya! Jangan tuduh kalau aku yang kasi tau Tante kamu. Orang aku aja engga tau kamu dimana." bantah Dito dari dalam kamarnya, Barra jadi berpikiran Dito baiknya jadi perempuan saja karena sangat cocok menurutnya.
"Aku sebenarnya lagi ada hubungan sama seseorang tapi Papa aku pengennya aku dijodohin sama kamu. Walaupun keluarga engga ada yang tau aku menjalin hubungan sama dia tapi please... Bantu aku menggagalkan perjodohan ini."
Suara perempuan itu terulang dalam pikiran Barra, siapa juga yang ingin perjodohan ini berlanjut? Barra juga lagi berusaha mencari celah agar semuanya batal malahan rencananya dia ingin mengajak perempuan itu bekerja sama tapi perempuan itu yang duluan menawarkan padanya.
"Aku keluar dulu... Mau jemput sepupu yang semalam aku bilang." ujar Dito buru-buru, jaket yang tadinya masih Dito pegang kini sedang dipakai dengan cepat.
"Aku ikut deh! Jemputnya pake mobil aku aja, bentar aku ambil jaket dulu." Dito hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali melihat kelakuan sahabatnya yang aneh.
Beberapa menit kemudian Barra keluar dari kamarnya, tanpa mengucapkan apapun keduanya berjalan keluar aparteman bersisian.
"Perempuan itu mau perjodohannya batal." jelas Barra tanpa diminta oleh Dito.
"Bagus dong. Jadi kamu engga perlu capek-capek membujuk dia ataupun sogok dia sesuatu gitu. Jadi masalahnya selesai, kamu bisa fokus sama lukisan dan bisnis kamu itu." tentu Barra senang karena semuanya berjalan tidak terlalu rumit tetapi hanya saja,
"Aku melihat Bellvania di restoran tadi." gumamnya tetapi masih mampu didengarkan oleh Dito.
Dito belum bersuara, ia fokus memencet tombol lift yang ada didepannya sedang Barra masih sibuk dengan pemikirannya. Setelah menunggu selama beberapa menit akhirnya pintu lift terbuka dan untungnya hanya mereka berdua didalam.
"Salah orang kamu Bar! Tau dari mana kamu kalau dia adalah Bellvania? Lagian banyak perempuan yang berpenampilan sama dengan dia, di negara Indonesia tercinta kita ini ada beribu-ribu perempuan yang berpakaian sama dengan Bellvania." Barra berdecak kesal mendengar ucapan Dito, sangat berlebihan.
"Aku yakin banget itu adalah Bellvania, kalau engga salah dia ngeliat aku pelukan sama perempuan itu."
"PD banget."ledek Dito, pintu lift terbuka dan mereka berdua keluar dari sana berjalan kearah parkiran tempat Barra memarkirkan mobilnya.
Keduanya diam dan tak bersuara, memilih bungkam karena sebenarnya Barra juga agak ragu jika perempuan yang tak sengaja ia lihat di restoran itu adalah Bellvania. Barra lihat orang itu sedang berkumpul dengan keluarganya, mungkin.
"Jangan selalu mengira jika kamu melihat perempuan berpenampilan seperti itu maka dia adalah Bellvania. Bisa dipukul kamu Bar! Jika tiba-tiba kamu ngajak mereka berbincang tapi salah orang." Dito dengan penampilan sederhananya kembali bersuara, matanya mengedar mencari mobil Barra, padahal parkiran ini tidak terlalu luas tetapi kenapa begitu sulit mencari.
"Itu disana." Barra menunjuk kearah barat dan tepat disana, mobil Barra terparkir cantik, bagaimana ia bisa menemukan mobilnya jika sadaritadi Dito melihat kearah Timur, benar-benar menyebalkan.
Setelah sampai di sisi mobil Barra, Dito langsung masuk padahal yang punya mobil belum masuk sama sekali tentunya Barra tidak terlalu memusingkan sikap sahabatnya itu karena mereka berdua sudah lama tinggal bersama serta sahabatan jadi bukan masalah besar jika Dito seperti itu.
Barra membuka pintu mobilnya dan duduk nyaman di kursi kemudi, sekilas ia melihat Dito apakah duduknya sudah nyaman atau tidak setelah melihat Dito sudah nyaman, Barra menjalankan mobilnya meninggalkan parkiran menuju bandara untuk menjemput sepupu Dito.
Flash back on
"Bar?" panggil Dito semalam
"Kenapa?" Jawab Barra tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop, Barra sedang memilih foto mana yang akan menjadi objek lukisannya selanjutnya.
"Besok... Sepupu aku mau datang itupun dia ngasi taunya mendadak banget. Engga papa kan selama dia ada di Jakarta tinggalnya disini."
Fokus Barra buyar, foto-foto yang ada di laptopnya tak lagi ia lihat.
"Berapa lama?" tanyanya
"Engga tau, katanya dia ke Jakarta untuk bertemu seseorang, semacam beli foto gitu sih untuk keperluan pesantren." Dito duduk disebelah Barra dan langsung menyandarkan punggungnya.
"Akhirnya, ini badan istirahat juga! Kemauan mereka itu banyak banget. Inilah itulah harus ginilah harus gitulah, arrggh! Capek tapi menantang."
Barra hanya memutar bola matanya malas mendengar ocehan Dito, sahabatnya itu memang baru saja pulang dengan jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat,Barra jadi berpikir mereka membahas apa saja hingga Dito harus pulang selarut ini?
"Jadi boleh engga?" tanya Dito lagi, rasanya badannya sudah berteriak meminta istirahat ataupun bertemu kangen dengan kasur didalam kamarnya.
"Boleh. Engga usah sungkan Dit! Kan apartemen ini milik kita berdua jadi engga perlu izin aku." ujarnya dan kembali fokus menatap foto-foto yang Bellvania berikan, bukan Bellvania tetapi salah satu karyawannya.
"Okedeh. Besok sore kayaknya dia udah datang. Duluan ya Bar! Aku ke kamar dulu mau jemput alam mimpi." Dito berdiri, meninggalkan Barra sendiri di ruang tamu.
"Bersih-bersih dulu." peringat Barra yang hanya dibalas Dito dengan acungan jempol.
Flash back off.
Keduanya masih terdiam, Barra fokus menatap jalanan yang sepertinya dalam beberapa meter kedepan dia akan berhadapan dengan macetnya Jakarta sedangkan Dito ia sibuk membuka tab yang kebetulan ia bawa untuk mengisi kekosongan.
"Tau engga Bar?"
"Apa?"
"Sepupu aku itu udah mau melamar perempuan gitu bukan melamar sih cuman sekedar ngajak kenalan aja tapi sayangnya si perempuan nolak. Miris banget."
Barra hanya menggelengkan kepalanya merasa iba dengan sepupu sahabatnya itu karena harus merasakan patah sebelum berjuang. Baru diajak kenalan aja perempuan itu sudah menolak lalu bagaimana jika langsung di ajak menikah?
"Tapi katanya... Dia ke Jakarta pengen ketemu perempuan itu sih tapi bukan sebagai pertemuan perkenalan tetapi untuk melihat foto-foto karya perempuan itu untuk dipajang di asrama Putri pesantren tempat dia bekerja, katanya asrama itu baru aja selesai dibangun jadi butuh semacam hiasan gitu." jelas Dito lagi, tab yang ada di pengakuannya tadi kini telah Dito simpan. Ia berdecak kesal melihat kemacetan panjang didepannya saat ini.
"Sepupu kamu itu ngajar perempuan? Bukannya kamu bilang perempuan dan laki-laki dalam agamamu tidak boleh saling tatap ya?" Dito menggaruk tengkuknya karena sebenarnya dia juga bingung apa pekerjaan sepupunya itu.
"Aneh." gumam Barra dan hal ini menjadi tumpukan pertanyaan baru lagi dalam pikirannya, padahal pertanyaan-pertanyaan sebelumnya saja belum terjawab sama sekali Barra belum pernah pergi ke rumah pemimpin shalat itu untuk bertanya lebih detail lagi.
"Sepupu kamu namanya siapa?" tanya Barra karena Dito tidak ada niat untuk bersuara.
"Fatih. Kayaknya umurnya dibawah kita beda setahun atau dua tahun engga salah. Aku sebenarnya engga terlalu dekat sama dia tapi semalam keluarga mama aku nelepon minta bantuan untuk nampumg Fatih selama dia di Jakarta." sebagai jawaban Barra hanya menganggukkan kepalanya,
Mereka berdua memang memilih bungkam atas keluarga masing-masing bukan tidak ingin kenal atau dekat hanya saja pasti ada luka jika berada ditengah-tengah mereka karena ujung-ujungnya sebagian keluarganya pasti akan membahas orangtuanya yang telah tiada.
"Macet banget, mana udah mau jam 6 lagi." gerutu Dito padahal bukan dia yang mengemudi saat ini.
Barra terdiam, ia tetap fokus kesana tanpa memperdulikan ocehan temannya.
Fatih.
Sepertinya Barra akan mengingat nama itu karena akan tinggal bersamanya beberapa hari kedepan, tetapi kenapa Barra merasa ada sesuatu dengan Fatih?
Beberapa puluh menit kemudian keduanya bisa bernapas lega karena akhirnya sampai juga di bandara, dan mungkin sepupu Dito bernama Fatih itu sudah menunggu sedaritadi.
"Kamu tunggu disini aja Bar! Aku masuk dulu cariin Fatih." setelah mengucapkan hal itu Dito masuk kedalam Bandara mencari sepupunya yang mungkin sudah sangat lama menunggu. Jam juga sudah menunjukkan pukul 6 lewat dan mungkin adzan maghrib akan segera tiba.
Barra terdiam, ia menyandarkan punggungnya di kursi kemudi menatap orang-orang diluar sana sibuk berlalu lalang, saat ini Barra sedang berada di parkiran itupun sangat jauh dari pintu masuk.
Tetapi ada orang yang membuat Barra menegakkan punggungnya dan menajamkan penglihatannya. Tepat beberapa meter dari mobilnya terdapat dua perempuan yang sedang berbincang dan penampilannya benar-benar mirip dengan Bellvania.
Barra membuka pintu mobilnya berjalan kearah keduanya seakan mengabaikan peringatan yang Dito ucapkan beberapa waktu lalu.
"Bellvania?"