The Bastard Wizard - 08

3237 Words
Setelah hujan reda, aku dan Wiza keluar dari kedai itu dan berjalan-jalan di jalanan kota yang becek, tidak lagi ramai seperti sebelumnya, kini tidak begitu banyak penyihir yang berlalu lalang di jalanan, hanya ada beberapa, dan itu pun mereka menggunakan payung saat berjalan maupun terbang. Semua penyihir kelihatannya tidak bisa beraktivitas banyak di langit yang mendung, sepertinya mereka juga takut akan petir atau pun badai. Membicarakan soal petir, aku jadi penasaran pada tipe energi sihirku, apakah aku ini tipe penyihir berelemen petir? Atau mungkin api? Tanah? Angin? Atau elemen-elemen lain yang belum kutahu? Apapun itu, aku jadi sangat penasaran pada tipe elemen sihirku. Semoga saja nanti ketika aku berlatih dengan Tuan Garfiel, dia bisa mengetahui elemen sihirku, sehingga aku bisa mengembangkan dan mengendalikan elemen sihirku agar semakin hebat dan kuat. Tetapi aku mulai berpikir, mungkin saja Wiza mengetahui tipe elemen sihirku karena dia adalah bagian dari diriku, dan tidak mengejutkan jika dia mengenali segala hal tentang sihirku. “Hey, Wiza,” Di tengah perjalanan, aku memanggil Wiza dengan suara pelan, orang itu yang kini sedang berjalan di sampingku segera menoleh dan menatap mataku. “Bolehkah aku menanyakan sesuatu?” “Apa lagi? Tentang Tuan Garfiel? Ayolah, Rey? Kau tidak boleh terobsesi dengan orang itu, kau seharusnya bersikap biasa saja pada tiap penyihir di kota ini meski memang mereka tampak lebih hebat darimu.” “BUKAN! Bukan itu yang ingin aku tanyakan, ini soal hal lain!” pekikku dengan muka jengkel, apa-apaan itu? Dia terlalu menilaiku berlebihan, memangnya salah, ya? Terobsesi pada seseorang? Ah, sudahlah, lebih baik aku langsung saja menanyakannya sebelum hal lain masuk ke dalam pikiranku. “Ini soal tipe elemen sihirku, aku penasaran, apakah kau tahu apa elemen sihirku? Aku ingin mengetahuinya agar aku bisa mengendalikannya ketika sesi latihan dengan Tuan Garfiel.” “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu. Rey? Lagipula, tidak ada gunanya memberitahumu soal itu, kau saja masih belum mampu mengeluarkan energi sihirmu sendiri, apalagi mengendalikan tipe elemen sihirmu, percuma saja, aku tidak akan memberitahumu, sebelum kau bisa mengeluarkan energi sihirmu sendiri dengan baik.” “Hah? Apa-apaan itu? Mengapa kau bersikap dingin begitu padaku? Apa salahnya jika aku mengetahui elemen sihirku? Ya, kau benar kalau aku masih belum bisa mengeluarkan energi sihirku, tapi bukan berarti aku tidak bisa! Jadi menurutku tidak masalah jika kau memberitahu elemen sihirku sendiri, karena itu adalah bagian dari energi sihirku dan semakin dini aku mengenalnya, mungkin aku bisa mengendalikannya dengan cepat.” “Dengar, Rey,” Wiza mulai menghentikkan langkahnya dan menghela napas. “Aku begini bukan berarti dingin padamu, tapi ini sudah sewajarnya, karena dalam aturan penyihir pemula, mengeluarkan energi sihirmu adalah yang paling utama, soal elemen sihir, kau akan mengetahuinya sendiri nanti. Tidak ada gunanya aku memberitahumu jika kau masih belum bisa mengeluarkan energi sihirmu, karena itu bisa berakibat fatal di sesi latihanmu.” “Ck! Kau sangat menyebalkan, Wiza!” Kami berdua bermalam di hotel, dan tidur satu kamar, disitu aku tidak berbicara sedikit pun pada Wiza, dan dia kelihatannya tidak suka pada sikapku yang sedang memulai perang dingin ini. Wiza tampaknya tidak tahan dengan situasi hening yang disengaja seperti ini, sampai akhirnya dia mulai berbicara. “Rey, bisakah kita hentikan ini, kau terlalu kekanak-kanakkan, bersikaplah dewasa.” ucap Wiza dengan duduk di atas ranjang sementara aku berbaring ke samping jendela, menghindari berhadapan dengannya. “Aku ini bagian dari dirimu, kau tidak perlu bersikap seperti itu pada dirimu sendiri, apa kau sadar soal ini? Marah padaku, sama saja kau marah pada dirimu sendiri.” “Berisik,” decihku dengan kesal. “Ini sudah malam, aku mau tidur, jangan menggangguku.” “Baiklah, terserah, jika kau memang ingin terus seperti ini, mungkin seharusnya aku kembali ke dalam jiwamu dan membiarkanmu sendirian di kota ini, kau keberatan?” ancam Wiza dengan suara yang dingin, kelihatannya dia serius, dan aku langsung melotot lebar saat mendengar kalimat tersebut. Bukankah itu gawat? Jika Wiza serius, itu artinya aku akan sendirian di kota ini, tanpa orang yang memandu dan menemaniku, meskipun dia sangat menyebalkan, tapi dia selalu membantuku. Bisa gawat kalau Wiza meninggalkanku di sini, karena itulah aku langsung memalingkan badanku yang berbaring di kasur, menghadap ke arah Wiza dan berkata. “Aku minta maaf, aku mengaku bersalah,” ucapku dengan pipi memerah, sial aku malu sekali melakukan ini tapi mau bagaimana lagi, jika aku tidak melakukannya, Wiza bisa meninggalkanku di kota ini sendirian, jangan sampai itu terjadi. “Jangan tinggalkan aku, Wiza.” Aku bisa melihatnya dengan jelas, Wiza tersenyum, senyumannya sangat lebar dan dia kelihatannya puas melihatku memohon-mohon padanya seperti ini. Sial, dia memang sengaja melakukan ini, agar bisa melihatku begini. Sepertinya Wiza sudah tahu kelemahan terbesarku di sini. Tapi terserahlah, selama dia tetap bersamaku di kota ini, itu sudah cukup. Bahkan aku sudah tidak lagi menganggapnya sebagai bagian dari diriku, dia lebih kuanggap seperti teman, ah tidak, sahabat karib, yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Tanpa Wiza, aku bisa mati sendirian di kota ini. “Apa boleh buat, jika kau memaksa, bahkan sampai memohon-mohon sepertiku, sepertinya aku harus membatalkan kehendakku,” kata Wiza dengan menahan tawanya. “Kalau begitu, selamat tidur nyenyak, Rey. Jangan lupa besok lusa kau punya jadwal latihan dengan Tuan Garfiel, kau harus menyiapkan dirimu baik-baik, oke?” Mendengarnya, aku menganggukkan kepala dan mulai menutup dua kelopak mataku untuk tidur. Keesokan harinya, aku bangun dengan tubuh yang segar dan menguap lebar, saat kulihat dengan baik-baik kamar hotelku, aku terkejut karena tidak ada Wiza di sini. Aku langsung tegang. “Wiza!? Wiza!? Kau di mana, Wiza!? Kumohon, Wiza! Jangan tinggalkan aku! Wizaaaaa!” “Ini masih pagi, Rey, kau ini berisik sekali,” suara Wiza langsung terdengar dari balik pintu kamar, saat pintu kamar terbuka, wujudnya terlihat dengan dua tangan membawa dua mangkuk makanan, entah makanan apa yang sedang dibawanya, tetapi saat dia mendekat, akhirnya aku tahu kalau dia membawa dua mangkuk bubur hangat. Satu untukku dan satu untuknya. “Apa ini? Bubur? Aku tidak tahu kalau di kota ini ada bubur seperti ini.” “Sudah, makanlah, jangan banyak omong.” Aku dan Wiza pun langsung menyantap bubur itu dengan lahap, rasanya sangat nikmat, melebihi bubur di desaku ketika aku masih kecil. Ah, sarapan bubur hangat di pagi hari memang sangat mantap. Kukira sarapan di kota penyihir seperti ini akan disajikan roti, keju, atau semacamnya, ternyata perkiraanku salah, mau di mana pun aku berada, bubur selalu ada. Ataukah mungkin, bubur adalah makanan internasional? Yang ada di seluruh dunia, di setiap benua, dan di setiap negara? Jika memang begitu, bubur makanan yang sangat melegenda. Setelah hujan reda, aku dan Wiza keluar dari kedai itu dan berjalan-jalan di jalanan kota yang becek, tidak lagi ramai seperti sebelumnya, kini tidak begitu banyak penyihir yang berlalu lalang di jalanan, hanya ada beberapa, dan itu pun mereka menggunakan payung saat berjalan maupun terbang. Semua penyihir kelihatannya tidak bisa beraktivitas banyak di langit yang mendung, sepertinya mereka juga takut akan petir atau pun badai. Membicarakan soal petir, aku jadi penasaran pada tipe energi sihirku, apakah aku ini tipe penyihir berelemen petir? Atau mungkin api? Tanah? Angin? Atau elemen-elemen lain yang belum kutahu? Apapun itu, aku jadi sangat penasaran pada tipe elemen sihirku. Semoga saja nanti ketika aku berlatih dengan Tuan Garfiel, dia bisa mengetahui elemen sihirku, sehingga aku bisa mengembangkan dan mengendalikan elemen sihirku agar semakin hebat dan kuat. Tetapi aku mulai berpikir, mungkin saja Wiza mengetahui tipe elemen sihirku karena dia adalah bagian dari diriku, dan tidak mengejutkan jika dia mengenali segala hal tentang sihirku. “Hey, Wiza,” Di tengah perjalanan, aku memanggil Wiza dengan suara pelan, orang itu yang kini sedang berjalan di sampingku segera menoleh dan menatap mataku. “Bolehkah aku menanyakan sesuatu?” “Apa lagi? Tentang Tuan Garfiel? Ayolah, Rey? Kau tidak boleh terobsesi dengan orang itu, kau seharusnya bersikap biasa saja pada tiap penyihir di kota ini meski memang mereka tampak lebih hebat darimu.” “BUKAN! Bukan itu yang ingin aku tanyakan, ini soal hal lain!” pekikku dengan muka jengkel, apa-apaan itu? Dia terlalu menilaiku berlebihan, memangnya salah, ya? Terobsesi pada seseorang? Ah, sudahlah, lebih baik aku langsung saja menanyakannya sebelum hal lain masuk ke dalam pikiranku. “Ini soal tipe elemen sihirku, aku penasaran, apakah kau tahu apa elemen sihirku? Aku ingin mengetahuinya agar aku bisa mengendalikannya ketika sesi latihan dengan Tuan Garfiel.” “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu. Rey? Lagipula, tidak ada gunanya memberitahumu soal itu, kau saja masih belum mampu mengeluarkan energi sihirmu sendiri, apalagi mengendalikan tipe elemen sihirmu, percuma saja, aku tidak akan memberitahumu, sebelum kau bisa mengeluarkan energi sihirmu sendiri dengan baik.” “Hah? Apa-apaan itu? Mengapa kau bersikap dingin begitu padaku? Apa salahnya jika aku mengetahui elemen sihirku? Ya, kau benar kalau aku masih belum bisa mengeluarkan energi sihirku, tapi bukan berarti aku tidak bisa! Jadi menurutku tidak masalah jika kau memberitahu elemen sihirku sendiri, karena itu adalah bagian dari energi sihirku dan semakin dini aku mengenalnya, mungkin aku bisa mengendalikannya dengan cepat.” “Dengar, Rey,” Wiza mulai menghentikkan langkahnya dan menghela napas. “Aku begini bukan berarti dingin padamu, tapi ini sudah sewajarnya, karena dalam aturan penyihir pemula, mengeluarkan energi sihirmu adalah yang paling utama, soal elemen sihir, kau akan mengetahuinya sendiri nanti. Tidak ada gunanya aku memberitahumu jika kau masih belum bisa mengeluarkan energi sihirmu, karena itu bisa berakibat fatal di sesi latihanmu.” “Ck! Kau sangat menyebalkan, Wiza!” Kami berdua bermalam di hotel, dan tidur satu kamar, disitu aku tidak berbicara sedikit pun pada Wiza, dan dia kelihatannya tidak suka pada sikapku yang sedang memulai perang dingin ini. Wiza tampaknya tidak tahan dengan situasi hening yang disengaja seperti ini, sampai akhirnya dia mulai berbicara. “Rey, bisakah kita hentikan ini, kau terlalu kekanak-kanakkan, bersikaplah dewasa.” ucap Wiza dengan duduk di atas ranjang sementara aku berbaring ke samping jendela, menghindari berhadapan dengannya. “Aku ini bagian dari dirimu, kau tidak perlu bersikap seperti itu pada dirimu sendiri, apa kau sadar soal ini? Marah padaku, sama saja kau marah pada dirimu sendiri.” “Berisik,” decihku dengan kesal. “Ini sudah malam, aku mau tidur, jangan menggangguku.” “Baiklah, terserah, jika kau memang ingin terus seperti ini, mungkin seharusnya aku kembali ke dalam jiwamu dan membiarkanmu sendirian di kota ini, kau keberatan?” ancam Wiza dengan suara yang dingin, kelihatannya dia serius, dan aku langsung melotot lebar saat mendengar kalimat tersebut. Bukankah itu gawat? Jika Wiza serius, itu artinya aku akan sendirian di kota ini, tanpa orang yang memandu dan menemaniku, meskipun dia sangat menyebalkan, tapi dia selalu membantuku. Bisa gawat kalau Wiza meninggalkanku di sini, karena itulah aku langsung memalingkan badanku yang berbaring di kasur, menghadap ke arah Wiza dan berkata. “Aku minta maaf, aku mengaku bersalah,” ucapku dengan pipi memerah, sial aku malu sekali melakukan ini tapi mau bagaimana lagi, jika aku tidak melakukannya, Wiza bisa meninggalkanku di kota ini sendirian, jangan sampai itu terjadi. “Jangan tinggalkan aku, Wiza.” Aku bisa melihatnya dengan jelas, Wiza tersenyum, senyumannya sangat lebar dan dia kelihatannya puas melihatku memohon-mohon padanya seperti ini. Sial, dia memang sengaja melakukan ini, agar bisa melihatku begini. Sepertinya Wiza sudah tahu kelemahan terbesarku di sini. Tapi terserahlah, selama dia tetap bersamaku di kota ini, itu sudah cukup. Bahkan aku sudah tidak lagi menganggapnya sebagai bagian dari diriku, dia lebih kuanggap seperti teman, ah tidak, sahabat karib, yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Tanpa Wiza, aku bisa mati sendirian di kota ini. “Apa boleh buat, jika kau memaksa, bahkan sampai memohon-mohon sepertiku, sepertinya aku harus membatalkan kehendakku,” kata Wiza dengan menahan tawanya. “Kalau begitu, selamat tidur nyenyak, Rey. Jangan lupa besok lusa kau punya jadwal latihan dengan Tuan Garfiel, kau harus menyiapkan dirimu baik-baik, oke?” Mendengarnya, aku menganggukkan kepala dan mulai menutup dua kelopak mataku untuk tidur. Keesokan harinya, aku bangun dengan tubuh yang segar dan menguap lebar, saat kulihat dengan baik-baik kamar hotelku, aku terkejut karena tidak ada Wiza di sini. Aku langsung tegang. “Wiza!? Wiza!? Kau di mana, Wiza!? Kumohon, Wiza! Jangan tinggalkan aku! Wizaaaaa!” “Ini masih pagi, Rey, kau ini berisik sekali,” suara Wiza langsung terdengar dari balik pintu kamar, saat pintu kamar terbuka, wujudnya terlihat dengan dua tangan membawa dua mangkuk makanan, entah makanan apa yang sedang dibawanya, tetapi saat dia mendekat, akhirnya aku tahu kalau dia membawa dua mangkuk bubur hangat. Satu untukku dan satu untuknya. “Apa ini? Bubur? Aku tidak tahu kalau di kota ini ada bubur seperti ini.” “Sudah, makanlah, jangan banyak omong.” Aku dan Wiza pun langsung menyantap bubur itu dengan lahap, rasanya sangat nikmat, melebihi bubur di desaku ketika aku masih kecil. Ah, sarapan bubur hangat di pagi hari memang sangat mantap. Kukira sarapan di kota penyihir seperti ini akan disajikan roti, keju, atau semacamnya, ternyata perkiraanku salah, mau di mana pun aku berada, bubur selalu ada. Ataukah mungkin, bubur adalah makanan internasional? Yang ada di seluruh dunia, di setiap benua, dan di setiap negara? Jika memang begitu, bubur makanan yang sangat melegenda. Setelah hujan reda, aku dan Wiza keluar dari kedai itu dan berjalan-jalan di jalanan kota yang becek, tidak lagi ramai seperti sebelumnya, kini tidak begitu banyak penyihir yang berlalu lalang di jalanan, hanya ada beberapa, dan itu pun mereka menggunakan payung saat berjalan maupun terbang. Semua penyihir kelihatannya tidak bisa beraktivitas banyak di langit yang mendung, sepertinya mereka juga takut akan petir atau pun badai. Membicarakan soal petir, aku jadi penasaran pada tipe energi sihirku, apakah aku ini tipe penyihir berelemen petir? Atau mungkin api? Tanah? Angin? Atau elemen-elemen lain yang belum kutahu? Apapun itu, aku jadi sangat penasaran pada tipe elemen sihirku. Semoga saja nanti ketika aku berlatih dengan Tuan Garfiel, dia bisa mengetahui elemen sihirku, sehingga aku bisa mengembangkan dan mengendalikan elemen sihirku agar semakin hebat dan kuat. Tetapi aku mulai berpikir, mungkin saja Wiza mengetahui tipe elemen sihirku karena dia adalah bagian dari diriku, dan tidak mengejutkan jika dia mengenali segala hal tentang sihirku. “Hey, Wiza,” Di tengah perjalanan, aku memanggil Wiza dengan suara pelan, orang itu yang kini sedang berjalan di sampingku segera menoleh dan menatap mataku. “Bolehkah aku menanyakan sesuatu?” “Apa lagi? Tentang Tuan Garfiel? Ayolah, Rey? Kau tidak boleh terobsesi dengan orang itu, kau seharusnya bersikap biasa saja pada tiap penyihir di kota ini meski memang mereka tampak lebih hebat darimu.” “BUKAN! Bukan itu yang ingin aku tanyakan, ini soal hal lain!” pekikku dengan muka jengkel, apa-apaan itu? Dia terlalu menilaiku berlebihan, memangnya salah, ya? Terobsesi pada seseorang? Ah, sudahlah, lebih baik aku langsung saja menanyakannya sebelum hal lain masuk ke dalam pikiranku. “Ini soal tipe elemen sihirku, aku penasaran, apakah kau tahu apa elemen sihirku? Aku ingin mengetahuinya agar aku bisa mengendalikannya ketika sesi latihan dengan Tuan Garfiel.” “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu. Rey? Lagipula, tidak ada gunanya memberitahumu soal itu, kau saja masih belum mampu mengeluarkan energi sihirmu sendiri, apalagi mengendalikan tipe elemen sihirmu, percuma saja, aku tidak akan memberitahumu, sebelum kau bisa mengeluarkan energi sihirmu sendiri dengan baik.” “Hah? Apa-apaan itu? Mengapa kau bersikap dingin begitu padaku? Apa salahnya jika aku mengetahui elemen sihirku? Ya, kau benar kalau aku masih belum bisa mengeluarkan energi sihirku, tapi bukan berarti aku tidak bisa! Jadi menurutku tidak masalah jika kau memberitahu elemen sihirku sendiri, karena itu adalah bagian dari energi sihirku dan semakin dini aku mengenalnya, mungkin aku bisa mengendalikannya dengan cepat.” “Dengar, Rey,” Wiza mulai menghentikkan langkahnya dan menghela napas. “Aku begini bukan berarti dingin padamu, tapi ini sudah sewajarnya, karena dalam aturan penyihir pemula, mengeluarkan energi sihirmu adalah yang paling utama, soal elemen sihir, kau akan mengetahuinya sendiri nanti. Tidak ada gunanya aku memberitahumu jika kau masih belum bisa mengeluarkan energi sihirmu, karena itu bisa berakibat fatal di sesi latihanmu.” “Ck! Kau sangat menyebalkan, Wiza!” Kami berdua bermalam di hotel, dan tidur satu kamar, disitu aku tidak berbicara sedikit pun pada Wiza, dan dia kelihatannya tidak suka pada sikapku yang sedang memulai perang dingin ini. Wiza tampaknya tidak tahan dengan situasi hening yang disengaja seperti ini, sampai akhirnya dia mulai berbicara. “Rey, bisakah kita hentikan ini, kau terlalu kekanak-kanakkan, bersikaplah dewasa.” ucap Wiza dengan duduk di atas ranjang sementara aku berbaring ke samping jendela, menghindari berhadapan dengannya. “Aku ini bagian dari dirimu, kau tidak perlu bersikap seperti itu pada dirimu sendiri, apa kau sadar soal ini? Marah padaku, sama saja kau marah pada dirimu sendiri.” “Berisik,” decihku dengan kesal. “Ini sudah malam, aku mau tidur, jangan menggangguku.” “Baiklah, terserah, jika kau memang ingin terus seperti ini, mungkin seharusnya aku kembali ke dalam jiwamu dan membiarkanmu sendirian di kota ini, kau keberatan?” ancam Wiza dengan suara yang dingin, kelihatannya dia serius, dan aku langsung melotot lebar saat mendengar kalimat tersebut. Bukankah itu gawat? Jika Wiza serius, itu artinya aku akan sendirian di kota ini, tanpa orang yang memandu dan menemaniku, meskipun dia sangat menyebalkan, tapi dia selalu membantuku. Bisa gawat kalau Wiza meninggalkanku di sini, karena itulah aku langsung memalingkan badanku yang berbaring di kasur, menghadap ke arah Wiza dan berkata. “Aku minta maaf, aku mengaku bersalah,” ucapku dengan pipi memerah, sial aku malu sekali melakukan ini tapi mau bagaimana lagi, jika aku tidak melakukannya, Wiza bisa meninggalkanku di kota ini sendirian, jangan sampai itu terjadi. “Jangan tinggalkan aku, Wiza.” Aku bisa melihatnya dengan jelas, Wiza tersenyum, senyumannya sangat lebar dan dia kelihatannya puas melihatku memohon-mohon padanya seperti ini. Sial, dia memang sengaja melakukan ini, agar bisa melihatku begini. Sepertinya Wiza sudah tahu kelemahan terbesarku di sini. Tapi terserahlah, selama dia tetap bersamaku di kota ini, itu sudah cukup. Bahkan aku sudah tidak lagi menganggapnya sebagai bagian dari diriku, dia lebih kuanggap seperti teman, ah tidak, sahabat karib, yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Tanpa Wiza, aku bisa mati sendirian di kota ini. “Apa boleh buat, jika kau memaksa, bahkan sampai memohon-mohon sepertiku, sepertinya aku harus membatalkan kehendakku,” kata Wiza dengan menahan tawanya. “Kalau begitu, selamat tidur nyenyak, Rey. Jangan lupa besok lusa kau punya jadwal latihan dengan Tuan Garfiel, kau harus menyiapkan dirimu baik-baik, oke?” Mendengarnya, aku menganggukkan kepala dan mulai menutup dua kelopak mataku untuk tidur. Keesokan harinya, aku bangun dengan tubuh yang segar dan menguap lebar, saat kulihat dengan baik-baik kamar hotelku, aku terkejut karena tidak ada Wiza di sini. Aku langsung tegang. “Wiza!? Wiza!? Kau di mana, Wiza!? Kumohon, Wiza! Jangan tinggalkan aku! Wizaaaaa!” “Ini masih pagi, Rey, kau ini berisik sekali,” suara Wiza langsung terdengar dari balik pintu kamar, saat pintu kamar terbuka, wujudnya terlihat dengan dua tangan membawa dua mangkuk makanan, entah makanan apa yang sedang dibawanya, tetapi saat dia mendekat, akhirnya aku tahu kalau dia membawa dua mangkuk bubur hangat. Satu untukku dan satu untuknya. “Apa ini? Bubur? Aku tidak tahu kalau di kota ini ada bubur seperti ini.” “Sudah, makanlah, jangan banyak omong.” Aku dan Wiza pun langsung menyantap bubur itu dengan lahap, rasanya sangat nikmat, melebihi bubur di desaku ketika aku masih kecil. Ah, sarapan bubur hangat di pagi hari memang sangat mantap. Kukira sarapan di kota penyihir seperti ini akan disajikan roti, keju, atau semacamnya, ternyata perkiraanku salah, mau di mana pun aku berada, bubur selalu ada. Ataukah mungkin, bubur adalah makanan internasional? Yang ada di seluruh dunia, di setiap benua, dan di setiap negara? Jika memang begitu, bubur makanan yang sangat melegenda.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD