The Bastard Wizard - 01
Aku terlahir di sebuah desa yang menjunjung tinggi kekeluargaan, kasih sayang, dan cinta. Dan sangat tidak menerima segala hal yang bersifat permusuhan, kebencian, dan dendam. Karena itulah, desa itu dari dulu selalu tentram dan damai, hidup dengan saling membantu dan tidak ada sedikit pun sepercik masalah yang sampai membuat permusuhan, jika sekalipun ada, pasti akan langsung padam dalam sekejap.
Karena kepala desa di desaku sangat berwibawa dan baik hati, bahkan dia menganggap semua penduduk di desaku adalah keluarganya.
Namun,
Setelah diriku terlahir di tengah-tengah desa itu, semuanya langsung kuubah agar lebih menyenangkan.
Membuat ulah, bertengkar dengan anak tetangga, mencuri barang para pedagang, menggoda gadis-gadis desa, dan berteriak pada seluruh orang di desa bahwa aku akan membuat desa itu semakin menyenangkan.
Tapi, sayang sekali.
Sangaaaaaat disayangkan.
Aku malah diusir secara paksa oleh seluruh warga desa, mereka membobol rumahku, membunuh ibuku karena dianggap telah melahirkan anak iblis, dan parahnya, ayahku ikut-ikutan mengusirku, dan dia tidak bereaksi apa pun melihat istrinya terbunuh oleh orang lain.
Sepertinya pria yang mengaku sebagai ayah kandungku hanyalah lelaki b******k.
*
*
*
Singkat cerita, aku sudah pergi dari desa kelahiranku dan kejadiannya lima tahun yang lalu, dengan memendam segala kesedihan dan kemarahan mengingat wajah ibu dan ayahku, aku berusaha melupakan semua itu dan menjalani kehidupan baruku.
Kini, aku hidup sendirian di sebuah gubuk reyot yang berada di tepian laut sampah. Memakan cacing-cacing tanah sudah biasa untukku, tidur digerumuti nyamuk dan semut pun sudah biasa untukku, bahkan tak pernah mengeluarkan suara sedikitpun dari tenggorokkan itu sudah biasa untukku.
Ya, selama aku hidup sendirian di tempat b****k ini, aku tidak pernah lagi berbicara dengan siapa pun, bahkan aku sampai lupa bagaimana caranya ngobrol. Karena hari-hari telah kulewati tanpa bersuara, bahkan melakukan dialog dengan diri sendiri pun aku tidak pernah bisa.
Mungkin aku selalu berbicara di dalam hati saja. Karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Usiaku sekarang sudah tujuh belas tahun, dan aku adalah seorang pria berperawakan tegap dengan wajah bringas dan sangat ganas, rambutku jabrik berwarna pirang, dan otot-ototku sangat menonjol, dan kulitku berwarna cokelat, karena selama ini aku selalu berkeliaran di bawah sengatan matahari.
Mungkin kalian, para pembaca, berpikir kalau kehidupanku terlihat membosankan karena tidak pernah berdialog dengan siapa pun, dan kalian juga menyimpulkan kalau cerita ini membosankan karena tidak akan ada dialog, tapi terserahlah.
Karena nyatanya memang begitu, ini bukan kesalahanku, ini adalah murni kesalahan penulis. Mengapa dia mau-maunya menulis kisah tentang hidupku yang membosankan ini? Padahal masih banyak kisah-kisah seru yang di dalamnya banyak sekali karakter-karakter cerewet yang bahkan dialognya tidak muat sepuluh halaman. Tapi apa boleh buat? Sepertinya sang penulis sudah terlanjur menulis duniaku, dan dia juga sudah malas untuk berpindah ke dunia lain lagi.
Baiklah, mari kita mulai!
Sekarang, aku akan memperkenalkan diri dengan lebih baik lagi, tapi jangan harap perkenalan diriku akan sopan, aku tidak sesopan itu!
Namaku Rey Flamingo, dan asal kalian tahu, itu bukan nama lahirku, itu adalah nama asal-asalan yang sengaja kubuat untuk diriku sendiri karena lupa pada nama asli pemberian dari orangtuaku. Peduli setan dengan nama lahir, lagipula aku cukup bangga dengan namaku yang sekarang, karena terdengar lebih gagah.
Okay, cukup dengan bagian 'nama'.
Sekarang, aku ingin kalian berpindah dari halaman ini ke halaman selanjutnya, karena di sana, akan ada sesuatu yang mengejutkan.
.....
Ya, ini baru permulaan. Jangan harap akan ada hal-hal yang seru di bagian sini walau aku sudah berjanji sewaktu di halaman sebelumnya. Tapi aku juga tidak berbohong, mungkin saja, tangan sang penulis tiba-tiba menulis sesuatu yang mengejutkan, karena tidak ada yang tahu.
*
*
*
Seperti hari-hari biasanya, aku selalu menghabiskan waktuku dengan memburu hewan, mencari air, dan makan dengan makanan yang tak layak. Tapi itu bukan kemalangan, aku menyebutnya siksaan yang nikmat. Karena aku menikmatinya. Sangat menikmatinya.
Melihat burung-burung beterbangan di bawah langit biru, membuatku berpikir bagaimana rasanya memiliki sayap dan terbang dengan begitu santainya seperti mereka, para burung.
Melihat ikan-ikan berenang di bawah air, membuatku berpikir apakah akan menyenangkan bisa hidup di dalam air dan berenang menjelajahi dunia dari dalam air, mungkin akan menyenangkan, seperti mereka, para ikan.
Tapi, ketika melihat tubuhku yang kotor dan dekil, aku berpikir kalau hidupku juga tidak begitu buruk, mungkin aku tidak bisa terbang, tapi aku bisa meloncat. Mungkin aku tidak bisa berenang, tapi aku bisa menyelam. Benar, bukan?
Hidupku tidak terlalu membosankan.
Karena bersyukur adalah intisari kehidupan.
*
*
*
Sekarang, aku sedang duduk di atas batu di tepi laut, menikmati sejuknya semilir angin yang menyapu bersih tubuh telanjang dadaku ini. Di sini, di tempat ini, aku berada jauh dari gubuk reyot rumahku, ini berbeda dari tempat tinggalku. Di sini terlihat lebih indah, begitulah kalian mungkin mengatakannya. Tapi bagiku, walau di sini kelihatannya lebih bagus dari tempat tinggalku, aku tidak menyukai tempat ini.
Mengapa?
Karena tempat ini terlalu memanjakanku, dan aku benci pada segala hal yang membuatku berleha-leha santai.
Tapi ingatlah, aku bukan si pekerja keras, karena begini-begini, aku juga butuh waktu untuk bersantai ria.
Anginnya semakin kencang, suara ombak berdesir-desir, kicauan burung-burung laut yang terbang melintasi cakrawala membuat mataku fokus memperhatikan pemandangan ini.
Tapi, jika dibandingkan suasana di desa kelahiranku, ini masih lebih baik. Karena di sana, terlalu dibuat-buat. Apa maksudnya itu? Mungkin kalian bertanya-tanya.
Maksudnya, kedamaian di desaku hanyalah sebuah kepalsuan. Semuanya palsu, karena aku sudah tahu apa yang terjadi di balik layarnya.
Mereka, para penduduk desa, berpura-pura baik di waktu siang, dan mulai menampilkan wujud asli mereka di malam hari. Itulah mengapa, ketika aku diusir, kejadiannya pada tengah malam, saat sebagian penduduk tertidur nyenyak.
Aku tidak mempermasalahkan diusirnya diriku karena walau tak diusir pun, aku pasti akan pergi dari desa memuakkan itu, tapi, melihat ibuku ditusuk oleh para penduduk di hadapanku membuatku ingin mengamuk menghabisi mereka semua, tapi sayangnya, amukanku tidak seberapa jika dibandingkan dengan kekuatan otot mereka, karena dulu, aku masih anak-anak.
Ah sial, lamunanku jadi kemana-mana. Lupakan, lupakan semua yang tadi kukatakan.
Itu sudah tak penting lagi.
Yang lebih penting sekarang adalah, mengapa saat ini pantatku tidak menyentuh batu yang kududuki, apa ini? Rasanya aku terbang, bukan, mungkin lebih tepatnya, melayang.
Tubuhku melayang, sial!
Melayang tak tentu arah, ada apa ini? Apakah dunia sudah kacau sekarang?
Tapi mana mungkin, lalu ini mengapa bisa terjadi?
"Hehehehehe" Barusan aku mendengar suara tawa lelaki, tapi dari mana asalnya? Kutolehkan kepalaku ke kanan-kiri, tapi tidak ada siapa pun di tepi laut ini, lalu suara tawa siapa tadi?
Apa hantu? Mana ada, aku tidak percaya pada hal-hal begitu, karena itu terdengar bodoh.
"Apa kau sedang mencari-cariku?" Suaranya terdengar lagi, kali ini terasa lebih dekat dari sebelumnya. Dimana orang yang memiliki suara payah itu? Mengapa rasanya aku seperti sedang dipermainkan, b******k!
"Sadarlah, aku ada di atasmu, lho"