Eps. 06. Nama Baru

1236 Words
Sukma menatap lekat-lekat wajah pria yang melepuh akibat dipenuhi luka bakar di hadapannya. Kendati wajahnya terluka parah, tetapi Sukma bisa melihat sepasang mata yang memancarkan aura ketegasan, milik pria itu. "Wajahmu mengalami luka bakar yang cukup parah. Dalam keadaan seperti ini, pasti tak seorang pun bisa mengenalimu. Akan sangat sulit mengetahui siapa sebenarnya kamu, sedangkan kamu sendiri tidak ingat siapa dirimu." Sukma menggelengkan kepalanya dan mulai terlihat ragu. Aryan hanya terdiam. Sakit kepala dan rasa perih dari luka di sekujur tubuhnya, membuat dia tidak mampu berpikir dengan baik. "Ya sudah, tidak masalah. Sebaiknya kamu beristirahat saja dulu. Nanti aku pasti akan mencari informasi lainnya tentang kamu." Menyadari Aryan masih sangat linglung dan tidak mampu mengingat tentang dirinya, Sukma tidak ingin bertanya lagi. "Bila perlu, aku akan melapor ke kepala desa dan juga polisi, semoga mereka bisa mencari petunjuk tentang siapa kamu." Sukma menyambung lagi kata-katanya. Melaporkan tentang laki-laki yang ditemukannya itu kepada pihak berwenang, mungkin adalah satu-satunya solusi yang bisa dia lakukan saat ini. "Tidak! Ku mohon jangan lapor ke polisi dulu." Dengan cepat Aryan menyergah ucapan Sukma, seraya menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba saja, raut wajahnya menyiratkan rasa khawatir. "Loh, memangnya kenapa?" Sukma mengerutkan dahinya dan bisa merasakan kecemasan itu tampak di mata Aryan. "Aku sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi padaku. Mengapa aku bisa ada di danau itu dan bagaimana sekujur tubuhku bisa penuh luka bakar seperti ini ... aku juga tidak tahu. Mungkin saja sebelumnya ada orang yang sengaja mencelakaiku." Aryan menyampaikan keluh kesah dan kekhawatiran yang dia rasakan kepada Sukma. Dia sangat takut, apabila memang benar ada orang yang sengaja mencelakainya, orang itu pastilah kini tengah mencari dan akan mencoba untuk mencelakainya lagi. "Lalu aku harus bagaimana?" tanya Sukma, turut merasa bingung. "Aku hanya minta satu hal, tolong izinkan aku bermalam dan tinggal beberapa waktu lagi disini. Mudah-mudahan besok aku mulai bisa mengingat semuanya." Meski sejujurnya ada rasa sungkan, Aryan tetap berharap Sukma bersedia memberinya tumpangan untuk tinggal sementara waktu di sana. Sukma menghela napas dalam dan menjawab, "Tapi bagaimana dengan kondisimu? Tinggal bersamaku disini, kamu tidak akan mendapat pengobatan yang baik. Aku tidak sanggup membawamu berobat ke Puskesmas atau pun ke dokter." "Tidak perlu memikirkan hal itu, Sukma. Aku hanya butuh tempat tinggal sementara, sampai aku bisa menghilangkan rasa sakit kepalaku ini saja. Aku yakin setelah itu, ingatanku pasti pulih kembali." Meski Aryan menyadari bahwa kehidupan Sukma sangat sederhana, tetapi dia tetap berharap Sukma mau memberinya tumpangan tinggal sementara di sana. "Baiklah. Kamu boleh tinggal disini beberapa hari sampai luka-luka di tubuhmu mengering." Pada akhurnya Sukma pun mengangguk setuju. Sesungguhnya dia juga tidak tega membiarkan Aryan, bila harus berurusan dengan orang lain. Terlebih dalam kondisinya yang masih sangat lemah akibat luka cukup parah yang dideritanya. "Kebetulan di rumah ini ada satu kamar kosong. Dulu kamar itu ditempati oleh mendiang ayahku. Malam ini, kamu boleh tidur di sana," ujar Sukma enteng, tanpa merasa terbebani atau pun menaruh rasa curiga terhadap Aryan. "Terima kasih banyak, Sukma. Sekali lagi maafkan aku, karena kehadiranku disini hanya menambah beban hidupmu saja." Aryan menatap Sukma dan kian merasa sungkan. "Tidak usah berterima kasih. Bukankah sudah kewajiban kita sebagai manusia harus saling membantu." Sukma menghias bibirnya dengan senyum penuh ketulusan, sembari beranjak dari tempat duduknya. "Sekarang, aku akan mempersiapkan kamar yang akan kamu tempati. Sementara, kamu istirahat saja dulu disini." Sukma segera melangkah, meninggalkan Aryan sendiri di ruangan itu. "Sungguh gadis yang berhati mulia. Ku rasa dia begitu tulus menolongku." Aryan terpaku menatap ke arah Sukma yang kini sudah masuk ke salah satu kamar yang ada di rumah tersebut. Dalam hati dia sangat mengagumi kebaikan hati gadis sederhana tersebut. Aryan kembali merebahkan tubuhnya di atas kursi. Tatapan dan pikirannya sama-sama menerawang dan seakan begitu hampa. Dia belum sepenuhnya bisa memahami dan seolah tidak percaya dengan apa yang kini tengah terjadi terhadap dirinya. Bagaikan baru saja terbangun dari sebuah mimpi kelam, sedikit pun dia tidak mampu mengingat akan jati diri serta masa lalunya. **** Hingga waktu terus berjalan, hari itu pun kini telah berganti. Sudah hampir 24 jam Aryan lewati, tinggal di rumah sederhana milik Sukma. Gadis itu juga selalu setia merawat luka-lukanya, memberi obat penghilang rasa sakit serta mengoleskan krim obat luka bakar di permukaan kulitnya yang mulai tampak bengkak dan melepuh. Berbeda dengan hari kemarin, pagi itu cuaca di desa itu tampak sangat cerah. Udara terasa cukup hangat dan kabut pun tidak turun, sehingga matahari mampu menunjukkan pesona cahayanya dengan begitu sempurna. "Bagaimana tidurmu tadi malam? Apa cukup nyenyak?" Aryan seketika mengerjap, ketika sapaan hangat Sukma terdengar jelas di telingannya. Sambil perlahan mengangkat punggungnya dari atas pembaringan, Aryan bisa melihat seorang gadis sudah ada di kamarnya, seraya membawa sebuah mangkuk di tangannya. Tanpa dia sadari, akibat pengaruh obat penghilang rasa sakit yang diberikan oleh Sukma, tadi malam dia bisa tidur dengan nyenyak. Kendati masih sangat lemah, pagi itu dia bangun dan merasa kondisi tubuhnya sudah sedikit lebih baik. "Bangunlah dan sarapan dulu, agar kamu bisa segera minum obat lagi." Aryan mengucek mata dan tersenyum, manakala kini Sukma sudah duduk di sebuah kursi di sebelah ranjang tempat tidurnya. "Terima kasih, Sukma." Aryan mengangguk dan benar-benar merasa sungkan. Tidak ada apresiasi lain yang bisa dia sampaikan kepada gadis itu, kecuali hanya ucapan terima kasih saja. "Bagaimana dengan sakit kepalamu? Apa sudah mereda? Apa sekarang kamu bisa mengingat sesuatu?" Sukma langsung bertanya. Dia berharap jika pagi itu Aryan sudah mulai ingat akan dirinya. Sambil menekan kening dengan jari telunjuk, Aryan menggeleng lesu dan berkata, "Aku belum mengingat apapun. Kepalaku akan makin terasa sakit, jika aku terus mencoba mengingat-ingat lagi." "Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang, kamu makan saja dulu, supaya nanti aku bisa lebih tenang meninggalkanmu sendiri disini." Sukma meraih tangan Aryan dan menyerahkan mangkuk bubur di tangannya kepada pria itu. "Memangnya kamu mau kemana?" tanya Aryan dengan nada curiga. Dia kembali merasa cemas, takut apabila Sukma akan pergi melapor tentang dirinya kepada kepala desa atau pihak berwajib. "Aku akan ke kebun. Aku mau memetik beberapa sayuran yang masih bisa aku jual ke pasar. Sudah beberapa hari hujan terus, tanaman sayurku banyak yang busuk dan dimakan hama ulat," celoteh Sukma dengan sedikit menggerutu. Akibat hujan yang terus-menerus turun di desanya, hasil panennya pun menjadi tidak maksimal. Di musim seperti itu, kondisi ekonominya pastilah akan semakin sulit. "Kamu tidak akan melapor tentang aku ke kepala desa, bukan?" Meski ragu, Aryan menanyakan juga hal yang masih menjadi kekhawatirannya. Sukma hanya menggeleng pelan. Dia sangat paham akan rasa khawatir Aryan saat itu. "Tidak. Selama kamu belum siap aku bawa ke kepala desa, aku tidak akan melaporkanmu," sahutnya, menepis semua rasa cemas pria di hadapannya. Aryan mengusap dadanya dan tersenyum lega. "Syukurlah. Terima kasih banyak atas pengertian kamu, Sukma." Sukma membalas tersenyum, sambil memandangi Aryan yang kini sudah mulai menyuap makanannya perlahan. Walau hanya semangkuk bubur yang dicampur sayuran dan garam saja, tetapi itu terasa sangat penuh cita rasa bagi Aryan, sehingga dia bisa makan dengan lahap. "Oh ya, kalau sampai sekarang kamu belum ingat siapa namamu, lalu bagaimana aku harus memanggilmu?" Untuk sesaat, pertanyaan Sukma membuat Aryan langsung terpaku dan tidak tahu harus menjawab apa. "Terserah kamu saja, Sukma." Aryan hanya menanggapi dengan menggelengkan kepalanya. "Bagaimana kalau untuk sementara aku akan memberimu nama 'Danu' saja. Dan karena usia kamu juga sepertinya lebih tua dariku, aku akan memanggilmu 'Abang Danu'." Senyum lugu penuh ketulusan, kembali mengembang indah di bibir tipis nan ranum milik gadis muda itu. "Nama yang bagus, Sukma." Aryan mengangguk dan tak berniat protes sama sekali, dengan nama baru pemberian Sukma untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD