Eps. 07. Konspirasi Jahat

1170 Words
Berbanding terbalik dengan cuaca yang begitu sejuk dan asri di desa, suasana di kota besar siang itu justru terasa amat gerah. Matahari bersinar terik tepat di atas kepala, berpadu deru mesin kendaraan yang sangat padat dan saling berpacu di jalanan utama kota. Suhu udara nan panas bercampur polusi, merupakan hal yang sangat akrab bagi warga di kota besar dan padat penduduk, serta pergerakan ekonomi sangat cepat. Dari sebuah gedung perkantoran, dua orang tampak berjalan tergesa meninggalkan lobby utama gedung yang siang itu terlihat cukup ramai. Mereka baru saja keluar dari kantor salah seorang pengacara terkenal di kota tersebut. Dengan langkah kaki yang dibuat selebar mungkin, seorang pria bersama rekan wanitanya itu, bergegas masuk ke dalam sebuah mobil, yang tengah terparkir di area basement gedung. "Sial! Walau Aryan sudah mati, tapi kita tetap belum bisa memiliki semua kekayaannya!" Pria itu berdecak sengit sambil memukul stir mobil di hadapannya dan terlihat gusar. "Sekarang apa yang harus kita lakukan, Dion? Kalau aku belum bisa mengambil alih semua aset-aset milik Aryan menjadi milikku, itu artinya kita harus tetap bekerja keras mengelola perusahaan. Apa kamu sanggup melakukan semua itu?" tanya wanita yang tak lain adalah Alya, juga dengan raut wajah kesal. Di hari ketujuh setelah berita meninggalnya Aryan, Alya bersama Dion sudah mulai melancarkan aksinya, untuk bisa mengambil alih seluruh kekayaan Aryan. Namun, sungguh di luar dugaan mereka, surat wasiat yang ditinggalkan Aryan sangat tidak sesuai dengan harapan mereka. Aryan yang mereka kira akan mewariskan seluruh kekayaannya kepada Alya, justru menetapkan orang lain untuk menjadi ahli warisnya. Nayra, bayi kecil yang diketahui adalah putri kandung Alya bersama Aryan, adalah satu-satunya calon penerima warisan tersebut. Hanya saja, semua itu baru bisa dialihkan kepada Nayra, saat usianya sudah menginjak dewasa. "Tidak ada pilihan lain, Alya. Kita memang harus bersabar dan tetap menjalankan perusahaan milik Aryan dengan sebaik mungkin. Perusahaan itu juga sudah cukup stabil, jadi kita tetap bisa mendapat keuntungan yang besar dari sana." Sambil menghela napas dalam, Dion berusaha tetap tenang, walau dalam hatinya menyimpan rasa tidak puas. "Tapi apa kita harus menunggu selama itu untuk bisa memiliki semua harta lainnya milik Aryan? Menunggu Nayra berusia 18 tahun itu terlalu lama, Dion!" hardik Alya kian terlihat kesal. "Mengapa tidak kita paksa saja pengacara itu untuk merubah surat wasiat Aryan?" Alya menyambung ucapannya dengan sebuah ide licik. "Iya, kamu benar, Alya. Kita memang harus melakukan hal itu." Dion menganggukan kepala, seraya mulai menjalankan mobil, untuk meninggalkan gedung perkantoran tersebut. "Hanya saja, kita tidak boleh gegabah. Kita harus menunggu waktu yang tepat untuk bisa membuat pengacaranya Aryan mau bekerja sama dengan kita, Alya," lanjut Dion lagi, mengutarakan alasannya agar Alya bisa bersabar menunggu untuk menjalankan rencana mereka. "Apa lagu yang harus kita tunggu, Dion?" Alya kembali bertanya dan nadanya terdengar kian ketus. Tentu, karena jiwa serakahnya, dia sudah tidak sabar menunggu untuk bisa menjadi satu-satunya penguasa atas semua kekayaan suaminya. "Semuanya tidak semudah yang kamu pikirkan, Alya. Aryan belum lama tewas. Kalau kita melakukannya sekarang, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang akan curiga terhadap kita. Mereka pasti akan mengira kalau kita memang ada di balik kecelakaan itu." "Baiklah, Dion. Yang pasti aku ingin kamu secepatnya mengurus semua ini." Alya mendengus panjang dan mulai mendatarkan suaranya, berusaha meredam segala rasa jengkel di hati. "Bagaimana pun caranya, kita harus bisa mengambil alih semua kekayaan Aryan, tanpa harus menunggu umur Nayra mencapai 18 tahun." "Kamu tenang saja, Alya. Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Jangankan pengacara itu, Aryan saja bisa kita lenyapkan tanpa kendala sedikit pun." Dion berucap dengan nada kecongkakan yang selalu membias di sorot matanya. "Tapi bagaimana dengan Gana dan Dafa, Dion? Mereka tidak bisa kita anggap remeh. Dua orang asisten kepercayaan Aryan itu juga tahu tentang isi surat wasiat Aryan. Mereka pasti akan jadi penghalang terbesar untuk rencana kita." "Jangan khawatir tentang mereka, Alya. Setelah aku yang memimpin perusahaan, mereka akan aku singkirkan pelan-pelan seperti mengusir tikus got! Aku akan buat mereka tidak nyaman bekerja di perusahaan itu lagi, sehingga mereka akan memilih resign dan tidak mencampuri urusan kita lagi," jawab Dion dengan akal liciknya. "Hmm, baiklah ... aku percaya sepenuhnya sama kamu, Dion. Aku yakin kamu pasti bisa dengan mudah mengatasi Gana dan Dafa." Sebuah senyum terus menghiasi bibir Alya. Dia sangat yakin, kalau Dion pasti bisa melakukan apa saja demi mewujudkan segala keinginannya. Untuk sejenak keduanya saling menatap dan rasa senang mengisi hati keduanya. Senyum manis, tetapi penuh kelicikan juga selalu terulas di bibir Dion dan Alya. Di dalam mobil itu terus melaju serta menerobos di antara kemacetan jalan protokol, keduanya asyik berbincang, membicara rencana serta khayalan mereka, setelah nanti berhasil mengambil semua aset serta harta milik Aryan. "Mengapa kamu membawaku ke sini, Dion?" Alya membulatkan matanya dan terperanjat, ketika Dion membawanya masuk ke main entrance sebuah hotel, tak terlalu jauh dari gedung kantor pengacara. "Jangan tanya mengapa, Alya. Kamu sudah tahu pasti apa tujuanku membawamu ke sini," kelakar Dion seraya tersenyum genit menggoda. "Ah, Dion ... ini masih siang dan seharusnya kamu datang ke kantor untuk mulai memimpin perusahaan, bukan?" Alya membalas dengan seloroh manjanya, tampak malu-malu, tetapi mau. "Urusan kantor bisa aku selesaikan nanti, Sayang. Urusanku sama kamu jauh lebih menyenangkan." Dion terkekeh dan mengerlingkan sebelah matanya, menatap wajah Alya yang tampak bersemu merah. "Kamu bisa saja, Dion. Huh, dasar otak me-sum!" hardik Alya, sambil memukul lembut lengan pria kekasih rahasianya itu. Setelah melakukan pemesanan kamar short time, di front office hotel tersebut, Dion segera membawa Alya masuk ke salah satu kamar deluxe, sesuai permintaannya. Memang bukanlah kamar terbaik di hotel itu, tetapi sangat nyaman untuk mereka bisa melepaskan hasrat sesaatnya. Hanya dalam hitungan menit, dua insan yang tengah dilanda gelora asmara itu pun sudah hanyut dalam hubungan terlarang. Keduanya asyik memacu peluh dan berebut oksigen, menyatukan raga dan segala rasa cintanya. Suara lenguhan dan de-sahan yang terdengar berlomba dari bibir mereka, membuktikan bahwa keduanya sama sekali tidak peduli dengan dosa besar yang tengah mereka lakukan. "Terima kasih, Sayang. Semua yang kamu berikan hari ini, sungguh luar biasa." Dion mengecup mesra kening Alya yang berbaring lelah di sebelahnya. Tubuh mereka masih sama-sama polos, keringat membanjiri dan deru napas juga masih terdengar memburu, usai sebuah pergulatan panas yang mereka lakukan. "Sama-sama, Sayang. Kamu juga selalu bisa memberi aku kepuasan." Alya ikut berbisik manja, sambil merebahkan kepalanya di d**a bidang milik Dion. "Sampai kapan kita harus berhubungan sembunyi-sembunyi seperti ini, Dion? Sekarang Aryan sudah tidak ada, seharusnya kita bisa secepatnya menikah dan aku tidak mau bila harus menunggu 18 tahun," tanya Alya, terdengar menuntut. "Sabarlah, Sayang. Aku pasti akan melakukan apa saja untuk bisa secepatnya mengubah isi surat wasiat itu, tanpa ada yang mencurigai kita. Aku juga sudah tidak untuk mempublikasikan hubungan kita." Dion hanya mengangguk dan berusaha meyakinkan Alya. Dalam hati, sesungguhnya dia juga tengah memutar otak untuk mencari cara bisa melancarkan semua akal busuknya tersebut. Untuk mendapat segala keuntungan, dia juga harus bisa merubah isi surat warisan Aryan, yang secara tidak langsung mengikat Alya, agar tidak menikah lagi dengan pria lain sebelum usia Nayra 18 tahun. Jika mereka menikah sebelum Nayra berusia dewasa, maka secara otomatis, Alya tidak akan menerima sepeserpun dari warisan Aryan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD