Eps. 08. Ada Rasa Kagum

1161 Words
Hingga satu minggu tinggal di desa itu bersama Sukma, Aryan yang menyandang nama baru sebagai Danu, sama sekali belum bisa mengingat apapun tentang dirinya. Kendati kondisi kesehatannya sudah semakin membaik dan luka-luka di tubuhnya juga sudah mulai mengering, tetapi sakit kepala masih sering menyerang. Terutama apabila dia berusaha mengingat tentang masa lalunya, rasa sakit justru akan semakin menyiksa. Selama satu pekan Danu menumpang tinggal di rumah sederhana milik Sukma, sejauh itu pula gadis itu selalu merawatnya dengan baik. Namun, tinggal di desa terpencil dengan pengobatan seadanya, membuat Danu semakin sulit bisa menyembuhkan ingatannya. Di sisi lain, sampai hari itu Danu juga tidak ingin Sukma melapor tentang dirinya kepada siapa pun. Dia takut bila mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya. Ada rasa khawatir apabila ternyata dia adalah seseorang yang sedang dikejar-kejar musuh atau bisa jadi juga dia adalah seorang penjahat yang menjadi buronan polisi. Dengan kata lain, Danu masih ingin bersembunyi di rumah Sukma, sampai dia bisa mengingat sesuatu tentang dirinya. Suasana masih cukup gelap ketika Danu terbangun dari tidurnya. Waktu saat itu menunjukkan pukul lima dini hari, tetapi Danu sudah mendengar ada suara kesibukan di dalam rumah Sukma. Hari ketujuh Danu tinggal di rumah itu, dia tahu kalau setiap hari Sukma selalu bangun mendahului terbitnya sang mentari. "Sepagi ini Sukma sudah bangun. Dia pasti sudah akan berangkat ke pasar untuk menjual hasil panennya." Perlahan Danu mengangkat punggungnya dan bangun dari atas ranjang berukuran 200 x 160 centimeter tempat dia biasa tidur, lalu berjalan pelan, keluar dari kamarnya. "Loh, kamu sudah bangun, Bang? Ini masih pagi. Apa aku yang membuatmu terbangun?" Sukma menatap Danu dengan raut wajah menyesal. Sesungguhnya dia tidak ingin kesibukannya pagi itu membuat tidur Danu menjadi terganggu. Dia sadar, di dalam rumah sempit seperti rumahnya, sedikit saja ada pergerakan pasti akan menimbulkan suara bising. Danu langsung tersenyum mendengar pertanyaan polos gadis itu. "Aku sama sekali tidak merasa terganggu," sahutnya sambil ikut duduk di bangku di sebelah Sukma, yang saat itu terlihat tengah sibuk mengikat beberapa jenis sayuran segar, untuk dia jual ke pasar pagi itu. Jenis sayuran seperti kubis, wortel, sawi, bayam dan beberapa sayuran lain yang dia petik kemarin sore, terlihat juga sudah tertata dalam sebuah keranjang besar. "Apa ada yang bisa aku bantu?" Danu ikut mengambil beberapa batang sawi hijau dan tali yang sudah dipersiapkan Sukma di atas meja di hadapannya. Dia berniat membantu, ikut mengikat sayur seperti yang tengah Sukma kerjakan saat itu. "Tidak usah, Bang. Kamu 'kan masih sakit. Sebaiknya kamu istirahat saja. Aku sudah biasa mengerjakan ini sendiri kok." Sukma ikut tersenyum dan merebut kembali sayuran dari tangan Danu. Dia tidak ingin merepotkan pria yang masih terlihat lemah akibat luka-luka yang dideritanya itu. "Tidak apa-apa, Sukma. Lagipula, kondisiku sudah membaik. Aku tidak mau hanya menambah beban kamu saja di rumah ini." Danu tidak bersedia melepaskan tali dan sawi dari tangannya. Dia tetap memaksa untuk membantu pekerjaan Sukma. "Aku sama sekali tidak merasa terbebani, Bang. Sebaliknya ada kamu, aku jadi ada teman di rumah ini. Setelah ayahku meninggal, selama ini aku hidup sebatang kara." Seraya tersenyum getir mengingat kesendiriannya, Sukma berceloteh menceritakan kisah hidupnya kepada Danu. Danu kembali mengulas senyum. "Aku salut sama kamu, Sukma. Walau hidup sendiri, tapi kamu tetap tegar, tidak gampang berputus asa dan selalu bekerja keras," sanjungnya, sangat terkesan akan keteguhan dan keuletan gadis itu, menekuni pekerjaanya sebagai petani sayur tradisional dan hanya tinggal seorang diri tanpa sanak saudara. "Yah ... mau bagaimana lagi, Bang. Di desa ini, bertani sudah menjadi mata pencaharian kami." Senyum Sukma terlihat menunjukkan ketegaran. Hidup keras seorang diri di desa itu, sudah biasa dia jalani. Meski tak memiliki siapa pun, gadis itu tetap tidak patah semangat. Semasa hidup, kedua orang tuanya juga terbiasa mendidik dirinya menjadi anak yang mandiri dan tidak cengeng. Sembari terus berceloteh menceritakan kehidupannya, tangan Sukma dan Danu tetap sama-sama sibuk mengikat sayuran dengan ukuran yang sama sesuai jenisnya. "Nah, sekarang semua sudah beres! Terima kasih, Bang Danu. Karena pagi ini ada kamu membantuku, pekerjaanku jadi lebih cepat selesai." Sukma tersenyum sumringah. Kendati hanya bantuan ringan, tetapi yang dilakukan Danu cukup membuat dia lebih cepat bisa menyelesaikan pekerjaannya. "Hanya pekerjaan ringan. Aku tidak bisa membantu lebih." Danu menunduk sungkan, sedangkan Sukma kembali hanya tersenyum. Meski belum lama saling kenal, Sukma bisa menduga kalau sebenarnya Danu adalah seorang pria baik dan berhati lembut. Gadis itu sangat yakin bahwa Danu pasti bukanlah seorang penjahat buronan polisi, sehingga dia semakin tidak ragu menerima pria itu tinggal dan menumpang sementara di rumahnya. "Aku akan ke pasar dulu, Bang. Setelah sayur-sayur ini aku jual ke saudagar, aku akan langsung pulang dan menyiapkan sarapan untukmu. Kamu tunggu di rumah ya!" ujar Sukma seraya bergegas mengangkat keranjang sayur, membawa ke depan rumah dan menaikkannya di atas jok motor butut miliknya. Sukma memang biasa menjual sayur hasil panennya kepada seorang saudagar sayur. Di pasar induk yang ada di desanya itulah, saudagar biasa menunggu petani menjual hasil panen setiap pagi. Dengan sangat cekatan, tangan gadis itu tampak terampil mengikat keranjang sayur di atas motor miliknya, sehingga dia bisa lebih mudah membonceng semua hasil panen itu sekaligus. "Ah, ada apa lagi dengan motor ini? Mengapa mesinnya tidak bisa menyala?" Tiba-tiba Sukma bersungut dengan wajah yang tampak kesal. Beberapa kali dia menstarter motor matic butut itu, tetapi tidak ada tanda motor itu bisa menyala. "Aduh ... bagaimana ini? Kalau motorku tidak bisa hidup, bagaimana aku bisa pergi ke pasar?" gerutu Sukma, merasa bingung dengan kondisi motornya. "Motornya kenapa, Sukma?" Danu yang ketika itu hendak mengantar Sukma hingga di depan rumahnya, langsung menghampiri. Melihat gadis itu terlihat kebingungan dengan kondisi motornya, dia kembali berniat membantu. "Ini, Bang ... motorku ngambek lagi. Tiba-tiba mati dan nggak bisa aku starter." Sukma berdecak dan membuang napas kasar. Dia takut akan terlambat tiba di pasar karena motornya tidak bisa dinyalakan. "Boleh aku coba menghidupkan mesin motormu?" Danu mencoba menawarkan bantuan lagi. "Iya, Bang." Sukma hanya mengangguk, sembari menyerahkan kunci kontak motornya kepada Danu. Danu lalu berdiri di sebelah motor itu dan memeriksa speedometer. Kening Danu berkerut, "Speedometernya menyala, tapi starter tidak berfungsi. Pasti permasalahannya ada pada kabel sensornya." Danu sangat yakin akan hasil pengamatannya tentang motor itu. Entah mengapa, ketika melihat kendaraan beroda dua itu, Danu merasa sangat akrab dengan segala hal terkait mesin kendaraan bermotor. Dengan sangat mudah dia menemukan dimana letak kerusakan motor itu dan dengan cepat bisa memperbaikinya. "Apakah sebelumnya pekerjaanku berkaitan dengan mesin kendaraan?" Sejenak pertanyaan seperti itu terlintas begitu saja di benak Danu. "Wah, motorku sudah bisa menyala lagi. Terima kasih banyak, Bang Danu. Aku tidak menyangka kamu bisa dengan mudah memperbaikinya!" Sukma berseru girang. Tidak butuh waktu lama, Danu bisa membuat motor itu menyala kembali. "Aku berangkat dulu ya, Bang!" Sukma bergegas naik ke atas motor itu dan melaju perlahan meninggalkan rumahnya, agar bisa segera sampai di pasar. Danu tetap berdiri mematung dan netranya hanya terpaku pada Sukma yang kian berlalu meninggalkan pekarangan rumah. Dalam hati dia semakin kagum akan ketekunan dan kesederhanaan gadis itu. Meski hidup seorang diri, tetapi dia tampak sama sekali tidak menjadikan semua itu penghalang, serta senantiasa bersemangat menjalani hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD