Eps. 19. Mengalahkan Preman Pasar

1251 Words
Danu menyeruak di antara kerumunan warga. Ketika dia sudah ikut berada di tengah-tengah kumpulan orang-orang di sana, Danu sejenak terdiam dan keningnya berkerut. Semua orang di sekitarnya tampak hanya diam, sementara di hadapan mereka, seorang pria bertubuh tambun terlihat berkacak pinggang dan berdiri angkuh. Pria bertubuh tambun itu tak lain ialah Saudagar Budi. Saat itu dia didampingi dua orang pria berpenampilan ala preman yang merupakan anak buahnya. Kedua preman itu juga terlihat tengah mencengkram erat tangan seorang pria dengan wajah tampak meringis menahan sakit. Pria itu pun adalah salah satu warga sekaligus petani sayur di desa itu. "Kalian semua dengar baik-baik!" Teriakan lantang dari mulut tajam Saudagar Budi itulah, yang membuat semua orang di pasar itu seketika diam seribu bahasa. "Di pasar ini, semua harga untuk hasil panen kalian adalah mutlak keputusan dariku. Kalau ada yang tidak setuju dan membanding-bandingkan dengan harga jual di saudagar lain, maka silakan saja kalian jual di tempat lain! Disini ... aku yang berkuasa!" Budi terus berteriak dan berseru angkuh, di hadapan para petani yang pagi itu hendak menjual hasil panen kepadanya. Tentu saja dia sangat percaya diri berbicara seperti itu, karena hanya dia lah satu-satunya saudagar yang menjadi pemasok hasil panen warga di desa itu. "Kalian semua tidak perlu terhasut omongan orang ini!" Budi menudingkan telunjuknya ke wajah pria warga desa yang ditahan oleh anak buahnya itu, serta menatapnya dengan aura kemarahan berkobar di matanya. "Seharusnya kalian berterima kasih terhadapku! Hanya aku saudagar yang bersedia membeli hasil panen kalian disini! Desa ini sangat terpencil dan sarana transportasi disini juga sangat tidak memadai. Jadi, jangan terlalu banyak protes kalau kalian masih membutuhkan aku sebagai satu-satunya pemasok hasil panen kalian!" Budi membusungkan d**a dan merasa paling berjasa bagi semua petani di sana. "Sebenarnya, ada apa ini, Pak?" Danu yang belum memahami apa yang terjadi, bertanya dengan suara setengah berbisik, kepada seorang pria paruh baya yang ada di sebelahnya saat itu. "Ini sudah hal biasa. Setiap kali ada petani mengeluhkan harga beli hasil panen yang terlalu murah kepada Saudagar Budi, ujung-ujungnya pasti warga itu sendiri yang diancam olehnya." Pria itu menjawab juga dengan berbisik. "Hah, diancam?" Dahi Danu mengernyit mendengar jawaban pria itu. "Ini perbuatan yang sangat tidak adil!" Danu berdecak gusar. "Lalu mengapa para petani hanya diam saja, tidak ada yang berani melawan?" gerutunya, merasa heran. "Mau bagaimana lagi, di desa ini tidak ada saudagar lain yang mau membeli hasil panen warga selain Saudagar Budi. Selain itu, kalau protes, kami takut para preman pasar akan menghajar kami seperti warga itu." Pria itu hanya mengendikkan bahu, karena setiap orang tahu bahwa semua preman di pasar tersebut, berada di bawah kendali Saudagar Budi. Untuk sejenak Danu terdiam dan hanya berniat memperhatikan apa yang akan Saudagar Budi lakukan terhadap warga yang menentangnya itu. "Bawa orang itu kemari!" Terdengar lagi suara lantang Budi memberi perintah, seraya menjentikkan jari kepada dua orang preman bawahannya. "Baik, Bos!" Kedua preman itu langsung menggiring warga itu ke hadapan Budi. "Dasar manusia tak tahu diuntung!" Mulut Budi langsung mengumpat pria di hadapannya. Buugh! Dengan wajah kesal dan tanpa basa-basi, Budi langsung mengarahkan kepalan tangannya tepat di ulu hati pria itu. "Aarghh!" Pria itu mengerang dan membungkuk memegang dadanya yang terasa sakit akibat pukulan tangan Budi. "Ini akibat kamu mencoba mempengaruhi warga!" Budi menaikkan satu ujung bibirnnya dan tersenyum kian menunjukkan keangkuhannya. Melihat hal itu, Danu lagi-lagi hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia heran mengapa warga tetap hanya diam saja dan tidak ada yang berani melawan, padahal tindakan Budi sudah jelas menunjukkan ancaman serta penganiayaan. "Tolong ampuni saya, Bang Budi! Saya tidak bermaksud mempengaruhi warga. Saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui dari warga desa sebelah." Sambil meringis menahan sakit, warga itu terdengar mencoba mencari pembelaan. "Tidak usah banyak protes! Kamu bukan siapa-siapa disini!" Budi membentak berang, serta kembali mengangkat tangannya, hendak memukul pria itu lagi. "Tunggu! Hentikan semua ini!" Danu yang tidak tahan melihat perbuatan Budi, langsung berhambur mendekati, seraya menahan tangan saudagar itu. "Warga ini tidak melawan dan dia hanya ingin menyampaikan keluhannya, Saudagar! Tidak seharusnya Bang Budi menganiaya dan mengancamnya seperti ini!" Danu menggeram dan menatap Budi dengan pancaran mata tidak senang. "Hei ... apa urusanmu berani menghalangi aku, hah! Di pasar ini aku yang berkuasa!" Budi menarik tangannya dengan kasar dari cengkraman Danu, serta menatap marah. Melihat ada orang yang berani menentangnya, hatinya menjadi semakin panas. "Tidak usah mengancam seperti itu, Bang. Jangan berbuat kasar! Coba berilah kesempatan setiap warga untuk menyampaikan aspirasinya. Tidak baik menghalangi kebebasan berpendapat para warga." Dengan suara datar, Danu mencoba memberi nasehat. "Haah, jangan banyak bacot kamu! Dasar laki-laki buruk rupa! Aku juga akan memberimu pelajaran!" Budi mendengus kesal, menanggapi dengan tidak senang nasehat dari Danu. "Bereskan laki-laki ini! Beraninya dia ikut mencoba menentangku!" pekik Budi, memberi isyarat agar dua preman itu menyerang Danu. Selain tidak senang karena Danu mencampuri urusannya, Budi juga memiliki perasaan dendam, karena dia merasa pria yang di matanya buruk rupa itu juga sudah merebut Sukma darinya. "Mau mati rupanya kamu disini, hah!" Salah seorang preman itu langsung menarik bagian leher hoodie yang dikenakan Danu dan memberi tatapan tajam. "Aku tidak takut mati! Aku hanya ingin menegakkan keadilan disini!" Dengan cepat Danu menarik tangan preman itu agar melepaskan cengkramannya. "Aahh, kurang ajar!" Preman itu berdecak penuh amarah, lalu dengan cepat mengarahkan kepalan tangan ke wajah Danu. Namun, Danu justru sangat mudah berkelit dan bahkan dengan lebih cepat berbalik mencengkram tangan pria itu. "Aarghh!" Preman itu mengerang kesakitan, karena Danu memutar tangannya dengan sangat keras. "Punya nyali juga kamu, ya?!" Preman satunya ikut memekik dan menatap Danu dengan wajah memerah. Melihat kawannya disakiti oleh Danu, preman itupun seketika merasa gusar. "Kita serang saja dia, Bang!" Sambil mengurut lengannya yang masih sakit akibat perbuatan Danu, preman itu mengajak rekannya untuk menyerang Danu bersamaan. "Rasakan ini!" Kedua preman pasar itu tanpa aba-aba langsung berkeroyok menyerang Danu. Akan tetapi, Danu yang di kehidupannya sebagai Aryan cukup menguasai bela diri, dengan cepat mampu menghindar, bahkan balas memberi serangan kepada preman-preman itu. Dengan sangat lincah Danu bergerak, menghindar, memukul serta mengarahkan tendangan bertubi-tubi kepada dua preman yang mengeroyoknya. Kendati ukuran tubuhnya jauh lebih kecil daripada dua preman berotot besar itu, tetapi gerakannya jauh lebih gesit, sehingga mampu membuat dua orang itu cukup merasa kewalahan. Dalam sebuah kesempatan, Danu memutar badannya, sambil mengarahkan tendangan ke wajah salah seorang preman itu. "Aarghh!" Preman itu mengerang kesakitan. Seketika cairan bening muncrat, keluar dari mulutnya, berbarengan dengan tubuhnya yang juga terjungkal ke permukaan tanah. "Aah, kamu bukan tandinganku!" Danu tersenyum jumawa menatap miring pada pria yang kini terkapar tak sadarkan diri. "Jangan sombong kamu! Hadapi aku kalau kamu punya nyali!" Geram melihat kawannya berhasil dilumpuhkan oleh Danu, preman satunya langsung bergerak menyerang. Akan tetapi, lagi-lagi Danu tidak gentar. Dengan gagah berani dia melawan, bahkan jauh lebih lihai dalam memberi pukulan serta tendangan maut. "Aarghh!" Preman itu ikut terjerembab jatuh ke permukaan tanah, dengan setetes darah segar terlihat dari ujung bibir serta hidungnya. Hanya dalam beberapa kali tendang dan pukul saja, Danu dengan mudah mengalahkannya. Warga yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa bergidik dan menjadi penonton saja. Mereka tidak berani melawan Budi ataupun membela Danu. Tidak ingin terkena masalah, mereka memilih diam tanpa melakukan tindakan apapun. Menyadari kedua preman itu sudah berhasil dia kalahkan, Danu lalu berbalik badan dan menatap ke arah Budi yang masih berdiri di sebelah mobil bak terbuka miliknya. "A-a-ampuni aku, Danu! Jangan sakiti aku!" Tubuh Budi seketika gemetar dan wajahnya pucat pasi. Melihat Danu sudah berhasil melumpuhkan dua preman andalannya, nyali Budi langsung menciut seukuran gundu. Ditambah lagi dengan tatapan tajam dari kedua mata Danu yang memerah, membuat Budi hampir terkencing-kencing karenanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD