Eps. 20. Dianggap Pahlawan

1654 Words
"Jadi, apa benar selama ini kamu memanipulasi harga sayur dari petani di desa ini, Bang Budi?" Danu terus menatap tajam ke arah Budi yang saat itu terlihat menunduk takut, tak berani membalas tatapannya. "Ti-ti-tidak, Danu. Se-semua itu tidak benar. Aku tidak pernah memanipulasi harga dari petani." Meski ketakutan di bawah tekanan Danu, Budi tetap tidak mau mengakui kesalahan. "Justru selama ini aku yang membantu mereka, walau sebenarnya aku rugi banyak. Di desa ini tidak ada saudagar lain yang mau datang membeli hasil panen warga. Desa ini sangat terpencil, sarana transportasi juga kurang memadai. Biaya pengiriman dari sini ke kota saja, nilainya bisa berkali lipat dari harga sayur-sayur itu." Budi terus berceloteh mengungkapkan pembelaan. "Saudagar Budi bohong! Yang dia katakan itu hanya isapan jempol!" Warga yang sebelumnya protes dan sempat dipukuli oleh kedua preman pasar, langsung menghampiri Danu dan Budi, serta menampik penjelasan dari Budi tersebut. "Bukan tidak ada saudagar lain yang mau membeli hasil panen dari warga, tapi Saudagar Budi bersama preman-preman pasar lah yang selama ini selalu mengancam setiap saudagar lain, agar tidak ada yang berani membeli sayur mayur dari kami! Dengan begitu, berapa pun harga yang dia patok untuk hasil petani, mau tidak mau petani akan menerima saja!" Pria itu berdecak sengit. Melihat Danu sudah berhasil mengalahkan preman pasar, pria warga desa yang merasa dirugikan oleh perbuatan Budi itupun, semakin berani membeberkan semua fakta yang dia ketahui tentang kecurangan Saudagar Budi selama ini. Mendengar penjelasan pria itu, semua warga lain yang ada di sana, tampak terperangah. Yang disampaikan pria itu terdengar cukup masuk akal. Selama ini memang tak satu pun ada saudagar lain yang datang ke pasar itu, sebab Budi lah yang selalu menghalang-halangi mereka. "Katakan padaku, apa semua itu benar, Bang?" Danu menarik kerah polo shirt yang dikenakan Budi, lantas kembali memberinya tatapan penuh ancaman. "A-a-a ... lepaskan aku, Danu! A-a-aku bisa jelaskan semuanya!" Budi mencakupkan tangannya di d**a dan berucap memelas. Dia menyentuh lehernya sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Danu yang membuat lehernya itu seakan tercekik. "Baik! Aku akan melepaskanmu, dengan syarat sekarang juga kamu jelaskan semuanya langsung di hadapan warga!" Tak langsung melepaskan cengkramannya, Danu lantas menyeret Budi ke tengah-tengah warga yang masih berkerumun disana dan mendorongnya dengan kasar. "Aaahhh!" Budi tersungkur ke tanah sambil memegang lehernya dan kian gemetar ketakutan. Meskipun Danu sudah melepaskan cengkramannya, tetapi pria dengan hoodie serta penutup wajah itu tetap menatapnya dengan sorot mata setajam belati. "Cepat katakan, Bang! Jelaskan kepada warga yang ada disini, kecurangan apa yang sudah kamu lakukan terhadap semua petani selama ini, hah?!" gertak Danu menekankan. "Ba-ba-baiklah ... aku akan jujur pada kalian semua. Selama ini aku memang sudah memanipulasi harga semua hasil panen kalian. Aku bersama semua preman pasar juga yang sudah menghalangi saudagar lain, agar tidak ada yang datang ke sini membeli hasil panen para petani." Dengan sedikit terhuyung dan tubuh bermandikan keringat dingin, Budi akhirnya menjelaskan semua kecurangannya selama ini. "Pantas saja sayur-sayur kita dibeli murah. Rupanya ini permainan curang Saudagar Budi." "Iya, selama ini ternyata kita sudah dibodoh-bodohi oleh saudagar culas itu!" Bisik-bisik seperti itu langsung terdengar di antara semua warga yang ada di pasar pagi itu. "Dasar saudagar licik! Tega sekali Bang Budi membohongi kami para petani! Kami tidak terima dengan semua ini!" Salah seorang warga langsung mengumpat gusar. "Benar! Saudagar Budi hanya bisa mencari keuntungan dengan memanfaatkan kita semua!" Warga lainnya juga ikut menimpali. "Sebaiknya kita beri dia pelajaran!" Mendengar pengakuan Budi, semua warga di sana seolah tersulut amarah dan ingin beramai-ramai menghajar Budi. "Iya ... kita hajar saja dia!" Kemarahan warga mulai tak terkendali. Secara bersamaan mereka mengepalkan tangannya dan bergerak hendak menyerang Budi. "Tunggu dulu, Saudara-Saudara! Jangan melakukan kekerasan!" Melihat kemarahan warga, Danu segera berhambur untuk menghadang. Sambil berdiri di hadapan semua warga, Danu merentangkan kedua tangannya seraya berteriak, "Tenang semuanya! Kita tidak boleh berbuat anarkis! Akan lebih baik kalau kita menuntut tanggung jawabnya!" Danu berupaya keras meredam kemarahan warga. "Tolong ampuni saya, Saudara-Saudara! Jangan pukuli saya! Saya minta maaf atas kesalahan saya selama ini dan mulai hari ini saya janji akan membayar harga yang pantas untu setiap hasil panen kalian!" Budi membungkuk, memohon ampunan warga. Tentu saja kemarahan warga yang ingin menghajarnya beramai-ramai, membuat dia sangat ketakutan. "Kalau begitu ... kembalikan juga semua hak kami yang sudah kamu curangi selama ini!" "Iya! Betul!" Teriakan warga kembali riuh. Kendati mereka urung menghajar Budi, tetapi mereka tetap merasa Budi harus mengembalikan kerugian yang mereka tanggung akibat kecurangannya itu. "Baik! Saya akan kembalikan semua hak kalian secara bertahap, dan hasil panen kalian hari ini juga akan aku bayar dengan harga wajar." Budi mengangguk tanpa berani membantah. Di hadapan warga yang sedang marah, seketika dia merasa sangat kerdil dan tak mampu berkutik. "Syukurlah ... setelah sekian lama Saudagar Budi menzalimi kita, hari ini dia kena batunya." "Iya, semua ini berkat Danu. Suami Sukma yang buruk rupa itu sudah berjasa bagi semua petani sayur seperti kita ini." Selain bisik kekecewaan terhadap Saudagar Budi, beberapa orang warga juga terdengar berbisik memuji Danu. Berkat keberaniannya melawan Budi, semua warga kini tahu akan kebusukan serta kecurangannya. Secara tidak langsung, kejadian hari itu sudah mengubah pandangan miring warga tentang Danu. Pria yang sering mereka rundung dengan sebutan si Buruk Rupa itu, ternyata adalah seorang pahlawan yang dengan gagah berani membela hak-hak mereka. **** Kendati masih merasa lelah akibat pertempuran panas dirinya bersama sang suami, tetapi pagi itu Sukma tetap berusaha bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Karena pagi itu Danu yang berangkat ke pasar, menggantikannya untuk menjual sayur hasil panen, Sukma merasa memiliki banyak waktu untuk membersihkan pekarangan rumah. Matahari baru saja menampakkan sinarnya, ketika Sukma terlihat sibuk menyapu halaman rumah dan menata beberapa tanaman bunga yang ada di sana. "Pagi, Sukma!" Sejenak Sukma menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah seorang wanita yang menyapanya. Wanita yang juga adalah warga desa itu, terlihat masih duduk di atas motor dan tersenyum kepadanya. "Ehh, Mbak Siti. Baru pulang dari pasar ya, Mbak?" Sukma bertanya hanya basa-basi, membalas sapaan ramah wanita bernama Siti yang tak lain adalah tetangganya itu. "Iya, Sukma." Siti mengangguk sambil menurunkan standar motornya dan mematikan mesin. "Oh ya, sayang sekali kamu tidak ke pasar hari ini. Apa kamu tahu ... pagi ini suami kamu sudah menjadi seorang pahlawan bagi semua petani di desa kita?" Siti berujar sambil menunjukkan perasaan bangga. "Seorang pahlawan? Maksudnya bagaimana ya, Mbak?" Sukma mengernyit mendengar penuturan Siti. "Iya, di pasar tadi Danu berkelahi melawan para preman dan dia juga sudah sangat berani mengungkap kecurangan Saudagar Budi ... " Dengan kekaguman, Siti menceritakan semua kejadian di pasar pagi itu kepada Sukma. "Suami kamu pria hebat, Sukma. Aku menyesal pernah merundung kalian. Ternyata Danu itu pemberani dan pembawa keadilan di desa ini." Siti terus berceloteh memuji keberanian Danu melawan Budi dan preman-preman pasar yang selama ini sangat ditakuti di sana. "Ah, masa sih, Mbak?" Seketika senyum juga ikut menghiasi bibir Sukma. Dia tidak menyangka kalau keluhan warga tentang Saudagar Budi selama ini akhirnya terjawab. Bahkan suaminya sendiri lah yang berperan dalam mengungkapnya. "Iya! Nanti kamu tanya saja sama suami kamu." Siti terkekeh menggoda. "Aku permisi dulu, Sukma," pungkasnya, sambil kembali menyalakan motornya dan meninggalkan Sukma. Tak lama setelah Siti berlalu, tampak motor yang dikendarai Danu juga tiba di sana. "Bang Danu! Abang sudah pulang!" Senyum sumringah langsung tergambar di bibir Sukma, saat menyambut suaminya pulang. Bergegas dia menghampiri Danu di tempatnya memarkirkan motor. "Aku dengar, tadi Bang Danu berkelahi melawan preman pasar. Abang nggak apa-apa, 'kan? Apa ada yang terluka?" Tanpa memberi kesempatan Danu menjawab, Sukma langsung menghujani suaminya dengan pertanyaan dan tampak sedikit khawatir akan keadaan Danu. Pandangan Sukma menelisik, memandangi pria di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, memeriksa dan memastikan tidak ada cedera di tubuh sang suami. "Aku tidak apa-apa, Sayang." Danu hanya menjawab santai, dengan sebuah senyum yang terus terulas di bibirnya. Dia bisa menebak, pastilah Sukma sudah tahu tentang semua yang terjadi di pasar pagi itu. "Bang Danu hebat! Abang begitu berani melawan Saudagar Budi," puji Sukma, bangga akan sikap ksatria suaminya. "Jangan memujiku, nanti aku bisa besar kepala." Danu menjawab dengan kekonyolannya, sehingga keduanya terkekeh bersamaan. "Ayo, Bang! Kita masuk saja. Aku sudah siapkan sarapan untukmu." Sukma menarik tangan Danu dan membawanya masuk ke dalam rumah. "Abang mau aku buatkan kopi dulu, nggak?" tanya Sukma, sambil membantu Danu melepaskan hoodie serta penutup wajahnya. "Nanti saja, Sayang." Danu menarik pinggang Sukma, membawa istrinya itu ke dalam dekapannya. Sejenak keempat netra mereka beradu dan sorot kebahagiaan tampak berbinar di sana. "Aku mau sarapan pagi yang itu dulu." Danu berbisik ambigu, dengan pupil matanya yang membesar, menatap Sukma penuh hasrat. "Apa, Bang?" tanya Sukma berpura-pura lugu. Meskipun sebenarnya dia tahu apa yang diinginkan Danu, tetapi dia bersikap seakan tidak paham akan ajakan suaminya. "Itu, Sayang! Masa kamu nggak paham maksudku?" bisik Danu kian genit menggoda. "Ini masih pagi loh, Bang. Malu dilihat orang! Lagian apa yang tadi malam belum cukup?" Sukma terkekeh dan menyeringai manja, sambil memukul lembut d**a Danu yang makin erat mendekap pinggangnya. "Memangnya siapa yang melihat kita, Sayang? Lagian kita ini pasangan pengantin baru, apa salah kita melakukannya sering-sering? Hmm ... " Tak ingin berbasa-basi lebih panjang, Danu langsung mengangkat tubuh istrinya dan menggendongnya menuju kamar mereka. "Lepasin aku, Bang. Aku nggak mau, ini masih pagi ... " Sukma masih meronta dan mencoba menolak. Danu terus melangkah menuju kamar, tanpa memedulikan Sukma yang mencoba melepaskan diri seraya menghentak-hentakkan kedua kaki di dalam gendongannya. "Ayo sekarang meronta saja sepuasmu!" Lagi-lagi Danu berbisik genit sambil membaringkan tubuh Sukma di atas tempat tidur, serta mencium dalam bibir ranum sang istri yang sudah begitu memabukkan baginya. Sukma hanya tersenyum. Sesungguhnya dia hanya berpura-pura menolak, tetapi dalam hati dia juga menginginkan sentuhan suaminya. Seolah sudah menjadi candu, bercinta membuat keduanya merasa semakin dekat, baik secara fisik maupun perasaan. Tak butuh waktu lama, keduanya sudah sama-sama polos dan mereka juga saling berpacu dalam mencapai puncak hangatnya asmara yang tengah bergelora. Udara dingin masih mendominasi suasana desa pagi itu. Akan tetapi, semua itu berubah menjadi butir-butir peluh kehangatan, membasahi dua raga yang kini beradu dalam penyatuan cinta nan membara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD