Suara sendok dan garpu terdengar beradu dengan piring keramik. Suasana cukup hening karena sudah menjadi kebiasaan jika sedang makan maka tidak boleh bicara. Angkasa fokus dengan sarapan nasi goreng di hadapannya. Ia tidak sendirian karena ada ayah dan ibunya.
“Angkasa, kamu tidak lupa kan kalau besok malam ada acara makan malam dengan teman Mama?” Tanya Andani ketika mereka sudah selesai makan dan sedang menunggu makanan turun ke perut.
Angkasa mengangguk dengan raut wajah tenang. “Iya Ma, aku ingat kok.”
“Bagus, berarti besok jangan pulang terlambat dengan alasan apapun.” Ujar Andani. “Pa, kalau sampai Angkasa mendadak beralasan ada pekerjaan di kampus, Mama nggak mau tau pokoknya Papa harus turun tangan.”
Hady mengembuskan napas pelan, lalu tangannya meraih cangkir berisi teh yang masih terasa hangat. “Angkasa kan sudah jawab sendiri kalau dia sudah ingat ada acara makan malam.”
“Iya sekarang bisa bilang begitu, nanti kan tidak tau alasannya apa. Papa tau sendiri kalau anak kita suka menghindar kalau urusan berkenalan dengan anak dari teman Mama.”
“Aku nggak akan beralasan lagi Ma, tenang saja.” Pria itu mendorong mundur kursi yang diduduki kemudian beranjak dari duduknya. “Aku berangkat dulu Pa, Ma. Hari ini ada jadwal bimbingan beberapa mahasiswa sebelum kelas, jadi aku tidak boleh telat.”
“Iya Angkasa, hati-hati di jalan.” Ucap Andani.
“Sebentar lagi Papa juga berangkat.” Ujar Hady. “Tapi Papa ada urusan ke tempat lain dulu baru ke kampus.”
“Iya Pa, semoga urusannya lancar.” Balas Angkasa sopan.
Di dalam mobil, pikiran Angkasa fokus pada ucapan sang ibu. Ia sudah berjanji untuk ikut pertemuan berkedok makan malam yang pasti akan sangat membosankan. Apalagi ia harus bertemu dengan orang baru, sungguh membuat Angkasa ingin menghilang saja.
“Andai dia mau, pasti semua tidak akan jadi begini,” gumam Angkasa. Ia menggelengkan kepala, seperti sedang ingin segera sadar dari pikiran bodohnya. “Sudah berakhir dan semua tidak akan pernah sama.”
Di tengah lamunannya, ada sosok tidak asing menyelinap di pikiran Angkasa. Kening pria itu langsung menunjukkan beberapa kerutan karena merasa tidak habis pikir. “Anak itu, kenapa selalu muncul tanpa aku ingin?”
Ingatan Angkasa kembali pada saat pertemuannya dengan gadis itu di restoran. Pakaiannya yang santai tanpa menggunakan make up, terlihat begitu natural. Angkasa sampai penasaran, kenapa Aluna tidak berdandan seperti anak perempuan pada umumnya, yang berlomba-lomba mengenakan riasan tebal. “Astaga Angkasa, kenapa jadi mikiran Aluna?”
Untuk kesekian kali Aluna menatap penampilannya di cermin. Ia ingin memastikan apa yang ia kenakan sudah rapi dan sopan. Hari ini pertemuannya dengan Angkasa dan ia tidak ingin membuat kesan yang buruk. Ia belum tahu bagaimana pria itu, apakah sikapnya hangat atau justru cenderung dingin dan galak. Sejak dihubungi lewat pesan singkat untuk memberikan jadwal bimbingan kepadanya, sejak saat itu Aluna merasakan tegang serta was-was. Berharap kalau Angkasa amnesia dan tidak pernah ingat mengenai pertemuannya di malam itu. Mengenakan kemeja oversize berwarna biru denim dengan celana jeans panjang berwarna hitam, Aluna yakin kalau penampilannya tidak akan mencolok dan menarik perhatian.
“Semoga saja penampilanku enggak menarik perhatian Mister Angkasa. Aluna mahasiswi biasa tanpa ada menarik-menariknya,” gumam Aluna kepada dirinya sendiri. “Coba saja kalau bukan karna tragedi malam itu mungkin aku bakalan coba buat cari perhatian dia. Secara dia ganteng banget dan siapa sih yang bisa nolak pesonanya dia.”
Setelah beres dengan ritualnya, Aluna turun untuk berpamitan dengan sang ibu. “Ma, aku pergi ke kampus dulu ya.” ucap Aluna kepada Ambar yang ada di teras depan rumahnya.
“Kamu tidak sarapan dulu?”
Aluna menggeleng cepat. “Tadi kan sudah minum s**u. Perutku lagi enggak mau diisi lagi.”
“Ya sudah hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut kalau bawa mobil.”
“Iya Ma, tenang saja. Masih jam sembilan jadi aku masih bisa sedikit santai.”
“Memang jam berapa mau ketemu dosen?”
“Jam 11 siang, Ma.”
Ambar mencium pipi putrinya. “Hati-hati dan semoga lancar.”
“Iya Mama.”
Mobil yang dikemudikan Aluna tidak langsung menuju kampus, melainkan pergi ke rumah Lia. Berhubung jadwal bimbingan mereka sama, jadi Aluna berinisiatif untuk menjemput Lia dan pergi ke kampus bersama-sama. Arah rumah Lia juga sejalan dengan arah kampus sehingga gadis itu tidak harus berputar-putar.
Sampai di kampus, Aluna dan Lia duduk di taman yang dekat dengan gedung tempat keduanya akan bimbingan. Suasana kampus cukup ramai seperti biasanya. Samar-samar Aluna bisa mendengar obrolan mahasiswi lain yang duduk tidak jauh dari tempat keduanya duduk. Dan yang dibicarakan oleh mereka adalah Angkasa.
“Gila sih pesonanya Mister Angkasa bikin nggak kuat. Tiap hari gue mau deh diajar sama dia.”
“Tapi tipe Mister Angkasa adalah tipe cowok susah digapai. Mana mau cowok ganteng dan keren seperti beliau dengan mahasiswi receh seperti kita.”
“Yang kuliahnya diajar sama Mister Angkasa pasti betah banget ya. Udah ganteng anak pemilik kampus pula.”
“Duh, kapan gitu bisa punya pasangan kayak Mister Angkasa?”
Begitulah kurang lebih percakapan yang Aluna dengar. Soal ketampanan dan daya tarik pria itu sudah biasa bagi Aluna tapi fakta baru yang ia dengar cukup membuatnya terbelalak. Tangannya meraba tangan Lia yang ada di sebelahnya. Ia menggoyangkan tubuh Lia agar melihatnya.
“Kamu denger, nggak? Mereka bilang Mister Angkasa anak pemilik kampus.” bisik Aluna dengan wajah menegang. “Aku salah denger, kan?”
Lia mengangguk dan menampakkan wajah tidak percaya. “Sepertinya telinga kamu berfungsi dengan baik, Lun. Aku juga denger hal yang sama kok.”
Tubuh Aluna langsung melonjak kaget, sungguh tidak percaya kalau ternyata Angkasa adalah orang penting selain bertugas sebagai dosen. “Lia, aku harus gimana, dong?”
“Gimana apanya?” Tanya Lia bingung.
“Ya Mister Angkasa pemilik kampus. Gimana kalau dia mempermasalahkan mahasiswanya pergi ke klub malam?”
“Emang bakalan sampai kayak gitu ya? Toh selama enggak bikin masalah dan mencemarkan nama kampus atau bawa embel-embel nama kampus, harusnya sih nggak masalah.”
“Tapi aku takut, Li.” Keluh Aluna.
Lia memutar bola matanya. Ia mulai kesal dengan sikap Aluna yang berlebihan dan terlalu overthinking. “Tolong deh Lun, kamu ini berlebihan banget tau nggak. Masalah yang enggak ada malah dipusingin. Ketakutan kamu itu terlalu berlebihan dan justru bikin kamu makin nggak tenang. Santai saja, anggap semua nggak pernah terjadi. Kalau kamu terus menebak tentang isi kepala Mister Angkasa, yang ada kamu jadi gila.”
Gadis itu mengembuskan napas pelan. Lagi-lagi ia panik dan hal ini sungguh menyebalkan baginya. Aluna berusaha mengendalikan pikiran dan perasaannya yang tidak karuan. “Oke, kita lupakan siapa itu Mister Angkasa dan fokus dengan bimbingan.”
“Awas saja panik nggak jelas, biar sekalian aku kasih tau Mister Angkasa soal tragedi malam itu biar masalah kelar.” Ancam Lia sebal.
“Jangan dong!” Cegah Aluna dengan mata melotot. “Sadis amat sih, Li.”
“Lama-lama aku gemes banget sama kamu, Lun.”
“Yah maaf, namanya juga panik dan takut,” gumamnya pelan.
Sudah 20 menit Aluna bersama dengan Angkasa. Pria itu fokus menjelaskan apa yang harus Aluna perbaiki dalam pembahasan skripsinya. Gaya Angkasa dan Friska tidak jauh berbeda dalam hal membimbing. Sama-sama teliti dan memperhatikan hal yang sangat detail sehingga membuat Aluna sedikit kewalahan karena Angkasa tidak ada basa-basi sedikit pun seperti dosen sebelumnya. Belum lagi pikiran yang tidak-tidak muncul mengganggu konsentrasinya. Aluna benar-benar gugup berhadapan dengan pria di hadapannya. Pandangan matanya beralih ke bibir yang pernah ia sentuh dalam keadaan mabuk. Samar-samar Aluna masih bisa ingat bagaimana lembutnya bibir pria di hadapannya.
“Kalau mahasiswi lain yang enggak ada masalah pasti betah banget lama-lama dengan Mister Angkasa. Lah aku, rasanya mau menghilang sekarang juga,” gumamnya dalam hati. “Aku masih penasaran, sepertinya Mister Angkasa adalah tipe cowok dingin tak tersentuh, sama seperti gosip yang beredar. Eh tunggu dulu, aku kan sudah pernah nyentuh bibirnya dia dengan bibirku.” Pikiran liar Aluna membuat gadis itu merasa geli sendiri.
“Kamu sudah paham dengan apa yang saya jelaskan?” Tanya Angkasa dingin. “Sepertinya kamu sibuk dengan pikiran kamu sendiri.”
Kedua mata Aluna membulat dan tubuhnya menegang. Suara Angkasa langsung membuyarkan lamunannya. Ajaib atau hanya kebetulan, pria itu bisa menebak isi kepalanya. “Su..sudah kok Mister.”
Wajah Angkasa yang awalnya menunduk karena fokus pada laporan di hadapannya, kini sudah tegak menatap Aluna. Tatapan tajam nan dalam dari pria itu membuat hati Aluna ketar-ketir. “Ada yang mau kamu tanyakan sebelum mengakhiri bimbingan hari ini?”
Aluna menggeleng pelan. “Sudah cukup jelas, Mister.” Jawabnya jujur.
“Yakin?”
Tiba-tiba terdengar suara aneh yang bersalah dari diri Aluna. Tangannya langsung bergerak ke arah perutnya dan wajahnya terasa panas karena menahan malu. Aluna berharap kalau Angkasa tidak mendengar suara perutnya yang keroncongan. Ia menyesali keputusannya tidak sarapan dan hanya minum s**u saja yang ternyata tidak mampu mengganjal perutnya hingga siang.
“Kamu tidak sarapan sebelum berangkat ke kampus?” Tanya Angkasa. “Padahal jadwal yang saya berikan sudah cukup memberi waktu untuk kamu sarapan. Sedang diet?”
Merasa tidak bisa bisa menahan malu, gadis itu hanya bisa menunduk. Sepertinya tingkahnya selalu menarik perhatian Angkasa dan pada akhirnya ia jadi malu sendiri. “Maaf Mister.”
“Kenapa minta maaf kepada saya?”
Tangan Aluna bergerak ke belakang tengkuk, mengusapnya pelan karena merasa malu dan canggung. “Maaf karna suara perut saya mengganggu Mister. Oh iya, saya tidak diet kok.”
Jawaban polos Aluna hampir saja membuat Angkasa tertawa tapi untuk masih bisa ditahan. “Ya sudah, kita akhiri pertemuan hari ini. Satu minggu waktu yang cukup untuk kamu merevisi apa yang sudah saya jelaskan dan saya tandai. Buat pembahasan yang lengkap agar rumusan masalah kamu terjawabkan dengan baik. Jangan hanya sekadar saja, itu sama sekali bukan harapan saya.”
Lagi-lagi Aluna mengangguk pelan. “Baik Mister. Saya akan segera merevisi dan melaporkannya lagi kepada Mister Angkasa.”
“Jangan hanya bicara saja tapi tolong beri saya bukti nyata.” Ucap Angkasa dengan raut wajah dingin. “Sekarang kamu sudah boleh pergi.”
Gadis itu beranjak dari duduknya, kemudian mengulurkan tangan ke arah Angkasa. “Terima kasih atas waktu serta bimbingannya, Mister Angkasa.”
Angkasa turut tatapan mata Aluna, lalu membalas jabatan tangan dari gadis di hadapannya. “Sama-sama.”
Setelah selesai, Aluna membalik badannya lalu bersiap meninggalkan ruang dosen yang kebetulan sekali sedang kosong, hanya ada dirinya dan Angkasa. Sebentar lagi ia bisa menghirup udara kebebasan dan bisa bernapas dengan lega.
“Tunggu!”
Suara dari arah belakang membuat Aluna menghentikan langkah. Ia berbalik dan melihat Angkasa sedang menatapnya. “Iya Mister?”
“Aluna, kamu yakin kita tidak pernah bertemu sebelumnya?
Jantung Aluna berdetak dua kali lipat lebih cepat setelah mendengar pertanyaan dari Angkasa. “Seingat saya, sebelumnya kita memang belum pernah ketemu, Mister. Setelah Mrs. Friska mengenalkan pembimbing baru, saat itu juga saya pertama kali bertemu Mister.”
Kebohongan yang Aluna lakukan membuatnya merasa berdosa dan bersalah. Tapi ia juga tidak siap untuk jujur dan mengatakan kalau mereka pernah bertemu dan Aluna mencium Angkasa di sebuah klub malam.
“Oh, perasaan saya saja mungkin.” Ujar Angkasa.”Oke, ini terakhir saya tanya soal ini kepada kamu.”
Ada sedikit rasa lega yang Aluna rasakan. Ingat, hanya sedikit bukan berarti sepenuhnya. “Kalau begitu saya permisi dulu, Mister.”
Angkasa mengangguk singkat. “Silakan.”
Begitu keluar dari ruang dosen, Aluna langsung merasa lemas sekujur tubuhnya. Ia berusaha menghirup banyak oksigen dan berharap detak jantungnya kembali normal. Aluna sangat menyesal karena sudah berbohong dan orang yang ia bohongi adalah orang yang ia hormati.
“Oh Tuhan, ampuni perbuatanku. Aku janji ini yang terakhir dan semoga Mister Angkasa menepati ucapannya dan tidak mengungkit masalah itu lagi. Semoga semuanya bisa normal tanpa ingat tragedi memalukan malam itu,” gumam Aluna sambil menyandarkan tubuhnya di tembok. “Rasanya aku ingin hilang ingatan saja.”