10. HARI YANG KURANG BERUNTUNG

2244 Words
Ketika rasa bosan dan lelah melanda karena terus bergulat dengan skripsi, melakukan revisi setelah bimbingan kemarin, hal yang bisa dilakukan Aluna adalah pergi ke mall. Satu tempat namun tersedia berbagai macam hal yang dibutuhkan oleh Aluna, salah satunya adalah salon. Sore ini pergi ke salah satu mall yang cukup terkenal untuk melakukan perawatan rambut. Aluna ingin memotong sedikit rambutnya karena sudah panjang. Selain itu ia ingin terlihat lebih baik setelah putus dengan Ray. Semua bencana yang terjadi di dalam hidupnya akhir-akhir ini, harus segera dihilangkan. Ia ingin memulai semuanya dari awal dan segala pikiran buruk harus ia enyahkan. Meski hanya sendiri tidak menyurutkan niat Aluna untuk pergi ke salon. Anggap saja ini adalah me time yang menyenangkan. Entah sudah berapa kali Aluna menguap hingga membuat matanya berair. Sudah satu jam ia di salon dan ternyata belum juga selesai. Rambutnya sudah selesai di-treatment dan tinggal di blow saja. Aluna melihat jam yang ada di ponselnya dan ternyata sudah jam tujuh malam. “Pantesan laper.” Gumamnya. Setelah selesai urusan di salon, kini Aluna sedang melangkahkan kaki mencari restoran yang sekiranya tidak terlalu ramai. Ia ingin makan ramen dan kebetulan di mall tersebut ada ramen yang enak. Tidak lama, ia sudah berada di depan restoran khusus ramen favoritnya dan kebetulan juga masih ada meja yang kosong. Namun, langkah kaki Aluna seketika terhenti ketika melihat siapa yang ada sebelah meja kosong. “Takdir Aluna adalah ketemu sama orang yang sangat dihindari.” Gerutu Aluna dalam hati. Tepat di sebelah meja kosong, sedang duduk Ray bersama dengan Siska. Pria itu juga melihat Aluna dan wajahnya nampak terkejut. “Aluna,” panggil Ray. Aluna memutar bola matanya. Tanpa peduli dengan panggilan dari Ray, ia membalikkan badan dan pergi meninggalkan restoran. “Ogah banget makan di sana. Yang ada selera makanku jadi ilang.” Gerutu Aluna. Sambil menahan rasa kesal, Aluna melangkah cepat menjauh dari restoran itu. Entah bagaimana bentuk hubungan antara Ray dan Siska, bagi Aluna mereka berdua tetap saja sudah melukai hatinya. Ia tidak mau memiliki urusan lagi dengan mantan pacarnya. Ia ingin hidup tenang dan tentunya ia juga akan membuka lembaran baru dengan orang yang tepat. “Menyebalkan! Masih mau mengelak lagi kalau nggak ada hubungan? Dasar cowok sinting!” Ucap Aluna dengan nada emosi. Pada akhirnya Aluna memilih pergi dari mall itu karena moodnya sudah tidak bagus. Tahu berada di tempat yang sama dengan orang yang paling ia hindari, rasanya tidak nyaman. Kini ia sedang berdiri di depan mall, sambil menunggu taksi yang lewat. Sembari menunggu, ia sedang berpikir ke mana ia harus pergi. Apakah ia harus pulang atau pergi ke tempat makan yang lain saja. “Ke mana, ya? Apa pergi ke rumahnya Lia saja? Atau langsung cari restoran buat makan malam?” gumam Aluna. Ketika sibuk berpikir, tiba-tiba muncul ide cemerlang di pikirannya. “Aha! Aku tau ke mana harusnya aku pergi.” Taksi yang ditumpangi oleh Aluna sudah sampai di depan gedung agensi milik Azel. Gadis itu memutuskan pergi ke sana dan ingin membujuk sang kakak untuk menemani makan malam. Kebetulan juga harusnya Azel sudah bisa pulang karena jam kerja sudah berakhir. Ya itu juga kalau pria itu tidak lembur atau ada acara lain. Pokoknya Aluna bermodal nekat menghampiri Azel ke sana. “Selamat malam Mbak Aluna. Mau ketemu dengan siapa?” Tanya satpam agensi yang kenal dengan Aluna. Aluna mengawali dengan senyuman. “Selamat malam, Pak. Saya mau cari Mas Azel. Kira-kira sudah pulang belum, ya?” “Bapak Azel masih di sini dengan Mas Ramon. Mungkin lagi lembur, Mbak.” “Oh begitu,” Aluna mengangguk pelan. “Oke deh Pak, saya cari ke dalam saja.” “Baik Mbak Aluna.” Dengan santai kaki Aluna melangkah ke dalam gedung Agensi milik Azel. Ia mendapati beberapa orang dengan postur tinggi langsung, serta penampilan yang kece dan sudah jelas mereka pasti seorang model. Aluna sampai minder karena penampilannya sendiri terlihat biasa saja. Wajahnya juga hanya mengenakan bedak, pensil alis serta lipstik tipis. Ia tidak tahu apa yang dilakukan para model, mungkin ada pekerjaan yang penting. Entahlah, Aluna buta dengan pekerjaan kakaknya dan sama sekali tidak tertarik bekerja di tempat itu jika sudah lulus kuliah. Sampai di depan ruang kerja Azel, yang pertama dilihat adalah Ramon. Pria yang bekerja sebagai asisten sekaligus sekretaris Azel, melihat Aluna dengan wajah semringah. “Hai Aluna.” Sapa Ramon. “Hai Mas,” sapa Aluna balik. “Mas, di dalam ada Mas Azel?” “Ada. Kenapa? Ada urusan penting?” Tanya Ramon penasaran. Aluna menggeleng pelan. “Mau ajak Mas Azel makan malam. Males pergi sendiri jadi aku mau ajak dia.” “Sudah telpon Pak Azel?” “Belum,” jawab Aluna sambil menggeleng pelan. “Wah, sepertinya Pak Azel bakalan nolak deh,” ucap Ramon mematahkan harapan Aluna. “Si bos lagi banyak kerjaan, makanya kami belum pulang.” Seketika raut wajah Aluna berubah sedih. Ia tidak tahu jika harapannya pergi bersama kakaknya akhirnya pupus. “Yah, gimana dong.” “Atau kamu mau coba dulu, siapa tau berubah pikiran.” *** Di dalam sebuah mobil yang melaju, duduk dengan tegang sosok wanita dan di sebelahnya ada seorang pria dengan ekspresi datar mengemudikan mobil. Pria itu adalah Angkasa, yang sedang mengantarkan pulang Iris, anak dari teman ibunya. Malam ini orang tua Angkasa dan orang tua Iris bertemu untuk makan malam di salah satu restoran. Pulang dari sana, Angkasa didesak oleh orang tuanya agar mengantarkan Iris pulang. Awalnya Angkasa menolak dan Iris juga tahu itu. Tapi pada akhirnya Angkasa mengantarkan Iris sesuai dengan amanat dari ibunya. “Mas Angkasa sudah lama tinggal di Singapura?” Tanya Iris, memecah kesunyian di dalam mobil. “Sudah.” “Mas, aku minta maaf ya karena Mas Angkasa jadi nganter aku pulang. Padahal aku sudah menolak loh, tapi malah dipaksa.” “Tidak usah minta maaf. Saya antar kamu sesuai dengan pesan orang tua kamu.” jawab Angkasa tanpa melihat wanita di sebelahnya. Suasana kembali hening. Iris tidak tahu apa yang harus ia katakan karena sikap Angkasa begitu dingin dan kaku. Jika sopan, rasanya ia ingin turun di pinggir jalan saja daripada harus menerima sikap dingin dari Angkasa. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sikap Angkasa mampu membuatnya tertarik dan penasaran. “Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Iris hati-hati. “Iya?” “Aku tau tujuan makan malam ini adalah untuk mendekatkan kita. Para orang tua pasti berharap jika kita bisa memiliki ketertarikan satu sama lain. Tapi ini terlalu dini untuk bisa menilai bagaimana hubungan kita ke depan. Yang jelas, dipertemuan pertama kita, aku merasa Mas Angkasa tidak nyaman. Benar demikian, Mas?” Pertanyaan yang Iris lontarkan begitu hati-hati namun tidak ingin terkesan bertele-tele. Ia berharap bisa mendapat jawaban tegas dari Angkasa agar ke depan ia bisa mengambil sikap. Pertanyaan Iris ditanggapi dingin oleh Angkasa. Tatapan pria itu masih fokus ke depan tapi tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. “Apa Mas Angkasa sudah punya wanita yang mengisi hati Mas Angkasa?” Tanya Iris kembali. “Kalau ada, kamu mau apa?” Tanya Angkasa balik. Iris menoleh ke samping, menatap wajah Angkasa. “Jadi benar, Mas?” “Kamu belum jawab pertanyaan saya.” Raut wajah Iris berubah kecewa. “Mas, kalau misalnya Mas Angkasa sudah punya pacar, sebaiknya jujur sama orang tua Mas. Biar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Orang tuaku berharap tapi nyatanya Mas punya seseorang yang Mas cintai. Kalau Mas jujur kepada orang tua, saya tidak akan keberatan jika rencana perjodohan ini berakhir, walaupun tidak pernah dimulai.” *** Akhirnya, Aluna terdampar di meja Tacco Bar and Restauran. Aluna gagal membujuk Azel karena kakaknya memang sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Sudah kesal sejak bertemu Ray dan Siksa, ditambah lagi Azel tidak bisa meluangkan waktu, akhirnya Aluna memilih pergi sendiri. Di hadapannya sudah ada steak dengan daging yang masih mengepulkan asap. Terlihat enak dan membangkitkan selera makannya. “Memang bukan hari keberuntunganku,” gumam Aluna sedih. Namun, seketika ia bersemangat karena tidak boleh mengabaikan makanan. “Kan lagi laper, jadi kudu bersyukur masih bisa makan enak.” Aluna begitu lahap dan asik menyantap makanan yang dipesannya. Seakan duduk sendiri bukan masalah besar baginya. Hari ini memang tujuannya menghabiskan waktu sendiri, jika Azel tidak bisa ya harusnya memang tidak apa-apa. “Kamu sendirian?” Suara tenang namun berat membuat Aluna mendongak. Wajahnya mendadak pucat dan mulutnya yang penuh makanan berhenti mengunyah. Di hadapannya kini berdiri sosok Angkasa yang kedatangannya tidak pernah diduga oleh Aluna. “Oh My God!” Seru Aluna dalam hati. Tiba-tiba Aluna terbatuk dan membuat Angkasa kaget. “Kamu tidak apa-apa?” Tanya pria itu sambil menyerahkan minum kepada Aluna. Tanpa menjawab, gadis itu meneguk lemon tea dingin agar mengurangi batuknya. Perhatian pengunjung lain tertuju kepada meja yang ditempati oleh Aluna. Ia sudah tidak peduli, rasa malunya sudah menguap begitu melihat Angkasa. Setelah tenang, Aluna memberanikan diri menatap Angkasa. “Maaf Mister.” Angkasa juga terlihat lega setelah Aluna tidak batuk-batuk lagi. “Kamu batuk karna liat saya?” Aluna mengangguk pelan. “Mister bikin saya kaget.” “Saya boleh duduk di sini?” “Boleh, silakan.” Jawab Aluna pasrah. Kini keduanya duduk saling berhadapan. Angkasa menatap lekat Aluna, sedangkan Aluna hanya bisa menatap sesekali karena canggung. “Kamu sendirian?” “Iya Mister. Mister sendiri sama siapa?” “Saya juga sendirian.” “Kenapa sendirian? Temen Mister ke mana?” Angkasa mengangkat bahunya ringan. “Saya sengaja sendiri. Kamu sendiri, kenapa tidak sama teman?” “Karna hari ini saya memang mau pergi sendiri.” “Oh begitu.” Sejak tadi ada yang menarik perhatian Angkasa dan akhirnya sadar jika rambut Aluna sedikit lebih pendek. “Baru potong rambut?” Aluna menyentuh rambutnya, lalu mengangguk. “Baru tadi, Mister.” “Dalam rangka apa?” “Memang harus ada alasan kalau mau potong rambut?” “Rata-rata perempuan punya alasan…” Kalimat Angkasa menggantung karena pelayan datang menanyakan menu pesanannya. Ia hanya memesan French fries dan minuman bersoda. Perutnya masih kenyang dan memang tujuannya ke sini hanya ingin mengalihkan pikiran mengenai pertemuan tadi dengan keluarga Iris. “Kenapa Mister tidak pesan makanan?” Aluna kembali melanjutkan makannya yang tertunda. “Karna saya tidak lapar, Aluna.” Gadis itu mengangguk. “Oh.” “Lanjutin saja makannya, saya tidak akan ganggu kamu, kok.” Ucap Angkasa dengan tatapan tetap tertuju pada Aluna. “Kalau Mister liatnya seperti itu, mana bisa makan dengan tenang.” Gumam Aluna. “Baiklah, saya tidak akan memperhatikan kamu.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan fokusnya kini sudah teralihkan. Karena lapar akhirnya Aluna berusaha untuk tidak peduli dengan keberadaan Angkasa di hadapannya. Sikapnya harus normal agar tidak menarik perhatian pria itu. Semua hal negatif ia singkirkan dari pikirannya agar tidak menjadi kenyataan. Degup jantungnya yang tidak beraturan, berusaha ia abaikan. Diam-diam Aluna memperhatikan apa yang dilakukan Angkasa. Sambil fokus pada ponselnya, tangan pria itu juga sibuk mencomot kentang goreng di atas piring saja. Terlihat santai dan tidak tegang seperti sebelumnya. Aluna bisa melihat bagaimana ciptaan Tuhan begitu sempurna di hadapannya. “Mister, kenapa ganteng banget sih? Coba saja tidak ada tragedi malam itu, saya pasti seneng bisa deket sama Mister.” Aluna sibuk membatin. “Sudah selesai?” suara Angkasa membuyarkan lamunan Aluna. Aluna terkesiap dan wajahnya mendadak tegang. “Sudah Mister.” “Kamu ke sini bawa mobil?” “Tidak Mister. Kenapa? Mister Angkasa butuh tumpangan?” Tanya Aluna polos. “Sayang sekali, saya nggak bawa kendaraan alias naik taksi.” “Saya tidak butuh tumpangan. Kamu pulang sama saya saja.” Ucapnya santai. “Hah?” Aluna terkejut dengan kondisi mulut terbuka. “Awas ada lalat masuk ke mulut kamu.” Sindir Angkasa. “Eh? Nggak usah Mister. Saya bisa pulang sendiri kok.” “Kamu takut pulang dengan saya?” “Enggak kok, siapa yang takut. Mister salah sangka.” “Ya sudah, saya kasih kamu tumpangan pulang.” Tawaran Angkasa lebih terdengar paksaan di telinga Aluna. Pria itu mengangkat tangannya, memberi kode kepada pelayan untuk memberikan bill. Aluna mulai panik dan sedang memikirkan cara untuk menolak. “Tapi Mister, saya bisa…” Tidak peduli dengan ocehan Aluna, pria itu membayar semua makanan di meja mereka. “Ayo pulang.” “Mister! Tunggu ini nggak bener, harusnya…” Suara Aluna tidak berarti bagi Angkasa. Pria itu sudah pergi menuju pintu keluar. Mau tidak mau Aluna mengikuti Angkasa demi menghindari masalah semakin besar. apalagi pria itu membayar makan malamnya tanpa ada basa basi terlebih dahulu. “Mister Angkasa.” Teriak Aluna karena tidak bisa mengimbangi langkah Angkasa. “Saya mau pulang sendiri saja.” Kalimat lantang dari Aluna itu berhasil membuat langkah kaki Angkasa terhenti. Pria itu memutar tubuhnya dan mendapati Aluna tengah berdiri diam sambil menatapnya dengan bibir cemberut. Mau tidak mau, Angkasa memaksakan diri untuk melangkah mendekati Aluna. Melihat Angkasa datang menghampirinya, hati Aluna mulai ketar ketir. Suaranya yang lantang dan tidak sopan, pasti membuat pria itu tersinggung. “Habislah aku.” Teriak Aluna dalam hati. “Hari ini memang hari yang kurang beruntung.” Kini Angkasa sudah berada tepat di hadapan Aluna. Jarak keduanya begitu tipis sampai-sampai Aluna bisa mendengar deru napas milik Angkasa. “Mister saya…” “Apa ada hal di diri saya yang membuat kamu tidak nyaman?” Tanya Angkasa dalam satu tarikan napas. Penuh penekanan dan terdengar berat di telinga Aluna. Kedua mata gadis itu mengedip beberapa kali, bingung harus menjawab apa. Belum lagi jaraknya dengan Angkasa begitu dekat dan ia bisa mencium aroma tubuh maskulin pria di hadapannya. Hati Aluna langsung kebat-kebit dibuatnya. “Sa-saya, saya…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD