Kedua kakak beradik akhirnya sampai di Tacco Bar and Restauran, tempat yang dibilang memiliki menu steak yang enak. Suasananya cukup ramai namun masih ada meja yang kosong untuk Aluna dan Azel duduk. Mereka berdua mengikuti arahan dari pelayan untuk menuju meja kosong yang berada di sisi dekat dengan jendela kaca yang besar.
“Tempatnya bagus ya, Mas.” Ucap Aluna ketika pelayan sudah pergi membawa menu makanan yang mereka pesan. “Nyaman walaupun ramai.”
Azel mengangguk dengan pandangan menyapu ke sekitar. “Iya dan aku tau dari anak-anak.” Yang dimaksud Azel adalah para model di agensinya. “Makanannya juga enak jadi rasanya kamu tidak punya alasan kalau tidak nafsu makan.”
Disindir demikian membuat gadis itu tersenyum lebar, hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. “Asal ditraktir, siapa yang mau nolak.”
Azel hanya menggeleng mendengar jawaban adiknya. Ponsel dalam saku celananya bergetar sehingga menarik perhatian pria itu untuk melihat.
Aluna sendiri asik menggerakkan badannya, mengikuti alunan musik jazz. Beberapa pengunjung perempuan melemparkan pandangan ke mejanya dan ia yakin itu pasti karena kakaknya. Penampilan Azel memang tidak pernah salah dan selalu memesona. Wajar saja karena pekerjaannya membuat sang kakak memiliki penampilan yang selalu keren. Belum lagi sikapnya yang dingin terkadang mengundang rasa penasaran kaum hawa. Sayang saja pria di hadapannya itu tidak pernah membuka hati setelah mengalami patah hati hebat.
“Mas, aku mau ke toilet dulu ya.”
Sang kakak mengangguk pelan. “Bisa sendiri, kan?”
“Bisa dong, memang aku anak kecil,” sahut Aluna tajam.
Akhirnya Aluna melangkahkan kakinya menuju toilet yang sebelumnya sudah ditanyakan kepada pelayan di mana letaknya. Sambil melihat sekeliling restoran, Aluna berjalan begitu tenang dan santai. Ia melihat meja besar yang dipenuhi dengan sekelompok pengunjung laki-laki. Di mata Aluna, penampilan mereka santai dan juga memiliki wajah yang lumayan tampan.
“Tenang Aluna, di dunia ini banyak pria tampan, tidak hanya si Ray.” Gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba saja ketika akan melewati meja tersebut, pandangan mata Aluna menangkap sosok yang tidak asing baginya. Langkahnya sampai terhenti karena ternyata saat ini mereka bertemu pandang. Aluna sampai tidak percaya karena bertemu dengan orang yang sudah membuat harinya tidak tenang.
“Mister Angkasa?” gumam Aluna.
“Kamu?”
Sekitar tujuh pasang mata tertuju pada Aluna yang masih berdiri dengan raut wajah terkejut. Tubuh gadis itu menegang, merasa sangat menyesal dengan keputusannya pergi ke toilet padahal ia tidak sedang kebelet dan hanya ingin cuci tangan.
“Selamat malam, Mister,” sapa Aluna sopan.
“Dia siapa? Mahasiswa kamu?” tanya salah satu teman Angkasa.
Pria itu mengangguk. “Kamu sama siapa?”
“Kalau sendiri gabung di sini saja,” sahut yang lainnya.
Angkasa memberi tatapan tajam pada teman-temannya. “Jangan sembarangan!” ucapnya tajam. “Kamu sama siapa?”
“Saya sama saudara, Mister.”
“Oh begitu. Sekarang mau ke mana?”
“Saya mau ke toilet,” sahut Aluna pelan. “Maaf Mister, saya permisi dulu.” Aluna tidak ingin berlama-lama karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi kalau Azel sampai tahu, bisa tamat riwayatnya.
“Oh silakan.” Jawab Angkasa sambil memperhatikan Aluna pergi.
“Cantik bener mahasiswi lo, boleh kali kenalin ke kita.”
Tatapan mata Angkasa membuat Rion tidak bisa menahan tawa. “Kayaknya yang ini sudah jadi inceran Angkasa.”
“Oh iya?”
“Wah seleranya beda nih sama yang sebelumnya.”
“Yang tadi sepertinya terlihat naif, belum ada pengalaman.”
“Diam kalian! Isi otaknya hanya perempuan saja.” Ucap Angkasa kesal tapi justru dibalas tawa oleh teman-temannya.
Sementara itu, Aluna mengurungkan niat pergi ke toilet dan sedang berputar mencari jalan untuk kembali ke mejanya. Dengan langkah tergesa-gesa dan sedikit panik, ia terus bersikap awas agar tidak bertemu lagi dengan Angkasa.
“Astaga, kenapa dunia sempit banget sih? Pertama di klub, kampus, minimarket dan sekarang di restoran. Ya Tuhan, untuk sementara waktu, boleh kan jauhkan aku dari Mister Angkasa.” Aluna sibuk membatin.
Begitu sampai di meja tempatnya duduk bersama Azel, nampak Aluna menghela napas panjang dengan wajah masih terlihat panik. Tentu saja hal ini bisa dibaca jelas oleh Azel dan membuat pria itu curiga kepada adiknya.
“Kamu kenapa?” Tanya Azel dengan kerutan terlihat di dahinya.
Bukannya menjawab, gadis itu malah meneguk air minum yang tersedia di atas meja. Setelah selesai meneguk dan detak jantungnya sedikit tenang, baru ia berani menatap Azel.
“Aku enggak kenapa-kenapa, Cuma haus saja.” Dusta Aluna.
Azel memicingkan mata, instingnya kuat untuk tidak mudah percaya. “Jangan bohong.”
“Serius Mas, kenapa aku harus bohong.” Sahut Aluna tanpa menatap berani menatap kedua mata pria di hadapannya.
“Kamu…”
Belum selesai Azel bicara, pelayan datang membawa dua menu pesanan mereka. Steak yang mereka pesan nampak sangat enak dan menggugah selera.
Kedua mata Aluna berbinar dan wajahnya nampak berseri-seri. Setidaknya makanan ini bisa membuat perhatiannya teralihkan dan melupakan keberadaan Angkasa di tempat itu.
“Wah kayaknya enak banget,” ucap Aluna senang.
Azel hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya. “Cepat dimakan, jangan sampai sisa. Ini harganya mahal.”
Aluna mendecakkan lidahnya, ingin heran tapi yang ia hadapi adalah Azel dengan segala sifatnya yang terkadang menyebalkan. “Katanya pemilik agensi terkenal, masa makan ini saja mengeluh mahal,” sindirnya tajam.
“Meski pun anak presiden atau jadi crezy rich Indonesia, uang ya uang, harus tetap dihargai berapa pun nilainya. Cari uang itu susah, tapi menghabiskannya bisa dengan sekali kedipan mata. Nanti kamu pasti tau rasanya cari uang dan perasaan sayang untuk menghabiskan.”
“Iya-iya. Ampun deh jangan diceramahi lagi.” Aluna tahu kalau Azel tidak pelit tapi hanya menghargai uang. “Bisa makan sekarang?”
Pria itu mengangguk. Kedua tangannya sibuk memotong daging yang masih menampakkan asap karena baru saja dipanggang.
Baik Aluna dan Azel sama-sama menikmati enaknya makanan mereka. Sambil ngobrol soal pekerjaan Azel, proyek yang akan dilakukan agensinya serta rencana mengenai masa depan pria itu. Lebih banyak yang dibahas soal Azel karena Aluna tidak mau membicarakan tentang patah hati atau skripsinya.
Saat pandangannya lurus ke depan, kedua mata Aluna membulat sempurna. Aluna tersedak hingga membuatnya batuk. Cepat-cepat ia meraih gelas berisi air putih dan meneguknya cepat.
“Kamu makan seperti anak kecil saja. Bisa pelan-pelan, kan?” Ucap Azel heran.
Aluna menepuk dadanya dan berusaha untuk mengatur napasnya. “Ya nggak sengaja.” Balasnya sambil melihat Angkasa yang berjalan ke arahnya.
Mendapati adiknya fokus menatap ke belakang, membuat Azel penasaran dan ikut menoleh ke belakang. Setelah melihat segerombolan laki-laki berjalan ke arah mereka, Azel melempar pandangan curiga kepada Aluna. “Jangan bilang kamu tersedak karena liat mereka?”
Gadis itu mengembuskan napas pelan. “Memang karna itu.”
“Aluna! Sejak kapan kamu jadi centil begini?” Tanya Azel. “Jangan bilang karna broken heart kamu jadi begini?”
“Mister Angkasa pulang sekarang?” tiba-tiba Aluna berdiri untuk menyapa Angkasa.
Pria itu mengangguk dengan senyum singkat. “Saya duluan,” jawab Angkasa sambil melirik Azel. Dalam hatinya bertanya-tanya apakah laki-laki itu yang membuat Aluna berakhir di klub malam.
“Baik Mister, hati-hati di jalan.”
Setelah Angkasa menghilang dari pandangan matanya, Aluna kembali ke posisi duduk lalu menghela panas panjang. Seakan tadi tidak sempat bernapas karena harus berhadapan dengan dosen kampusnya.
“Mister? Siapa?” Azel terlihat penasaran dan tidak sabaran.
Aluna kembali melanjutkan makannya. “Mister Angkasa dosen di kampusku, Kak. Jadi dia dosen pengganti untuk pembimbing skripsiku.”
Pria itu mengangguk pelan. “Dari raut wajahnya terlihat sombong.”
“Entahlah, aku juga baru kenal.”
“Hati-hati, biasanya dosen dengan tampang songong seperti itu sikapnya suka semena-mena.”
Aluna mengangkat bahunya ringan. “Aku belum bisa menilai bagaimana orangnya, Mas. Kami baru ketemu dua eh sekali maksudnya.”
“Aku hanya mengingatkan.”
“Iya-iya, makasih Mas-ku yang baik hati dan tidak pelit.”
Mobil yang dikemudikan oleh Azel sampai di depan rumah orang tuanya. Pria itu menoleh ke samping dan mendapati Aluna terlelap. Selama perjalanan pulang, adiknya sudah tertidur karena kekenyangan. Namun ketika sampai, gadis itu ternyata bangun.
“Syukurlah kalau kamu bangun jadi aku tidak harus menggendong orang yang baru selesai makan,” sindir Azel.
Aluna mengusap matanya dan mencoba menjernihkan pandangan matanya. “Biar aku yang buka pintu pagarnya, Kak.”
“Tunggu dulu,” ucap Azel membuat adiknya mengurungkan niat membuka pintu mobil.
“Kenapa?”
Dagu Azel mengedik ke depan, pandangan matanya tertuju pada motor yang terparkir tidak jauh dari gerbang rumah mereka. “Itu bukannya mantan kamu?”
Aluna mengikuti arah pandangan sang kakak. Benar saja, ternyata ada Ray yang sedang duduk di atas motor dengan arah pandangan tertuju pada mobil milik Azel yang masih menyala. Gadis itu mengembuskan napas pelan, tidak menyangka kalau mantan pacarnya senekat ini.
“Mas masuk duluan biar aku yang temuin dia.”
“Kamu yakin?”
“Yakin Mas, hanya sebentar karna memang tidak ada hal yang perlu dibicarakan lagi. Sebenarnya aku malas sekali berurusan dengan dia.”
“Kamu bisa tinggalin dia dan jangan peduli. Biar saja dia nunggu sampai pagi.”
“Enggak Mas, kalau seperti itu kesannya aku memang ingin kejar-kejar.”
Azel mengangkat bahunya. “Ya sudah terserah kamu. Kalau ada apa-apa, teriak saja.”
“Iya Mas.”
Raut wajah yang lega terlihat jelas pada wajah seorang Ray. Bagaimana tidak, gadis yang ia tunggu sejak tadi akhirnya muncul di hadapannya. Ia sudah sempat masuk ke rumah Aluna, namun kata ibu Aluna, gadis yang ia cintai sedang keluar bersama kakaknya.
“Akhirnya kamu pulang juga.” Ucap Ray senang. Refleks tangannya ingin menggapai tangan Aluna namun segera ditepis gadis itu. Ray kecewa tapi berusaha tetap tersenyum tenang.
“Mau apa lagi sih, Ray? Apa sikapku belum bisa membuat kamu sadar kalau aku sudah muak sama kamu? Kita sudah putus dan tidak ada lagi hal yang harus kita bicarakan?” Ucap Aluna dengan tegas. “Tolong jangan ganggu aku.”
“Aluna, aku mohon beri aku kesempatan sekali lagi. Selama ini aku tidak pernah menyakiti kamu jadi setidaknya kamu bisa maafin aku. Aku bingung dan tidak bisa berdiam diri nunggu kamu mau bersikap baik. Aku hanya berusaha untuk membuat kamu percaya.”
“Kamu benar-benar egois ya. Hubungan kita memang baik-baik saja dan kamu nyaris tidak pernah membuat aku menangis. Tapi jangan itu dijadikan alasan agar aku mau maafin kamu. Kamu memang baru sekali membuat hatiku patah, tapi sakitnya begitu dalam sampai aku tidak bisa kasih kamu kesempatan.”
Lagi-lagi Ray berusaha menggapai tangan Aluna, dan ternyata gadis itu diam. “Aku tau kesalahanku sangat fatal, tapi aku masih sayang masih cinta sama kamu. Aku nggak mau kita pisah hanya karna orang lain.”
Aluna melepaskan genggaman tangan Ray, kemudian menggeleng lemah. “Bukan karna orang lain tapi karna kamu sendiri.”
“Oke aku minta maaf dan aku siap melakukan apapun agar kamu mau maafin aku,” Ray memohon.
“Sederhana Ray, cukup jangan muncul di hadapanku dan jangan ganggu aku maka aku akan maafin kamu.” Jelas Aluna kejam. “Mudah bukan?”
“Mana bisa seperti itu, Aluna?”
“Bisa saja Ray. Ketika patah hati, apapun bisa terjadi.” Tanpa peduli lagi, Aluna pergi meninggalkan Ray yang masih ingin mendapat kesempatan dari Aluna.
“Luna, kamu pasti akan menyesal dengan keputusan yang sudah kamu ambil!” Teriak Ray. “Saat kamu menyesal maka kamu akan berbalik mengemis untuk kembali.”
Aluna tidak peduli dengan ucapan Ray. Hatinya memang masih sakit, amat sakit. Ia tidak bohong jika rasa sayang itu belum sepenuhnya hilang. Tapi mengingat apa yang dilakukan pria yang pernah membuatnya bahagia, rasa sakit itu kembali menghunus hatinya.
“Jangan menangis karna air mata kamu terlalu berharga.” Suara Azel dibalik pintu pagar membuat Aluna terkesiap.
“Mas Azel?” gumam Aluna sedih.
Perlahan Azel menghampiri adiknya, kemudian memeluk Aluna dengan sabar. “Jangan pernah menyia-nyiakan hidup kamu yang berharga hanya karna alasan cinta. Ingat itu Aluna.”
Aluna mengangguk dalam dekapan Azel, menahan diri agar tidak meledak. “Iya Mas, terima kasih.”
“Jangan berusaha kuat kalau nyatanya kamu rapuh. Jangan menahan air mata kalau nyatanya kamu ingin mengeluarkannya.”
Pada akhirnya, ucapan dari sang kakak membuat pertahanan Aluna runtuh. Ia menangis, mencoba melepaskan rasa sesak di dalam dadanya. Hubungannya dengan Ray memang singkat tapi sangat berkesan. “Aku mau nangis sebentar, Mas. Setidaknya ini yang terakhir, untuk orang itu.