Sudah hampir dua jam Angkasa duduk di gazebo rumah orang tuanya. Sambil menatap kolam yang terisi penuh dengan berbagai jenis ikan kesayangan ayahnya. Tangannya melemparkan makanan sedikit demi sedikit. Suasana sejuk dan asri membuat ia betah berlama-lama di sana. Sekilas, ia menyapukan pandangan ke bangunan di hadapannya. Rumah milik orang tuanya yang sudah ia tempat sejak lama. Meski sempat meninggalkan tempat ini bertahun-tahun lamanya, tapi tidak bisa menghapus kenangan yang pernah dialami oleh Angkasa. Satu yang tidak berubah, tempat ini sepi karena hanya ada ia, ayah, ibu dan asisten rumah tangga.
Angkasa menghembuskan napas dalam-dalam, seperti ingin mengeluarkan semua beban yang ia pikul sebagai anak tunggal. Segala tuntutan serta tanggung jawab harus ia hadapi dan mengesampingkan rasa egonya hingga membuatnya kembali ke Jakarta.
Bayangan mengenai percakapannya tadi siang dengan ibunya kembali muncul. Segala harapan serta keinginan Andani sebagai ibu, diutarakan kepada Angkasa.
“Angkasa, minggu depan luangkan waktu untuk makan siang dengan teman Mama. Mama harap kamu tidak menolak lagi setelah acara kemarin batal karna kamu mendadak ke kampus.” ucap wanita berusia lebih dari setengah abad itu. Tangannya sibuk mengupas buah apel untuk putranya. “Papa juga sudah setuju jadi kamu tidak ada alasan sibuk atau ada pekerjaan mendadak.”
Angkasa hanya diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk teh yang dibuatkan oleh Andani. Pandangan pria itu juga tertuju pada cangkir berwarna bening itu.
“Jangan diam, jawab Angkasa.”
Pria itu mengembuskan napas pelan. Ia lelah harus mendengar keinginan sang ibu agar segera memiliki menantu. “Iya Ma, aku pasti ingat.”
“Bagus. Kamu tentu sudah tau kalau tujuan Papa dan Mama meminta kamu pulang ke Indonesia selain untuk mulai mempelajari tentang kepengurusan kampus, kami harap kamu bisa segera memiliki pendamping,” ujar Andani. “Usia Papa dan Mama tidak bisa dikatakan muda. Semua orang tua yang seusia Mama pasti menginginkan untuk segera memiliki menantu serta cucu. Jangan lupa kalau kamu adalah anak tunggal keluarga Reinaldi yang harus memberikan keturunan.”
Ceramah dari sang ibu membuat Angkasa kembali merasa gamang. Terlalu sulit mewujudkan keinginan orang tuanya mengingat menjalin hubungan dengan seorang wanita adalah hal yang tidak mudah baginya. Namun, orang tuanya tidak menerima alasan itu karena mereka sudah menyiapkan calon untuknya.
“Iya Ma,” hanya itu yang keluar mulut Angkasa demi membuat ibunya tenang.
Lamunan Angkasa buyar karena suara nyaring dari ponselnya. Ia merogoh benda yang ada dalam sakit celana dan melihat siapa yang meneleponnya.
“Rion? Gumamnya dengan keadaan sebelah alisnya terangkat. “Mau apa orang ini?”
“Bro, lagi di mana?”
Angkasa langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Belum sempat menyapa, temannya itu langsung menyambar dengan semangat. “Lagi di rumah, kenapa?”
“Ada acara?”
“Enggak.”
“Bagus, tunggu di rumah dan segera siap-siap. Ada acara kumpul dengan teman SMA dan mereka seneng karna seorang Angkasa ada di Jakarta.”
“Oke, lagi suntuk juga.”
Setelah menutup telepon dari Rion, Angkasa kembali menatap ponselnya. Ada yang ingin ia lihat sebelum mengakhiri ritual melamun sore ini. Tangannya menggeser layar ponsel dengan pelan untuk membuka galeri. Lagi-lagi ia menghela napas panjang ketika yang dicari sudah ada di dalam pandangannya. Merasa belum puas, ia ingin melihat lagi sampai akhirnya jarinya berhenti bergerak dan terpaku pada video di galeri ponselnya. Keningnya menampakkan kerutan dengan ekspresi wajah tertegun.
“Aku tidak ingat kalau punya video ini,” ucap Angkasa kepada dirinya sendiri.
Saat ini, Angkasa sudah berada di mobil yang dikemudikan oleh Rion. Pria itu nampak tidak berubah banyak, masih terlihat seperti playboy di zaman SMA.
“Bagaimana kabarmu dengan wanita yang pernah aku liat di sosial mediamu?” Pertanyaan tanpa basa basi meluncur dengan lancar dari mulut Rion.
“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”
“Santai Bro, hanya ingin tau.”
“Sudah berakhir sejak aku pulang ke Indo.” Sahut Angkasa.
“Kenapa?” Nada suara di sebelah Angkasa mengandung rasa penasaran dan terkejut. “Maksudku kenapa bisa, bukankah kalian sangat serasi dan sudah bersama dalam jangka waktu lama?”
Angkasa mengangkat ringan bahunya. “Ada banyak alasan yang jelas tidak bisa aku ceritakan. Tapi salah satunya ya karna dia tidak mau aku ajak pulang ke Indo.”
Rion mengangguk paham namun ia juga masih merasa penasaran. “Biar aku tebak, dia menolak untuk menikah bukan?”
“Hhmm, begitulah.” Sahut Angkasa lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
***
“Aluna, kamu enggak mau makan malam?” Ambar sedang berdiri di depan pintu kamar Aluna, memanggil untuk mengajak makan malam bersama. “Ada Mas Azel, masa kamu nggak ikut makan bareng.”
Tidak lama, pintu kayu itu terbuka dan menampakkan sosok Aluna dengan wajahnya yang sayu serta rambut berantakan. “Aluna belum laper, Ma.”
Kening Ambar langsung menampakkan kerutan serta matanya menatap heran dengan kondisi putrinya. “Kamu kenapa berantakan begini? Belum mandi?”
Aluna menggeleng pelan. “Belum. Aku makan malamnya nanti saja.”
Tangan Ambar bergerak cepat, lalu menempelkannya pada kening putrinya. “Kamu enggak demam. Terus kenapa lemes begini?”
“Aku nggak apa-apa Ma, cuma capek aja.”
Wanita paruh baya itu menghembuskan napas pelan. “Ya sudah, sebaiknya kamu mandi dulu biar seger. Setelah mandi kamu makan, baru istirahat lagi.”
“Iya Ma,” jawab Aluna pelan. “Oh iya, jangan bilang sama Mas Azel kondisiku begini ya, Ma. Bilang saja aku masih ada kerjaan dikit.”
Ambar mengangguk paham. Tentu saja kalau Azel tahu pasti anak laki-lakinya itu akan khawatir dan penasaran. “Ya sudah, Mama ke bawah dulu ya.”
“Iya Ma.”
Aluna kembali menjatuhkan seluruh tubuhnya di atas tempat tidur yang empuk. Pandangannya menerawang, menatap langit-langit kamarnya. Sejak pertemuannya dengan Angkasa, seakan membuat hidup Aluna merasa tidak tenang. Ia jelas sudah bertekad untuk menghadapi semua kemungkinan terburuk yang terjadi, tapi tetap saja ketakutan itu menguasai dirinya. Yang ia bayangkan adalah Angkasa sadar dan menyebarkan berita itu. Dan yang paling buruk adalah orang tuanya juga jadi tahu kalau ia pernah pergi ke klub malam dan minum hingga mabuk. Namun, ada yang paling menakutkan yaitu kakaknya tahu dan masalah akan menjadi panjang. Ketakutan Aluna mungkin terlalu berlebihan tapi ia juga tidak tahu bagaimana caranya mencegah agar pikiran buruknya menghilang.
Di atas tempat tidur yang berantakan, Aluna mengerang putus asa. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena menjadi wanita yang mudah putus asa hanya karena laki-laki. “Harusnya yang frustrasi bukan aku tapi Ray. Kenapa aku harus ke klub sih, kenapa enggak pergi ke perpus terus belajar, kan lebih bermanfaat. Kalau sudah begini, baru menyesal. Mana Mister Angkasa enggak mungkin aku hindari, secara dia pembimbing skripsi.”
Aluna mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Jarinya bergerak mencari kontak nama milik Angkasa. Sampai saat ini ia belum menghubungi Angkasa untuk menanyakan nasib dari skripsi miliknya.
“Baru beberapa hari jadi masih wajar aku belum mencari tau nasibnya,” gumam Aluna kemudian melempar ponselnya sembarangan di atas tempat tidur.
Gerakan tubuh Aluna pelan dan terkesan malas. Ia berusaha memaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidur dan pergi untuk membersihkan diri. Bagaimanapun, ia harus mandi agar tubuh serta pikirannya menjadi segar. Siapa tahu dengan cara seperti itu ia mampu menghalau prasangka buruk mengenai apa yang akan terjadi di depan.
Namun, ketika ia bergerak menuju meja rias untuk membersihkan sisa make up, tubunya dibuat melonjak karena suara dering ponsel. “Astaga, kenapa bikin kaget sih?” gerutu Aluna.
Dengan wajah merengut, ia berjalan mendekati tempat tidur untuk mengambil ponselnya yang terus berdering. Kedua alisnya tertaut saat melihat siapa yang meneleponnya. “Pasti si Ray.”
Tanpa menjawab, Aluna lebih memilih untuk mematikan ponselnya karena ia tidak mau diganggu oleh mantan pacarnya. “Mau apa sih? Udah aku bilang putus ya putus. Malah nelpon pakai nomor baru!”
Setelah selesai membersihkan diri, Aluna merasa perasaannya membaik. Tapi nafsu makannya belum muncul sehingga ia memutuskan untuk tetap di kamar untuk menonton film. Baru saja ia menyalakan laptop terdengar suara pintu diketuk dari luar. Aluna segera membuka dan melihat siapa yang ada di sana.
“Mas Azel? Ada apa?” Tanya Aluna yang melihat kakaknya berdiri di depan pintu.
Wajah pria itu nampak serius, memandang sang adik dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kata Mama keadaan kamu menyedihkan, tapi aku liat kamu baik-baik saja.”
Aluna mengembuskan napas pelan, heran dengan sikap ibunya yang tidak bisa menjaga rahasia. “Memang aku baik-baik saja Mas, Mama yang berlebihan.”
“Mama bilang kamu nggak mau makan, kenapa? Masih galau karna putus cinta?”
Gadis itu mendengkus, jelas saja tebakan kakaknya salah. “Enak aja, siapa juga yang galau karna putus cinta?”
“Terus kenapa si rakus jadi mogok makan?”
“Aku nggak mogok makan Mas, Cuma belum laper,” sahut Aluna mulai kesal. “Mas Azel mau apa, sih?”
“Maunya sih ajak kamu keluar kalau beneran mogok makan. Ada restoran steak yang enak dan aku mau coba.” Ucap Azel dengan pandangan teralihkan. “Tapi karna kamu baik-baik saja, ya nggak jadi. “
Langsung saja tangan Aluna dengan cepat menyambar tangan milik Azel. “Ayo keluar Mas, ajak aku makan steak.”
“Katanya enggak laper, gimana sih? Nanti malam mubazir karna nggak habis.”
“Habis kok, ayo ajak aku keluar, cari udara segar biar otakku nggak ngebul karna skripsi.”
Melihat ekspresi adiknya yang frustasi sontak saja membuat Azel mengulas senyum geli. “Ya sudah, aku tunggu di bawah.”
Secepat kilat Aluna menyeruduk tubuh tinggi tegap Azel. Ia memeluk pria itu dengan erat dan senyum mengembang. “Makasih Mas-ku yang baik hati dan tidak sombong. Love you pull deh buat Mas Azel.” Puji Aluna.
Azel berdesis karena sudah hafal dengan kelakuan adiknya. “Modus karna ada maunya.”
Tidak lama, keduanya sudah di dalam mobil yang melaju menuju restoran steak yang dijanjikan oleh Azel. Lagu yang diputar di dalam mobil membuat Aluna senang bahkan ikut bergumam menikmati lagu yang didengar. Ia berusaha untuk tenang meski ada bayangan yang mencoba mengusik hati dan pikirannya.
“Mas, aku boleh sesuatu?” Tanya Aluna kepada Azel.
“Hhmm, apa?”
“Mas Azel pernah membuat kesalahan yang membuat Mas Azel malu terus nyesel? Sampai takut untuk berpikir karna rasa bersalah terus menghantui.” Tanya Aluna sambil melempar pandangan ke arah Azel yang mengemudi.
Tidak ada jawaban dari Azel. Pria itu masih fokus mengendarai mobilnya. Perlahan terdengar suara dehaman dari Azel. “Kamu lupa kalau aku sudah bikin satu keluarga malu karna gagal membawa calon istriku ke altar?”
Seketika Aluna merasa tercekat dengan jawaban dari sang kakak. Ia benar-benar lupa mengenai masa lalu dari Azel hingga tanpa ragu menanyakan hal yang sensitif.
“Memang sulit dan akan terus menjadi aib, tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur jadi aku Cuma bisa belajar berdamai meski sulit. Kalau hanya melibatkanku mungkin aku masih bisa biasa saja, tapi karna menyangkut keluarga terutama Papa, Mama dan kamu, jadi tanggung jawabku untuk membuat semua kembali normal semakin berat,” jelas Azel dengan sangat tenang.
Aluna menoleh, menatap Azel dengan perasaan bersalah. “Maaf ya Mas, aku nggak ada maksud untuk mengungkit masalah ini.”
“Memang kenapa kamu tanya hal seperti itu? Kamu membuat kesalahan?” Tanya Azel tanpa menanggapi permintaan maaf dari Aluna.
Secepat mungkin Aluna menggeleng agar Azel tidak curiga. “Enggak kok, Mas. Ya buat kesalahan kan wajar tapi bukan kesalahan besar.”
“Bikin salah apa?”
“Bukan apa-apa kok.” Elak Aluna. “Oh iya, restorannya masih jauh?”
“Enggak, lima menit lagi sampai.”
Aluna mengembuskan napas pelan. Hampir saja ia membuat Azel curiga dan hal ini bisa berakibat fatal. “Salah kamu juga sih, ngapain mancing-mancing,” gerutu Aluna dalam hati.