12
"b******n!" geram Febiola sembari menghambur hendak menampar Trevor.
Akan tetapi, gerakan pria bermata sipit lebih cepat dari Febiola. Trevor berdiri menjulang dan menangkap pergelangan tangan perempuan berambut sebahu. Keduanya saling menatap tajam tanpa peduli diperhatikan oleh orang-orang di sekitar.
"Kamu, pria paling b******k yang pernah kukenal!" geram Febiola. Dia sama sekali tidak takut dipelototi CEO Aryeswara Grup. "Bisa-bisanya kamu menjebak sahabatku. Merampas kehormatannya. Dan sekarang kamu mengumbar cerita bila kalian telah menjalin hubungan," ungkapnya, sebelum menghempaskan tangan hingga terlepas dari pegangan Trevor.
"Itu yang sebenarnya terjadi," kukuh pria beralis tebal. Trevor berusaha tetap tenang, meskipun dia risi dipandangi banyak pengunjung kafe.
"Kapan terjadinya, huh?" Febiola menggertakkan gigi, kemudian melanjutkan ucapannya. "Kamu datang ke kantor kami beberapa waktu lalu. Aku yang menemanimu di ruang kerja. Saat Jewel datang, dia bahkan lupa tentang siapa kamu!" serunya tanpa bisa menutupi emosi.
"Katakan padaku. Bagaimana orang yang tidak mengenalmu, bisa menjalin hubungan denganmu, Wahai pria b***t?" Suara Febiola yang naik beberapa oktaf berhasil membuat mereka jadi tontonan banyak orang.
"Kami bukan remaja tanggung yang bisa dibohongi dengan skenario burukmu. Jadi, aku bisa memastikan semua alibimu adalah bohong. Aku saksinya, kalau kalian memang baru bertemu di kantor kami!" sentak Febiola yang menyebabkan Trevor terpaku.
Selama beberapa saat suasana hening. Levin berdiri dari kursinya di dekat meja sebelah kiri. Dia bergerak maju dan membisikkan sesuatu pada Kakak sepupunya yang tetap bergeming.
Levin merunduk sedikit untuk menyentuh pundak Arnold. "Lebih baik kita segera pergi, Mas. Sebelum ada yang merekam peristiwa ini dan jadi viral," ucapnya.
Arnold melirik pria yang lebih muda. Dia memutuskan untuk menerima saran Levin. Sebab bukan hanya Trevor yang akan malu jika kisah itu diekspos ke publik. Namun, Jewel juga akan terkena imbasnya.
Arnold berdiri dan mengajak Adik iparnya serta Febiola meninggalkan kafe. Hal serupa dilakukan Terren. Sedangkan Levin menyelesaikan transaksi p********n terlebih dahulu, kemudian mengikuti langkah kelompoknya yang telah menjauh.
Mereka menyusuri lorong rumah sakit tanpa berbincang. Sesampainya di depan ruang perawatan, Arnold membalikkan badan untuk menghadang sang CEO yang hendak ikut memasuki ruang perawatan.
"Lebih baik kamu pulang ke Jakarta. Berikan kami ketenangan sebentar," ungkap Arnold. "Setelah kondisi Ayah membaik, kami akan merembukkan hal ini. Selanjutnya, aku yang akan menghubungimu," ungkapnya.
"Berapa lama?" tanya Trevor.
"Belum tahu. Bisa cepat, bisa juga lama."
"Awal bulan depan saya mau ke Amerika dan Canada. Kalau bisa, sebelum saya berangkat sudah ada keputusannya."
"Aku tidak bisa menjanjikan itu. Karena yang terpenting saat ini adalah menstabilkan kondisi Ayah, sekaligus menenangkan Jewel. Bagaimanapun, dialah korban yang sesungguhnya di sini. Apa pun sanggahanmu, tidak akan mengubah nasibnya."
"Ehm, ya. Saya paham."
Arnold manggut-manggut. "Tunggu saja kabar dariku," paparnya. "Dan, usahakan untuk tidak mengganggunya terlalu sering. Sekarang dia mungkin terlihat tegar, tapi kita tidak tahu isi hatinya seperti apa," lanjutnya.
Arnold mengalihkan pandangan pada Levin, kemudian bertutur, "Kalian punya satu saudara perempuan. Bayangkan bila dia berada dalam posisi Adik saya sekarang. Pasti hatinya sakit dan teramat sangat malu."
"Saya tidak mengancam. Tapi, coba kalian berempati sedikit. Di sini, Adik ipar sayalah korban sesungguhnya. Jangan sampai kalian merasakan posisi yang tengah saya dan Rayner hadapi. Ini sangat berat dan butuh ketegaran hati untuk melewatinya," pungkas Arnold.
***
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Trevor hanya berdiam diri sembari berpura-pura tidur. Ucapan Arnold terngiang-ngiang di telinganya, terutama karena pria berlumis tipis menyebutkan tentang Levanya.
Trevor tertampar telak. Selama ini dia lupa, bila Adik sepupu kesayangannya bisa saja akan mengalami nasib yang sama dengan Jewel. Trevor merutuki diri yang bersikap tidak pantas pada Jewel. Terutama karena dirinya memperlakukan perempuan tersebut bak tawanan perang.
Kendatipun fisik Jewel terlihat baik-baik saja, tetapi batinnya pasti terluka. Terbayang kembali saat perempuan berhidung mancung menangis di pagi hari seusai kisah cinta satu malam mereka. Selain itu, Trevor juga beberapa kali memergoki Jewel menangis dan terlihat begitu merana.
Selama puluhan tahun hidup, baru kali itu Trevor merasa dirinya rendah. Dia menyesal telah melakukan kesalahan itu dan benar-benar berharap bisa diberikan kesempatan untuk menebusnya.
Trevor merasa yakin bila menikahi Jewel adalah keputusan yang paling tepat. Selain karena bentuk tanggung jawabnya, hal itu juga dilakukan sebagai perwujudan rasa sayangnya pada Jewel.
Pria berjaket jin biru sama sekali tidak menduga bila hatinya benar-benar terjerat pada perempuan judes yang tidak bisa memasak. Dia juga tidak menyangka jika debaran dalam d**a saat pertama kali bertemu Jewel ternyata berkembang cepat hingga jatuh sayang.
Trevor membuka matanya untuk mengambil ponsel dari saku dalam jaket. Dia menekan nomor kontak paling atas yang diberi nama Ma Bichette. Trevor menempelkan ponsel ke telinga kanan, lalu mengalihkan pandangan ke kiri sambil menunggu panggilannya dijawab.
"Mau apa lagi!" bentak Jewel dari seberang telepon.
"Ehm, kamu membentak, saya jadi lupa mau ngomong apa," sahut Trevor.
"Ya, udah. Tutup!"
"Tunggu! Saya sudah ingat."
"Hmm."
"Kamu mau pesta pernikahan seperti apa?"
"Aku tidak mau menikah denganmu!"
"Bisa tidak, ngomongnya santai? Pakai nada Do aja. Nggak perlu Si."
"Bicara denganmu nggak bisa tenang, apalagi sopan!"
"Jangan begitu. Bagaimanapun saya adalah calon suamimu."
"Hanya dalam khayalan!"
"Dan pasti jadi kenyataan."
"Lebih baik aku mati, daripada menikah denganmu!"
Bunyi khas sambungan telepon diputus terdengar kencang di telinga Trevor. Dia menggertakkan gigi sembari mengumpat dalam hati. Emosinya memuncak karena kata-kata terakhir Jewel yang mengindikasikan jika perempuan tersebut membencinya.
Sementara itu di tempat tinggalnya, Jewel menyandarkan badan ke sofa. Dia mengomel sambil memaki pria yang baru saja menelepon. Jewel benar-benar tidak bisa menahan emosi karena Trevor kembali mengungkit tentang pernikahan.
Jewel memejamkan mata sembari mengatur napas. Dia harus menenangkan diri agar tidak terlihat mengkhawatirkan bagi semua orang. Jewel juga tidak mau anggota keluarganya tahu jika dirinya tengah berusaha mengubur kenangan pahit karena telah ternoda.
Tidak pernah tebersit dalam pikiran Jewel, jika dirinya akan mengalami nasib buruk, justru di saat dia tengah mempersiapkan pernikahan dengan Marcellino. Mengingat sosok lelaki tersebut menyadarkan Jewel dari lamunan. Dia mengerjap-ngerjapkan mata sebelum menggeleng pelan.
"Je, kamu malam ini di rumah aja. Biar aku dan Mas yang berjaga," tukas Gladys sembari mengenakan jaket merah mudanya.
"Clarissa udah tidur?" tanya Jewel.
"Belum, lagi ngobrol sama Ibu." Gladys mendekati sofa dan duduk di ujung kanan. "Besok, sebaiknya kita menemui psikiater," lanjutnya dengan suara pelan.
"Buat apa?"
"Kamu harus ikut terapi."
"Aku tidak gila."
"Terapi bukan untuk orang tidak waras. Tapi ini untuk meredam emosimu, sekaligus agar bisa memendam peristiwa itu."
Jewel memaksakan senyuman. "Aku tidak apa-apa, Kak. Jadi tidak perlu ikut terapi."
"Ini untuk mencegah terjadinya emosi yang meledak dan tidak terkendali, suatu saat nanti."
"Tapi, aku ...."
"Je, aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Tapi, kali ini aku benar-benar menginginkanmu menemui psikiater." Gladys memajukan badannya, kemudian berkata, "Kamu ingat? Aku pernah jadi sukarelawan untuk yayasan perlindungan perempuan. Hanya terapi yang bisa membantu korban kekerasan kembali hidup normal."
"Secara kasatmata, kamu memang tidak terlihat tertekan. Tapi, aku tahu kalau kamu sering menangis. Di kamar mandi pun lama sekali. Selain itu, kamu makin sering marah-marah, walaupun kamu nggak nyadar tentang itu," lontar perempuan berambut sebahu sembari memandangi adiknya lekat-lekat.
"Coba temui dulu, sekali aja. Kita lihat perkembangannya gimana," cetus Gladys. "Jangan sungkan untuk menceritakan semua isi hatimu. Semua psikiater adalah orang-orang yang akan menjaga rahasia pasiennya," pungkasnya.
Panggilan Arnold dari luar rumah menjadikan Gladys berdiri. Dia mendatangi sang adik, kemudian memeluk Jewel yang tetap bergeming.
"Aku dan seluruh keluarga menyayangimu, Je. Kami akan selalu mendukungmu, sampai kapan pun," tukas Gladys sembari mengurai dekapan. "Kalau kamu mengambil keputusan untuk membawa kasus ini ke jalur hukum, kami juga tetap mendukungmu," lanjutnya.