Tidak Yakin Seratus Persen

1262 Words
13 Hari masih sangat pagi ketika seunit mobil MPV hitam berhenti di depan pagar kediaman Sebastian Narapati. Pengemudinya turun, lalu menutup pintunya. Dia berpindah ke bagian tengah, kemudian membuka pintu untuk mengambil tas belanja berisi oleh-oleh. Seusai menutup dan mengunci pintu, pria berkemeja cokelat muda nenyugar rambutnya sambil bercermin pada spion mobil. Dia menegakkan tubuh untuk memindai sekitar yang terlihat sepi. Sudut bibir sang tamu mengukir senyuman saat pintu depan terbuka dan sesosok perempuan tua mengamatinya sesaat, sebelum jalan cepat untuk membukakan pintu pagar. "Selamat pagi, Tante," sapa Marcellino ketika menyalami Helga yang telah membukakan pagar. "Pagi, Nak. Apa kabar?" tanya Helga seraya mengulaskan senyuman. "Baik. Tante, sehat?" Helga mengangguk. "Ayo, masuk. Je pasti senang lihat kamu datang." "Dia sudah bangun?" "Sepertinya sudah. Nanti saya panggilkan." Keduanya jalan menuju ruang tamu. Helga mempersilakan tamunya duduk, kemudian dia berpindah ke ruang tengah. Perempuan tua berdaster kuning motif garis-garis terdiam sesaat. Dia sebetulnya terkejut melihat Marcellino datang karena sebelumnya tidak ada informasi tentang itu. Helga menenangkan diri, kemudian meneruskan langkah menuju kamar putri keduanya. Helga mengetuk pintu, lalu mencoba memutar gagangnya yang ternyata tidak dikunci. Jewel tengah duduk di pinggir tempat tidur. Dia menengadah untuk memandangi sang ibu yang perlahan mendekatinya. Helga duduk di sebelah kanan Jewel, kemudian memaksakan senyuman sambil menatap sang putri yang terlihat tegang. "Marcell ada di depan," ujar Helga. "Ya, Bu. Tadi aku lihat mobilnya," sahut Jewel. "Aku nggak nyangka dia bakal datang lebih cepat dari rencana awal," lanjutnya. "Temui dia. Kalau sudah siap, ceritakan semuanya." Jewel menggeleng. "Aku takut dia akan marah dan membatalkan rencana pernikahan kami." "Kalau itu yang terjadi, berarti dia tidak benar-benar mencintaimu." Helga memegangi lengan putrinya yang terlihat gelisah. "Ibu yakin, dia pria yang bijaksana. Dia pasti memahaminya, karena tahu jika kamu tidak bersalah," bebernya. Jewel tersenyum getir. "Tidak ada korban pemerkosaan yang tidak bersalah sedikit pun. Tetap ada salahnya. Terutama karena tidak berusaha melawan." "Kondisinya berbeda, Je. Banyak juga yang mencoba melawan, tetapi tetap jadi korban." "Itu bisa terjadi kalau pelakunya lebih dari satu, Bu. Berbeda denganku, yang begitu bodohnya mengiakan permintaan pria itu untuk jalan-jalan. Harusnya dari awal sudah ditolak dan nggak akan serumit ini." "Kamu tidak tahu jika akan menjadi korban." Jewel kembali menggeleng. "Ibu tahu? Mungkin yang pertama aku memang korban. Tapi yang selanjutnya, aku nggak yakin seratus persen." Helga terkesiap mendengar penuturan putrinya. Dia hendak mengucapkan kata-kata sanggahan, tetapi Jewel telanjur berdiri. Helga memperhatikan perempuan yang lebih muda merapikan rambutnya, sebelum Jewel mengayunkan tungkai keluar kamar. Helga memegangi dadanya yang terasa tidak nyaman. Dia menduga bila Jewel yang akan meminta semuanya dibatalkan. Helga memejamkan mata. Dia prihatin dengan nasib putrinya yang buruk. Marcellino menyunggingkan senyuman lebar kala menyaksikan perempuan kesayangan tengah mendekatinya. Pria berperawakan sedang segera berdiri, kemudian merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Jewel. Akan tetapi, perempuan berbibir penuh berhenti beberapa meter di depan. Jewel memandangi tunangannya sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Dia meneguk ludah untuk mendorong sesuatu yang mencekat di tenggorokannya. Jewel sangat ingin menghambur dan mendekap kekasihnya erat-erat. Namun, dia menekan dalam-dalam rasa itu karena merasa tidak pantas untuk mendapatkan pelukan. Jewel tiba-tiba merasa malu dan sangat kotor. Dia mundur beberapa langkah sambil menggeleng. "Je, kenapa?" tanya Marcellino yang bingung karena tunangannya menjauh. Jewel tidak menyahut karena tengah sibuk menahan hati yang sakit. Pelupuk matanya memanas seiring dengan kabut yang memenuhi netra. Perempuan berwajah mungil mengusap kasar ujung matanya ketika setitik bulir bening berhasil menerobos. "Je." Marcellino mendekat dan bergerak cepat memegangi kedua lengan Jewel yang terlambat menghindar. "Ada apa? Kenapa kamu nangis?" cecarnya sembari memandangi perempuan kesayangan yang akhirnya sesenggukan. "Ssshh, Sayang. Jangan nangis," bisik Marcellino sambil mendekap Jewel, meskipun perempuan tersebut memberontak. "Kamu nangis karena kangen aku, kan?" tanyanya sembari mengusap rambut sang kekasih. "Aku udah di sini. Stop nangisnya," imbuhnya. Selama beberapa saat suasana hening. Hanya isakan Jewel yang terdengar di ruangan luas. Selebihnya senyap. Marcellino terus membelai rambut hingga punggung Jewel. Meskipun dia bingung, tetapi Marcellino tetap menyabarkan diri untuk menunggu perempuan dalam dekapan mau menjelaskan penyebabnya menangis. Helga yang berada di ruang tengah, menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak turut keluar. Dia terharu dengan cara manis Marcellino menenangkan putrinya, dan sangat berharap hubungan mereka tetap berlanjut, walaupun Jewel sudah ternoda. Sekian menit berikutnya, Marcell dan Jewel telah duduk berdampingan di sofa hitam. Pria bermata sipit mendengarkan penuturan sang kekasih tentang kondisi Sebastian. "Kenapa bisa terkena serangan jantung?" desak Marcell. Jewel terdiam sejenak, kemudian berkata, "Itu karena ... Mas Trevor datang dan ... melamarku." Marcell mengerutkan keningnya. "Melamar gimana?" "Dia menginginkanku menjadi istrinya." Marcell tertegun, kemudian menggertakkan gigi. "Bagaimana mungkin dia berani melamarmu? Dia, kan, tahu kalau kita sudah bertungan!" "Dia sudah berkali-kali ngomong gitu. Dia juga ingin bertanggung jawab karena telah merampas kehormatanku." "Maksudnya, gimana?" Jewel menatap pria yang dicintainya lekat-lekat. Dia tahu tidak ada alasan lagi untuk menutupi cerita sebenarnya. "Dia menjebakku, lalu membawaku ke mansionnya dan memperkosaku," cicitnya. Marcell terpaku, kemudian mengumpat hingga menyebabkan Jewel menjengit. "Jelaskan, Je. Aku mau dengar semuanya!" Jewel mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian mendengkus pelan. Dia memulai dongeng panjang sinetron kehidupannya. Dimulai dari kedatangan Trevor ke kantor beberapa waktu lalu. Hingga saat dirinya terbangun di mansion pria tersebut dalam kondisi sudah tidak suci lagi. *** Seunit mobil MPV hitam melaju kencang melintasi jalan bebas hambatan pagi menjelang siang. Pengemudinya berusaha tetap tenang meskipun sebenarnya dia turut emosi seperti halnya sang penumpang di sebelah kiri. Charlie memaki Trevor dalam hati karena tidak terima dengan perbuatan pria itu pada Jewel yang merupakan sahabatnya sejak lama. Seperti halnya Marcellino, Charlie juga ingin menghajar sang CEO yang telah semena-mena pada Jewel. Sementara di kursi tengah, Arnold dan Rayner berusaha untuk tetap tenang sekaligus menenangkan Marcellino yang berpuluh kali mengumpat. Keduanya memahami jika Marcellino benar-benar marah pada rekan bisnisnya yang telah menodai tunangannya. Perjalanan puluhan kilometer terasa sangat lama bagi Marcellino. Dia ingin segera tiba di gedung Aryeswara Grup dan memukuli Trevor dengan tangannya sendiri. Pria berkulit kuning langsat tidak terima dengan perlakuan Trevor. Dia juga tidak takut bila nantinya kerjasama mereka akan batal seiring dengan rusaknya hubungan bisnis. Saat yang dinanti-nantikan Marcellino pun tiba. Sesampainya di tempat parkir depan gedung belasan lantai, pria berkemeja cokelat muda langsung turun dari mobil dan menghempaskan pintunya. Marcellino jalan tergesa-gesa menuju lobi utama. Dia tidak berhenti ketika disapa pegawai yang mengenalinya sebagai rekan bisnis sang bos. Marcellino memasuki lift yang diikuti ketiga rekannya. Keempatnya keluar di lantai sembilan dan langsung mendatangi Andien. Perempuan berambut pendek sangat terkejut menyaksikan ekspresi Marcellino. Namun, belum sempat Andien bertanya, sang tamu langsung menerobos masuk ke ruang kerja direktur utama. Tanpa banyak kata, Marcellino langsung menyambangi Trevor yang spontan berdiri saat melihatnya. Satu pukulan menghantam rahang Trevor yang membuatnya terhuyung-huyung. Kala Marcellino hendak menyerang kembali, sang pemilik ruangan spontan menepis, kemudian membalas dengan tendangan. Arnold dan Rayner hanya diam saat menyaksikan Charlie turun tangan untuk menghajar Trevor. Kedua saudara Jewel membiarkan perkelahian itu dan tidak berniat untuk melerai. Pekikan Andien memancing rasa penasaran karyawan lainnya. Mathias keluar dari ruang kerjanya yang berada di seberang. Dia memasuki ruangan bosnya, kemudian menarik Charlie agar menjauh dari Trevor. Levin dan Terren pun tiba. Namun, mereka tetap diam dan membiarkan perkelahian antara Marcellino serta Trevor terus berlanjut. Charlie yang masih emosi, hendak memukuli Mathias. Namun, kemudian ditahannya karena ditarik Arnold. Kedua lelaki dengan postur badan berbeda masih melanjutkan pertarungan. Walaupun Trevor lebih tinggi dari Marcellino, tetapi dia kewalahan menghadapi gerakan gesit dan bertenaga lawannya. Trevor tidak menduga jika tenaga Marcellino sangat kuat. Dia tahu tidak mungkin terus bertahan dan harus melakukan serangan sebelum dikalahkan. Namun, rencana Trevor tidak bisa dilaksanakan. Marcellino menyerang bertubi-tubi dengan gerakan karate yang sangat bagus. Dia berhasil menyarangkan tinjuan kemudian disertai tendangan, tepat di perut Trevor yang seketika terlempar menabrak lemari kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD