Pelit

1235 Words
10 Wajah cantik Jewel seketika berubah masam kala menyaksikan tiga pria yang sama-sama mengenakan kemeja putih, jalan menyambangi dirinya yang tengah duduk di bangku panjang depan ruang ICU. Rayner yang mendampingi Jewel, melirik tajam pada lelaki yang jalan paling depan. Dia mengangkat tangan kanan untuk melingkari pundak Jewel. Rayner sengaja melakukan itu untuk menunjukkan perlindungannya pada Kakak kedua. "Mau apa Mas ke sini?" ketus Jewel, saat Trevor menyalaminya dan Rayner. "Menjenguk ayahmu," sahut pria berbadan tinggi sembari berpindah duduk di kursi seberang bersama kedua saudaranya. "Tidak perlu!" "Bagi saya perlu, karena saya masih menunggu keputusan beliau atas lamaran saya." "Jawabannya jelas tidak!" "Hanya ayahmu yang berhak memutuskan." "Aku nggak mau!" "Mau atau tidak, kamu pasti akan jadi istri saya." "Bisa kupastikan, tidak!" "Dan saya bisa memastikan itu akan terjadi, Jewel. Terutama, karena bisa saja saat ini kamu telah mengandung anak saya." Jewel mengumpat, kemudian mengambil sandal dari kaki kanan dan melemparkan benda itu pada Trevor. Pria beralis tebal dengan sigap menangkap sandal, kemudian melemparkannya ke belakang. Jewel membeliakkan mata. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak marah. Perempuan berhidung mancung hendak berdiri, tetapi bahunya ditekan Rayner hingga Jewel terpaksa duduk kembali. "Abaikan saja dia," bisik Rayner. "Orangnya depan mata. Gimana nyuekinnya?" tanya Jewel. "Jangan dipandangin. Pura-pura dia nggak ada." "Segede gitu, Ray. Tetap kelihatan." "Kakak mandangin aku aja." "Bosan. Dari kamu baru lahir aku udah melototin kamu." "Aku dari dulu udah ganteng pasti." Jewel mengangkat alisnya, kemudian mengalihkan pandangan ke kanan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, dan langsung memandangi pria berambut tebal yang balas menatapnya lekat-lekat. "Kembalikan ponselku," pinta Jewel. "Sepertinya, saya lupa membawanya," sahut Trevor dengan santai. "Apa?" "Ada di kamar saya." "Aku tidak mau tahu. Kembalikan!" "Kamu dari tadi teriak-teriak. Sadar nggak kalau ini rumah sakit?" Jewel mengerjap-ngerjapkan mata. Dia tidak menduga jika Trevor bisa membalas perkataannya dengan sangat telak. Jewel memperhatikan sekeliling dan seketika merasa malu karena dirinya menjadi pusat perhatian para penunggu pasien. "Begini saja. Sekarang kita ke mal. Saya belikan kamu hape tipe yang sama dengan yang lama," pujuk Trevor. Dia memutuskan mengubah taktik dengan bersikap lebih lembut. Jewel memaksa otaknya bekerja keras. Pada satu sisi dia gengsi untuk menerima pemberian Trevor. Namun, di sisi lain dia membutuhkan ponsel agar bisa berkomunikasi. "So?" Trevor mengamati perempuan yang anehnya tetap terlihat cantik meskipun sedang merengut. "Ehm, oke," balas Jewel. Dia menggeser badan mendekati sang adik, kemudian bertutur, "Kamu ikut, Ray. Aku tidak memercayainya." Rayner tidak menyahut dan hanya mengangguk. Pria berkaus hijau tua berdiri sembari memegangi lengan kakaknya. Trevor, Terren dan Levin serentak berdiri. Mereka saling menatap, sebelum Jewel meminta sandalnya diambilkan. Ketiga pria bersaudara saling melirik, sebelum serentak mengacungkan tangan kanan ke tengah-tengah. Jewel dan Rayner terperangah kala para pria gagah di hadapan mereka melakukan adu suit. Levin dan Terren spontan terkekeh kala Trevor kalah seusai tiga kali suit. Pria yang badannya paling tinggi, mengembangkan kedua tangan untuk mendorong adik-adiknya. Trevor memutari bangku, kemudian celingukan mencari benda yang dilemparkannya tadi. Jewel memelototi ketika lelaki beralis tebal mengulurkan sandalnya yang sedikit kotor di bagian depan. Dia memaksa sang CEO membersihkan sandal yang terpaksa dikerjakan Trevor agar tidak makin ditertawakan Terren dan Levin. Rayner mengulum senyum menyaksikan hal itu. Dia tidak menduga bila pria yang memiliki aura penguasa, mengalah pada kakaknya. Setelah Jewel mengenakan sandal bersih, Rayner menggandeng sang kakak agar segera melangkah menuju tempat parkir. "Belikan dia ponsel keluaran terbaru, Mas," ucap Levin dengan suara pelan agar tidak terdengar kedua bersaudara yang jalan di depan. "Tidak. Dia harus tahu, saya tidak akan memanjakannya dengan barang-barang mewah," tolak Trevor sembari jalan seirama dengan kedua adiknya. "Susah kalau begitu. Dia pasti mikir kalau Mas pelit," sela Terren. "Saya ingin dia menyukai saya apa adanya. Bukan memuja harta," ungkap Trevor. "Tapi, karena kasusnya berbeda, kupikir Mas harus melimpahinya dengan materi," tukas Terren. "Aku setuju. Dengan begitu dia bisa melupakan tunangannya itu," tambah Levin. "Yoih. Kalau nggak gerak cepat, dia pasti masih mengingat pria itu," papar Terren. "Hu um. Boro-boro bakal berpaling ke Mas. Dia mungkin tetap cinta sama yang itu." "Mas gigit jari karena batal nikah." "Tambah diomelin Mama saat pulang nanti." "Plus diceramahi Papa." "Belum lagi kalau orang tuaku turun tangan." "Terus, orang tua Mas Ben juga nongol." "Habis udah dimarahin!" Kedua pria yang usianya sama, serentak mengaduh kala Trevor menjitak kepala mereka. Levin membalas dengan meninju lengan kiri Kakak sepupunya. Sementara Terren menyentil telinga kanan Trevor yang langsung mengepit lehernya dengan kuat. Gelakak Levin yang menyaksikan penyiksaan Trevor pada adiknya, menjadikan semua orang memandanginya. Termasuk Jewel dan Rayner yang refleks berbalik. *** Dua pria bercelana jin hitam turun dari taksi. Mereka mengayunkan tungkai melintasi jalanan sekitar bandara Sydney sambil menyeret koper masing-masing. Suasana sekitar yang ramai tidak menyurutkan langkah keduanya yang begitu senang bisa pulang ke negara asal. Pekerjaan yang dikebut akhirnya tuntas dilaksanakan kemarin malam sesuai prediksi Marcellino. Pria bermata sipit memaksakan diri bergadang dua malam berturut-turut agar bisa menuntaskan semua tugasnya. Sudut bibir Marcellino terangkat mengukir senyuman saat membayangkan ekspresi tunangannya, jika mereka bertemu nanti. Marcellino sudah meminta Charlie memesan mobil yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan, setibanya di Jakarta nanti. Marcellino ingin langsung menemui Jewel yang diyakininya berada di Bandung. Hal itu diinfokan Rainy yang berhasil menemui Febiola, sahabat Jewel yang telah dihubungi perempuan kesayangan Marcellino melalui ponsel Rayner. Marcellino tidak mau menelepon calon Adik iparnya karena ingin memberikan kejutan buat Jewel. Pria berbibir tipis benar-benar ingin segera tiba di kota asalnya. Rasa rindu yang meluap-luap menjadikan Marcellino tidak sabar untuk segera berangkat. "Harusnya kamu pesan tiket pesawat yang pagi," ujar Marcellino, sesaat setelah mengamati jadwal keberangkatan pesawat di layar besar. "Aku nggak yakin kamu bisa bangun tepat waktu," balas Charlie sembari menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sesuatu. "Tinggal kamu bangunkan aja." "Kamu itu tidurnya kayak orang mati. Gempa aja kamu nggak bangun." "Masa?" "Stop berdebat. Aku mau beli kopi." "Aku mau teh manis." "Ada lagi?" "Cinnamon roll." "Oke." Charlie melenggang menuju toko di deretan sebelah kiri. Marcellino mengambil ponselnya yang bergetar dari saku dalam jaketnya. Pria berkulit kuning langsat spontan mengeluh kala menyaksikan nama orang yang tengah menanti panggilannya diangkat. Marcellino menggerak-gerakkan bibirnya, sebelum menekan tanda hijau pada layar ponsel. Dia menempelkan benda itu ke telinga kiri dan menyapa rekan bisnisnya dengan santai. "Kamu di mana?" tanya Tiffany tanpa membalas sapaan Marcellino. "Bandara," sahut lelaki berparas manis sembari memindai sekitar. "Mau ke mana?" "Pulang." "Kenapa tidak memberitahuku?" Marcellino terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Aku pikir tidak perlu melaporkan apa pun padamu." Tiffany tertegun. Dia mengerjap-ngerjapkan mata sembari membayangkan tengah berhadapan dengan pria yang sedang bercakap-cakap dengannya. "Apa ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Marcellino. "Ehm, tidak jadi," sahut Tiffany. "Selamat jalan dan hati-hati," lanjutnya. "Terima kasih." Tiffany langsung menutup sambungan telepon tanpa membalas ucapan Marcellino. Perempuan berambut sebahu meletakkan ponsel ke meja. Kemudian dia berdiri dan jalan menuju balkon lantai dua kediaman orang tuanya. Langit siang Kota Sydney terlihat begitu indah. Berbanding terbalik dengan suasana hati perempuan bermanik mata hazel yang tengah gundah. Dia teringat pembicaraan yang dilakukan sang papa dengan sahabatnya yang merupakan pengusaha asal Indonesia. Tiffany memejamkan mata, kemudian menghela napas kasar. Dia menggeleng cepat untuk mengusir ingatan akan percakapan kedua pria tua kemarin malam. Di mana Francisco dan rekannya sepakat untuk mendekatkan anak mereka. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan mendekat. Tiffany membuka mata untuk memperhatikan sebuah mobil sedan abu-abu yang tengah bergerak memasuki pekarangan. Tiffany mengeluh dalam hati ketika menyadari bila itu adalah kendaraan yang sama dengan yang datang kemarin. Dia spontan berdecih saat mendengar panggilan sang mama yang memintanya turun untuk menemui tamu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD