09
Raut wajah tegang terlihat di sepanjang koridor depan ruang ICU tempat Sebastian dirawat. Lelaki tua terkena serangan jantung akibat syok. Jewel mendampingi ayahnya sembari terisak-isak di dekat Helga. Sementara Rayner berada di lorong dan tengah sibuk berbalas pesan dengan Gladys, Kakak tertuanya yang tinggal di Bali.
Parmi dan Djatmiko, suaminya, telah datang beberapa saat lalu. Mereka membawakan pakaian serta berbagai perlengkapan untuk penunggu pasien. Pasangan tersebut duduk berdampingan di sebelah kanan Rayner. Sekalipun tidak terlalu memahami apa yang terjadi, tetapi Parmi menduga bila kehadiran kelima pria di kursi seberang merupakan penyebab bosnya sakit.
Rayner yang baru selesai berbalas kata dengan Gladys, menyandar ke belakang sembari memijat dahinya yang terasa penuh. Pria bertubuh tinggi menghentikan gerakan tangan, kemudian memandangi Trevor dengan tajam.
Rayner berusaha menenangkan diri sambil mengingat-ingat arahan Gladys. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, pria muda berhidung mancung diharapkan mampu menjadi pelindung keluarga. Masalah pelik yang menimpa Jewel menjadikan Rayner harus bergerak cepat mengatasinya demi kemaslahatan bersama.
"Bisa kita bicara?" tanya Rayner tanpa kata-kata pembuka.
Trevor menegakkan tubuh. "Ya," sahutnya.
Pria berkaus putih berdiri dan jalan ke ujung koridor. Trevor bangkit dan menyusul lelaki muda yang terlihat tegang. Mereka berhenti di dekat belokan, kemudian duduk dengan jarak satu meter di bangku panjang.
"Ceritakan padaku, dari awal sampai akhir. Jangan ada yang ditutup-tutupi, karena aku harus menjelaskan hal ini pada Ibu dan Kakak tertua," tukas Rayner tanpa menoleh ke kanan.
"Seperti yang tadi saya ceritakan. Saya dan Jewel menjalin hubungan selama beberapa minggu terakhir. Dan, tiga hari ini kami tinggal bersama di mansion saya," terang Trevor dengan santai.
"Kak Je bilang, kamu memperkosanya!"
"Itu di luar kendali saya. Kami sama-sama mabuk dan melakukannya secara tidak sadar."
"Aku kenal Kak Je. Dia tidak pernah mabuk atau mengonsumsi minuman keras!"
"Saya akui itu kesalahan saya. Waktu itu saya memintanya mencicipi minuman saya, dan ternyata Jewel langsung mabuk meskipun hanya sedikit kandungan alkoholnya."
Rayner mendelik. "Kamu memang sengaja menjebaknya!"
Trevor tidak menyahut. Dia bisa merasakan kemarahan lelaki muda berkulit kecokelatan. Namun, pria berkemeja biru tua sama sekali tidak terintimidasi. Trevor tetap tenang dan berusaha mempertahankan cerita hasil idenya yang sebenarnya berbeda dari aslinya.
"Saya mencintai Jewel. Karena itu saya datang untuk melamarnya," cakap Trevor.
"Kakak sudah bertunangan dengan Mas Marcell," jawab Rayner. "Akan sulit bagi kami untuk menerangkan alasan pembatalan, bila nantinya Ayah menyetujui permintaanmu," lanjutnya.
"Biar saya yang menjelaskan pada Marcell."
Rayner mengangkat alisnya. "Kalau penjelasanmu dengan menjelek-jelekkan kakakku, bisa kupastikan keluarga tidak akan menerima lamaranmu!"
Trevor menggeleng. "Saya tidak akan menjelaskan detail. Tenang saja."
"Bagaimana aku bisa tenang? Kamu tiba-tiba datang hampir tengah malam. Lalu mengatakan telah menghabiskan waktu di ranjang dengan kakakku!"
"Saya tidak akan mengatakan tentang itu pada Marcell. Saya yang telah menodai Jewel, jadi saya yang harus menutupi rahasianya. Apalagi itu menyangkut kepentingan pribadi."
"Teman-temanmu sudah tahu!"
"Mereka bisa dipercaya untuk menutup mulut."
"Aku nggak yakin!"
"Kamu boleh tidak percaya, tapi kami sudah bersahabat lama. Begitu pula dengan Terren dan Levin. Mereka saudara saya dan bisa diandalkan untuk menyimpan rahasia ini."
Rayner memijat pangkal dahinya. "Kedatanganmu membuatku pusing. Kacau semuanya."
"Mohon maaf. Saya memang salah."
***
Suara orang berbincang membangunkan Jewel pagi itu. Perempuan berhidung mancung mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan sinar lampu yang menyorot. Dia bangkit dengan bertumpu pada kedua siku, kemudian duduk sembari memindai sekitar.
Helga tengah berbincang dengan seorang pria berkacamata yang mengenakan jas putih panjang. Jewel menduga jika lelaki tersebut adalah dokter yang menangani ayahnya.
Setelah pria bercelana hitam berlalu bersama kedua perawat, Jewel berdiri dan beranjak untuk mengambil tas hitam yang diletakkan di bawah ranjang. Perempuan yang rambutnya acak-acakan tertegun menyaksikan isi tas. Dia bingung karena isinya berganti dengan berbagai pakaian yang disediakan Trevor di mansionnya.
Jewel meyakini bila dia hanya memasukkan gaun hitam dan pakaian dalam miliknya. Sekian detik berikutnya barulah Jewel sadar bila tas itu telah ditukar, dan kemungkinan besar Trevor-lah pelakunya.
"Bu, siapa yang membawakan tas ini?" tanya Jewel sembari menunjuk benda yang dimaksud.
"Cowok itu. Dia bilang, itu barang-barangmu," sahut Helga.
"Cowok yang mana?"
"Yang ... ehm ...."
"Tinggi gede?"
"Ya."
Jewel mendengkus. Dia kesal karena Trevor kembali memaksakan kehendak agar dirinya menggunakan benda-benda pemberian sang CEO. Namun, Jewel tidak punya pilihan. Mau tidak mau dia harus memakai pakaian di tas. Sebab tidak mungkin dia mengenakan baju Ibu ataupun adiknya.
"Kak, kamu bisa mandi di ruang perawatan. Ray sudah dapat kamar tadi," tutur Helga sembari memandangi putri keduanya yang terlihat sedikit lebih kurus.
"Di mana?" tanya Jewel sembari mengikat rambutnya tinggi-tinggi.
"Dari sini, belok kiri. Jalan lurus, bangunan ketiga. Kelas utama. Kalau tidak salah, kamar nomor lima."
"Kapan Ayah akan dipindahkan ke sana?"
"Siang ini. Kondisinya sudah stabil, kata dokter. Untungnya kemarin hanya serangan jantung ringan."
Jewel mengangguk paham. Dia menarik tas, lalu berdiri. "Handuk dan peralatan mandi, ada di mana?" tanyanya.
"Sudah ada di sana. Barang-barang Ibu juga sudah dipindahkan Ray."
Sekian menit berikutnya, Jewel telah berada di ruang perawatan. Rayner tengah berbaring di sofa sembari membaca pesan dari asistennya di restoran milik keluarga Narapati. Sebab Gladys dan Jewel memiliki usaha sendiri, Rayner menjadi satu-satunya penanggung jawab usaha yang dibangun Sebastian puluhan tahun silam.
Pria bermata tidak terlalu besar mengamati sang kakak yang tengah mengemasi barang-barangnya. Rainer menahan diri untuk bertanya. Dia akan menunggu suasana terkendali dan kondisi Jewel lebih tenang.
Rayner mengingat-ingat sesuatu, kemudian mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Gladys. Kala Kakak tertua membalas, Rayner memutuskan untuk menelepon agar bisa berbicara langsung dengan Ibu beranak satu tersebut.
Sementara itu di tempat berbeda, Trevor baru selesai sarapan. Pria berkemeja putih pas badan memeriksa email kiriman Andien, sebelum mengecek pesan-pesan pribadi dan berbagai grup.
Trevor berdecih ketika melihat pesan dari mamanya yang menggunakan tanda seru banyak. Pria bertubuh gagah selalu menghindari percekcokan dengan perempuan yang telah melahirkannya tiga puluh tiga tahun silam. Selain karena enggan berdebat, Trevor juga sangat menyayangi Laksita Sundari.
Kala ponselnya berdering dan nama sang mama yang terpampang pada layarnya, Trevor mengeluh dalam hati. Dia tahu tidak bisa menghindari percakapan karena Laksita akan terus menelepon hingga panggilannya diangkat.
"Pagi, Ma," sapa Trevor sambil melembut-lembutkan suaranya.
"Mas, ada di mana?" tanya Laksita tanpa membalas sapaan putra tertuanya.
"Di Bandung."
"Sedang apa?"
"Berlibur."
"Yang betul?"
"Ya, Mi."
"Kata Mbak Ursula, Ben bilang Mas lagi mendatangi orang tua calon istri. Apakah itu benar?"
Trevor meringis sambil mengumpati Kakak sepupunya dalam hati. "Ehm, ya. Itu benar," sahutnya.
"Kenapa tidak memperkenalkannya pada Mama dan Papa dulu? Mas tahu, itu kurang sopan. Seolah-olah Mas melangkahi kami. Potong jalur langsung menghadap ke orang tuanya. Mas anggap kami apa?"
Trevor mengusap wajah dengan tangan kiri. Dia tidak bisa membantah ucapan Laksita karena nantinya perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu akan makin mengomel.
"Maaf, Ma. Saya cuma ingin menunjukkan keseriusan, karena dia meragukan jika saya hendak menjadikannya istri," ungkap Trevor.
"Siapa namanya? Apa Mama kenal? Usia berapa? Pekerjaannya apa? Tinggal di mana? Orang tuanya siapa? Agamanya, apakah sama dengan kita?"
Trevor mengerjap-ngerjapkan mata sebelum memejamkannya sesaat. Pria berambut tebal menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Pertanyaan bertubi-tubi yang dilancarkan sang mama menyebabkannya harus menyabarkan diri agar tidak menaikkan nada suara.
Bila pada orang lain Trevor tidak segan-segan mengeluarkan suara tegas dan mengintimidasi, hal itu tidak bisa dilakukannya pada Laksita. Seperti halnya Peter dan Terren, Trevor pasti akan kalah pada ratu rumah tangga.
"Mas, kamu dengar pertanyaan Mama?" desak Laksita dengan suara yang naik satu oktaf.
"Ehm, ya," balas Trevor.
"Lalu, jawabannya apa?"
"Tunggu saya pulang. Nanti saya jelaskan semuanya."