06
Langit malam Kota Sydney begitu indah. Jutaan bintang memamerkan keelokan masing-masing untuk menemani rembulan yang mengeluarkan separuh bentuknya. Angin bertiup cukup kencang menjadikan udara menjadi sejuk. Banyak orang memutuskan keluar rumah untuk menghabiskan waktu bersama keluarga ataupun rekan-rekannya.
Marcellino baru selesai mengerjakan laporan ketika menyadari bila waktu sudah menunjukkan pukul 7. Perut yang memberontak membuatnya menghentikan aktivitas dan segera meminta Charlie memesankan makanan buat mereka berdua.
Tiga puluh menit berikutnya, pesanan telah tiba. Marcellino seakan-akan kalap dan menyantap bagiannya dengan cepat hingga membuat Charlie keheranan. Selama ini dia tahu bila bos sekaligus sahabatnya sangat lamban dalam menikmati makanan. Hal yang sering menjadi bahan bercandaan mereka, terutama bila tengah berkumpul bersama teman-teman akrab.
"Char, pesenin menu lain dong," pinta Marcellino.
"Kamu kesambet? Makan segitu banyak tapi masih nggak kenyang?" tanya sang asisten sembari membulatkan mata.
"Udah, jangan ngoceh. Pokoknya pesenin. Aku mau mandi dulu." Marcellino berdiri dan jalan memasuki kamar mandi yang berada di sudut kiri ruangan.
Charlie segera mengerjakan permintaan Marcellino, meskipun sedikit bingung dengan tingkah bosnya. Kala pria bermata sipit kembali beberapa belas menit kemudian dengan pakaian rapi, Charlie mendorong pesanan tambahan ke bagian meja sang bos kemudian dia berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Marcellino.
"Mau mandilah," sahut Charlie.
"Biasanya juga males mandi."
Charlie cengengesan. "Habis ini kan kita mau ke kelab. Jadi aku harus tampil rapi dan wangi."
"Kelab? Emangnya ada acara apa?"
"Yaelah, dia lupa. Hari ini acara ulang tahun Tiffany!"
Marcellino seketika menepuk dahi. Pria bermata sipit sebenarnya enggan untuk berkunjung ke tempat hiburan. Namun, kali itu dia terpaksa datang demi persahabatan dan jalinan kerjasama.
Tiffany Smith, adalah putri dari Francisco Smith, pengusaha rekanan perusahaan. Tiffany dan keluarganya sangat baik pada Marcellino dan Charlie. Ayahnya Tiffany juga sering mengundang kedua pria tersebut ke tempat peristirahatan keluarga bila tiba waktu penghujung minggu.
Empat puluh menit berlalu, Marcellino sudah duduk rapi di samping Charlie yang mengemudi sambil bernyanyi dengan nada berkejar-kejaran. Marcellino hanya bisa pasrah ketika sahabatnya tampak sangat menghayati lagu dan menaikkan volume suaranya yang merusak telinga.
Setibanya di tempat tujuan, suasana kelab sudah sangat ramai. Tempat itu sudah disewa Tiffany dan pengunjung yang hadir pun semuanya adalah tamu undangan. Marcellino menghela napas berat dan melepaskannya sekali waktu. Dia menguatkan telinga karena suara dentuman musik dari dalam terdengar kencang hingga ke luar.
"Kita nggak bawa kado," papar Marcellino saat melangkah bersama Charlie memasuki ruangan yang tidak terlalu terang.
"Ada nih, tenang aja," timpal Charlie sambil menepuk-nepuk saku jaketnya.
Marcellino mengangguk, merasa tenang karena masalah kado sudah terselesaikan. Dia akan malu bila datang tanpa membawa hadiah. Terutama karena tidak enak hati pada Tiffany.
"Tapi kalau kamu mau ngasih hadiah tambahan, aku yakin Tiffany nggak bakal nolak," tukas Charlie.
"Maksudnya?" Marcellino mengernyitkan dahi. Dia bingung dengan arah pembicaraan sahabatnya.
"Tidur dengannya."
"Ngaco!"
"Aku tau dia naksir sama kamu, Mar."
"Aku sudah punya Jewel di sini." Marcellino menepuk dadanya. "Ini juga punya Jewel," sambungnya sambil menunjuk bagian bawah tubuh yang membuat Charlie seketika tertawa.
"Jewel nggak bakalan tau kalau yang itu udah kelayapan ke mana-mana," seloroh Charlie di sela-sela tawa.
"Vangke! Nyesel aku temenan sama manusia sesat kayak kamu!"
Tawa Charlie makin mengencang dan memancing rasa ingin tahu pengunjung lainnya yang berada di dekat mereka. Marcellino menyunggingkan senyuman sembari mengangkat tangan kanan, berharap hal itu bisa membuat orang-orang tersebut tidak lagi penasaran.
Seorang perempuan bergaun merah dengan potongan seksi jalan mendekat. Secarik senyuman lebar terbingkai di wajah Tiffany yang cantik. Perpaduan wajah antara papanya yang merupakan orang Australia asli serta sang mama yang merupakan orang Indonesia, menjadikan keelokan parasnya sangat unik dari kebanyakan perempuan di tempat tersebut. Warna kulit yang tidak terlalu putih ditunjang dengan postur tubuh cukup tinggi, membuat sosok Tiffany nyaris sempurna sebagai seorang perempuan.
"Hai, Tampan," sapa Tiffany sambil melakukan adegan cium pipi kanan dan kiri pada Marcellino. "Kamu telat!" sungutnya.
"Sorry. Tadi nunggu Charlie berlulur. Jadinya lama," sahut Marcellino.
Tiffany menyunggingkan senyuman. "Ayo, ikut aku."
"Ke mana?"
Perempuan berambut ikal panjang menunjuk meja paling depan. "Dampingi aku malam ini," pintanya sembari menatap lelaki berkemeja biru tua pas badan dengan saksama. "After that, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," desahnya yang menyebabkan tubuh Marcellino berubah tegang.
***
Setetes bulir bening luruh dari sepasang mata bermanik cokelat milik Jewel. Dia begitu merindukan Marcellino dan sangat ingin bertemu dengan tunangannya. Perempuan berbibir penuh sudah tahu, Marcellino pasti akan marah bila mengetahui bila dirinya telah ternoda. Namun, Jewel tetap harus menjelaskan hal itu secara langsung pada sang kekasih.
Ucapan pria bertubuh gagah di luar kamar masih terngiang di telinga Jewel. Dia mensugesti diri bila Marcellino akan memaafkan dan tetap menikahinya sesuai rencana. Dia juga yakin jika Trevor hanya ingin menakut-nakuti dan menjatuhkan harga dirinya.
Jewel memaksa otaknya berputar cepat. Dia menyusun strategi agar bisa keluar dari penjara mewah dan kabur sejauh-jauhnya dari Trevor. Jewel menyadari bila dirinya harus mengeluarkan kemampuan berakting agar bisa mengelabui sang CEO.
Siang itu, Jewel keluar dari kamar saat mencium aroma harum. Dia menyambangi lelaki berkaus hitam yang mengenakan celemek cokelat. Jewel mengamati wajan yang tengah diaduk-aduk koki berpunggung lebar.
"Apa itu?" tanya Jewel tanpa bisa menahan rasa penasarannya.
"Chicken with mushroom," jawab Trevor tanpa menoleh.
"Kalau yang itu?" Jewel menunjuk wajan kedua.
"Tumis brokoli."
"Aku nggak suka."
"Tidak ada sayur lainnya di kulkas. Stok habis."
Jewel spontan tersenyum saat sebuah ide melintas dalam benaknya. "Mungkin kita harus berbelanja."
Trevor melirik sekilas, kemudian menyahut, "Saya tahu apa yang ada di pikiranmu."
"Maksudnya?"
"Kita keluar dan kamu akan kabur."
Jewel spontan merengut. "Ya, dan lebih bagus lagi kalau Mas melepaskanku!"
"Belum tiba saatnya."
"Aku mau pulang!"
"Akan saya antarkan, tapi tidak sekarang."
"Nggak mau tahu. Keluarkan aku!"
"Bisa tidak ngomongnya jangan teriak-teriak? Telinga saya sensitif."
Jewel mendengkus, kemudian memukuli lengan Trevor yang spontan menangkap pergelangan tangan perempuan berhidung mancung. Keduanya saling menatap dengan tajam. Tidak ada satu pun yang mengucapkan kata-kata hingga suasana terasa tegang.
"Bersabar sedikit lagi. Saya akan mengantarkanmu pulang," tutur Trevor sembari melepaskan tangannya. "Jangan memancing emosi saya, Jewel. Kamu harus tenang dan santai," lanjutnya.
"Bagaimana aku bisa santai? Mas udah nyulik dan memper ...." Jewel menjengit kala bibirnya dibungkam dengan serbet.
Trevor mendelik, kemudian mematikan kompor. "Saya tidak berniat menculikmu. Tapi saya memang ingin memilikimu." Dia mengubah posisi badan hingga berhadapan dengan perempuan berhidung mancung yang telah melemparkan serbet ke lantai. "Dan saya akan mempertanggungjawabkan semuanya," imbuhnya.
"Aku tidak butuh tanggung jawab pria b***t!" geram Jewel.
"Ow, bertambah lagi julukan saya. Kemarin kamu bilang saya b******k dan jahat. Sekarang tambah b***t. Berarti sebentar lagi kamu akan menambah kata sayang buat saya."
"Ngimpi!"
"Yes, i dreamed of that." Trevor mengulaskan senyuman miring. "Actually, saya sebenarnya lebih senang kalau kamu menyematkan panggilan tampan, seksi dan hot buat saya," ungkapnya.
"Nu burung!"
"Hmm."
"b******n!"
"Yeah. Ada lagi?"
"Aku benci!"
"Ehm, katakan itu saat saya membuatmu menggelinjang berkali-kali."