Kenapa Nggak Pakai Baju?

1063 Words
05 Seorang pria berambut klimis mengerutkan dahi saat tidak bisa menghubungi kekasihnya. Dia sudah mencoba puluhan kali semenjak kemarin malam, tetap tidak tersambung. Selain itu, belasan pesan yang dikirimkannya juga hanya centang satu abu-abu. Lelaki berperawakan sedang mendengkus cepat. Dia mengkhawatirkan kondisi Jewel dan benar-benar merindukan perempuan tersebut. Marcellino Sanjaya meletakkan ponsel ke meja, kemudian menyatukan kedua tangan ke atas. Dia menempelkan dahi ke punggung tangan sambil memejamkan mata. Otaknya berputar cepat mencari solusi agar bisa mengetahui kabar calon istri. Marcell, panggilan akrab pria berusia dua puluh delapan tahun mengomeli diri karena lupa menyimpan nomor telepon Febiola ataupun teman-teman Jewel. Dia tidak mau menghubungi orang tua sang kekasih, karena takut mereka juga akan kepikiran jika anak gadis mereka tidak pulang ke Bandung. Marcell berpikir keras, lalu mengambil ponsel kembali untuk menelepon sahabat sekaligus asistennya. Tidak berselang lama Charlie Jayawarsa datang sambil membawa tas kertas berisi makanan buat mereka. Pria berkumis tipis meletakkan tas ke meja makan bulat, kemudian mendatangi bosnya yang telah berpindah ke dekat jendela. "Aku udah minta tolong Rainy. Moga-moga dia bisa nyari info tentang Jewel," tutur Charlie. "Bilang ke dia, kalau berhasil kubeliin pulsa," seloroh Marcell. "Jangan dijanjiin apa-apa. Kamu bakal ditagih terus. Padahal udah lewat beberapa tahun." Marcell mengulaskan senyuman. "Adikmu itu unik." "Sekaligus rese. Tiap minggu merengek supaya aku pulang." "Kakaknya cuma kamu. Dia jadi kesepian di rumah kalau orang tua lagi sibuk." "Kadang kupikir dia itu kayak keponakan. Beda usia denganku padahal sepuluh tahun, tapi manjanya nggak ketulungan." "Udah punya pacar belum, sih?" "Ngakunya sih belum. Walaupun pas terakhir kita pulang itu, ada cowok yang ngapel ke rumah." "Seusia dia dulu pacarku udah banyak." "Kamu, kan, memang playboy. Enggak kayak aku. Tipe setia." "Setia dari mana? Tiap minggu ganti teman kencan." "Setianya cuma lima hari. Selanjutnya cari lagi." Keduanya serentak terkekeh. Mereka baru berhenti tertawa saat mendengar bunyi ponsel Charlie. Dia mengambil benda itu dari saku celana jin hitam, kemudian menggeser tanda hijau pada layar untuk menjawab panggilan dari sang adik. Selama beberapa saat berikutnya, Marcell turut mendengarkan percakapan kedua bersaudara, setelah volume ponsel dibesarkan Charlie agar sahabatnya bisa ikut berbincang. Namun, Marcell tetap diam dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Raut wajahnya berubah serius kala Rainy memastikan bila Jewel tidak berada di apartemen ataupun kantornya yang terletak tidak terlalu jauh dari kediaman orang tua Charlie. Setelah sambungan telepon diputus Rainy, Charlie memandangi sahabatnya yang tengah termangu menatap langit malam nan indah. Charlie merangkul pundak Marcell, kemudian mengajaknya untuk makan. "Aku mau pulang," tutur Marcell, sesaat setelah duduk di kursi dekat meja makan. "Kapan?" tanya Charlie sambil memindahkan sebagian potongan daging ke piring rekannya. "Besok malam, atau lusa." "Kamu pikir ini jaraknya Jakarta dan Bandung?" "Ehm, terus gimana?" "Paling cepat pulangnya minggu depan." Marcell mendengkus cepat, kemudian bertutur, "Ya, udah. Gitu aja." "Oke, nanti kupesankan tiket." "Kamu bisa minta tolong Brad atau Stephen kalau keteteran di sini." "Aku juga mau pulang, dong. Kantor tutup aja. Tempel kertas, kita mudik dan baru open lagi bulan depan." "Dasar sableng!" Sementara itu di Indonesia yang perbedaan waktunya lebih lambat beberapa jam dari Australia, Jewel terjaga dari tidurnya. Dia melirik jendela di mana lembayung senja menghiasi cakrawala. Jewel menggeliat sesaat sebelum bangkit dan beringsut ke pinggir ranjang. Tidak berselang lama perempuan berambut panjang telah berada di kamar mandi. Dia menggosok kulit kuat-kuat sambil berharap hal itu bisa mengikis nodanya. Air mata kembali luruh dari sepasang mata beriris cokelat muda milik Jewel. Dia menyesal telah mengikuti ajakan Trevor yang berakhir memilukan buatnya. Kala Jewel keluar kamar mandi, dia celingukan mencari sang penculik, sebelum jalan cepat memasuki kamarnya. Pekikan Jewel teredam bekapan tangan seseorang dari belakang. Perempuan tersebut berusaha memberontak, tetapi dekapan lelaki yang bisa dipastikan adalah Trevor, justru kian kencang. Jewel terkejut ketika badannya diangkat dan dihempaskan ke kasur. Dia kembali melawan ketika Trevor hendak membuka handuknya. Jeritan Jewel bergema di ruangan yang tidak terlalu luas. Namun, tidak ada yang mendengar pekikan itu karena seluruh area mansion dirancang kedap suara. Jewel menangis saat Trevor memaksa menciuminya. Dia sudah tidak bisa menghindar ketika sang lelaki kembali memasuki dirinya dengan entakan kuat. Jewel memejamkan mata dan memalingkan wajahnya ke kiri. Namun, Trevor memaksanya menghadap depan dan kembali menciuminya dengan rakus. Jewel memaki diri ketika tubuhnya berkhianat. Alih-alih terus memberontak, badannya justru merespons gempuran Trevor dengan mengimbangi gerakan sang pria. Jewel merasakan usapan lembut di wajahnya seiring dengan kenikmatan yang membuatnya terlena. Jeritan protes berganti dengan desahan yang makin lama makin mengencang. Jewel mencengkeram lengan Trevor kala sesuatu terlepas dari dalam dirinya. "Kamu sangat cantik," puji Trevor sebelum menciumi Jewel untuk kesekian kalinya. "Dan aku suka desahanmu," lanjutnya seusai melepaskan pagutan. "Lagi?" tanyanya. Jewel tidak menyahut dan hanya memperhatikan ketika Trevor mengubah posisi badannya, kemudian kembali melanjutkan aktivitas menyenangkan dengan penuh semangat. Jewel tidak tahu kenapa suaranya sulit dikontrol. Otak memerintahkan untuk diam, tetapi mulutnya justru melenguh kencang seiring kenikmatan yang berbeda daripada yang pertama. Jewel tidak ingat berapa lama mereka berhubungan intim. Tubuhnya sudah melemas akibat pencapaian titik kenikmatan tertinggi hingga berulang kali. Jewel tidak bisa memprotes ketika Trevor bangkit, kemudian mengangkatnya dan berpindah ke meja rias. Sekali lagi lelaki tersebut melambungkan perempuannya ke titik klimaks, sebelum mencurahkan segenap cinta dalam tubuh kekasihnya. "Menikahlah dengan saya," rayu Trevor. "Saya akan membahagiakanmu, selamanya," lanjutnya sebelum mengisap madu Jewel yang sudah tidak bisa menghindar. Kala Trevor menjauhkan diri, Jewel berpegangan ke tepi meja. Dia memandangi pria yang keluar tanpa mengenakan pakaian terlebih dahulu. Jewel meringis saat bergerak turun ke lantai. Dia mengambil handuk yang tadi dilemparkan Trevor, kemudian membungkus badannya dengan benda putih berbahan lembut. Tatapan Jewel mengarah ke kasur. Dia mendengkus ketika melihat beberapa tempat basah, bukti bila Trevor mampu memuaskannya berkali-kali. Jewel menggeleng pelan. Dia merasa malu, karena jiwanya mendadak berubah nakal ketika melakukan hubungan intim dengan pria tersebut. Pintu kembali terbuka dan Trevor muncul dengan pakaian berbeda. Tanpa mengatakan apa pun, pria berkumis tipis menarik seprai kotor dan menggantinya dengan yang baru. Jewel tertegun menyaksikan gerakan tangkas Trevor. Dia sama sekali tidak menduga bila seorang CEO bisa mengerjakan hal-hal yang biasanya dihindari pria lainnya. "Kamu, masih mau?" goda Trevor setelah pekerjaannya usai. "Nggak," sahut Jewel. "Kenapa nggak pakai baju?" "Ehm, ya." Jewel berpindah ke lemari dan mengambil pakaian teratas. Dia terkesiap ketika sepasang tangan melingkari pinggangnya. Bertambah gugup saat kecupan lembut mendarat di pundaknya. "Mau, kan, nikah sama saya?" Trevor kembali mengulangi pertanyaannya yang sejak tadi tidak dijawab Jewel. "Saya akan tetap mengurungmu, sampai kamu menjawab, mau," lanjutnya yang menyebabkan tubuh Jewel menegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD