07
Sepanjang hari Jewel mengurung diri di kamar. Dia bergeming saat Trevor memanggil untuk bersantap malam. Perempuan bermata cukup besar benar-benar tidak mau keluar dan bertemu pria beralis tebal yang dibencinya.
Tanpa sepengetahuan Trevor, Jewel telah menyiapkan panci bertutup, beberapa botol air mineral dan tiga bungkus biskuit yang diambilnya dari lemari dapur kemarin malam. Menahan jijik, Jewel akan melakukan pip di panci dan bersih-bersih ala kadarnya.
Bila lapar, Jewel makan biskuit sambil membaca beberapa buku berbahasa Inggris yang ada di meja rias. Dia menduga jika Trevor tahu dirinya senang membaca hingga pria bermata sipit menyiapkan bacaan yang bagus.
Langit sudah gelap saat Jewel keluar dari kamar sambil membawa panci. Dia memasuki bilik mandi dan segera menguncinya agar tidak dimasuki lelaki berkaus hitam, yang tadi sempat mendelik tajam padanya dari sofa depan televisi.
Jewel bergegas menuntaskan panggilan alam yang tidak mungkin dilakukannya di panci. Setelahnya dia membersihkan panci, kemudian mandi cepat. Jewel keluar belasan menit berikutnya. Suasana yang sepi membuatnya bertanya-tanya dalam hati ke mana Trevor.
Jewel memasuki kamar dan meletakkan panci ke lantai. Dia terkejut melihat meja kecil berkaki telah berada di kasur, lengkap dengan makanan dan minuman. Setangkai bunga mawar putih dan secarik kertas memancing rasa penasaran perempuan berbibir penuh.
Jewel menghampiri kasur untuk mengambil kertas. Dia berdecih karena ternyata itu adalah rayuan Trevor yang memintanya menghabiskan makanan. Pria berpunggung lebar tidak mau Jewel sakit selama dalam pengawasannya.
Jewel mendengkus kuat, kemudian menggigit bibir bawah. Niatnya untuk mengabaikan isi piring akhirnya dibatalkan karena dia memang lapar. Perempuan berkaus abu-abu duduk bersila di kasur, lalu bersantap dengan lahap.
"Honey," panggil Trevor dari depan pintu yang menjadikan Jewel memiringkan bibirnya. "Setelah makan, saya mau bicara," lanjutnya.
Detik demi detik menunggu jawaban menyebabkan Trevor mengeluh dalam hati. Dia mulai lelah menghadapi kekerasan hati Jewel. Selain itu, pria berparas manis juga capai harus bersikap keras pada perempuan yang berada di dalam kamar.
"Jewel, kita benar-benar harus bicara. Ini penting sekali," tukas Trevor. "Ini tentang ayahmu," ungkapnya sembari menyandar ke dinding samping pintu. "Saya tadi menghubungi beliau dan ...."
Pintu terbuka dan seraut wajah mungil keluar sembari menatap tajam pada pria yang membalas dengan lirikan dan seulas senyuman tipis.
"Apa!" ketus Jewel.
"Saya ... ehm, bersiap-siaplah," sahut Trevor.
"Hmm?"
"Kita berangkat sebentar lagi."
"Ke mana?"
"Saya akan mengantarkanmu pulang."
Jewel mengerjap-ngerjapkan mata. Dia menggeleng pelan, kemudian bertanya, "Pulang?"
"Ya."
Secarik senyuman terbit di wajah mungil Jewel dan membuat Trevor terpesona. Pria berambut tebal terus memandangi ketika Jewel berbalik dan jalan memasuki kamar sambil berseru kegirangan.
Trevor masih terpaku di tempatnya selama beberapa saat, sebelum dia jalan menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Setelahnya Trevor menelepon beberapa orang kepercayaan dan mengabarkan kepergiannya ke kota asal Jewel.
Puluhan menit berlalu, Trevor membuka kunci pintu unitnya dan hendak keluar kala keempat lelaki yang tadi ditelepon ternyata telah berdiri di lorong depan. Trevor tertegun, demikian pula dengan Jewel yang berada di belakang pria berkemeja biru tua.
"Kami ikut!" tegas Terren Aryeswara, Adik Trevor yang berdiri paling depan.
"Buat apa kalian ikut?" tanya Trevor. "Saya hanya akan mengantarkannya pulang," lanjutnya.
"Di sana mungkin tidak aman buat Mas. Jadi kami harus ikut dan membawa Mas ke rumah sakit kalau dikeroyok," tambah Levin Aryeswara, sepupu Trevor dan Terren.
"Oh, jadi kalian cuma menonton dan melihat saya dihajar tanpa menolong?" desak Trevor.
"Kamu bikin masalah sendiri, jadi harus dihadapi sendiri," imbuh Joshua Tadakara, sahabat Trevor sejak masih kuliah.
"Yes! Aku tidak mau ikut campur dan hanya memantau," sahut Victor Jayastu, sahabat Trevor dan Joshua.
Trevor memandangi keempat pria yang kompak cengengesan. Dia melengos karena tahu tidak akan menang berdebat melawan mereka. Sedangkan Jewel yang masih terpaku di tempatnya, mengamati keempat lelaki berbeda tampilan sambil mengingat-ingat di mana mereka pernah bertemu sebelumnya.
"Kamu dan Levin tetap di sini, Ter. Mathias akan mencak-mencak kalau semua bos cuti bersamaan," tutur Trevor pada sang adik.
"Besok, Jumat. Setelah itu Sabtu dan Minggu. Aku tidak muncul sampai Rabu, kantor masih aman," sanggah Terren.
"Semua kerjaan saya, kamu dan Levin yang pegang!"
"Aku ingin libur juga, Mas."
"Jangan berbarengan. Gantian. Saya mungkin akan lama tidak masuk kantor. Dan kalian yang ambil alih."
Terren hendak membantah, tetapi diurungkannya saat Levin memegangi lengannya sambil menggeleng. Terren mendengkus kuat. Dia benci bila harus mengalah dari sang kakak yang terkadang suka semena-mena.
"Biarkan Mas libur, Ter. Kita yang jaga kantor. Lembur sampai dua puluh empat jam. Minggu depan kita minta Papa mencopot Mas jadi CEO," seloroh Levin.
"Itu ide bagus, Vin," balas Terren, kemudian keduanya menyatukan tangan membentuk tos yang menyebabkan Trevor berdecih.
"Permisi, acara rapatnya sudah selesai?" celetuk Jewel yang menyadarkan kelima lelaki di hadapannya.
"Sudah, Honey," jawab Trevor. "Mari," ajaknya sembari mengulurkan tangan kiri yang hanya dipandangi perempuan bergaun biru tua motif abstrak sebatas mata kaki.
Trevor menarik tangan kanan Jewel dan memaksa menggandengnya keluar. Terren mengunci pintu unit mansion, kemudian menadahkan tangan kanan yang menyebabkan kakaknya mengerutkan dahi.
"Kunci mobilnya, Mas. Aku yang nyetir," tutur Terren.
"Sudah saya katakan, kamu tetap di sini!" desis Trevor.
"Sudah kubilang juga, aku mau libur sampai hari Rabu."
"Kenapa kamu selalu membantah?"
"Itu kutiru dari Mas." Terren mengangkat dagunya, tidak peduli dipandangi tajam lelaki yang lebih tinggi. "Kuncinya, Mas. Adik sopir mau manasin mesinnya dulu," sambungnya sembari menatap sang kakak lekat-lekat.
Trevor menggerak-gerakkan bibirnya. Dia ingin menampar pria muda yang seolah-olah tidak pernah terintimidasi olehnya. Sekian detik berikutnya Trevor meraih kunci mobil dari saku celana jin birunya dan melemparkan benda itu pada lelaki berjaket bisbol hijau.
Terren jalan terlebih dahulu menyusuri lorong. Levin menyusul seraya mengulum senyum. Demikian pula dengan Joshua dan Victor. Ketiganya senang menyaksikan perdebatan kedua Aryeswara bersaudara yang sering dimenangkan lelaki yang lebih muda.
Trevor mengajak Jewel jalan sembari memastikan gadis berambut panjang tidak akan kabur. Mereka memasuki lift dan Levin menekan angka di lantai tempat mereka memarkirkan kendaraan.
Elevator bergerak cepat menuruni lantai demi lantai hingga tiba di tempat tujuan. Jewel mengamati sekeliling yang terlihat lengang. Dua orang penjaga keamanan memberi hormat dari kejauhan yang dibalas Trevor dengan anggukan.
Jewel tidak bisa memprotes ketika dirinya dipaksa masuk ke kursi belakang mobil sedan mewah. Dia memperhatikan saat Terren menempati kursi pengemudi dan Levin menduduki kursi penumpang.
Trevor memasuki kursi sebelah kanan, kemudian meminta sopir segera melaju karena perjalanan mereka akan cukup lama ditempuhnya. Jewel mengernyitkan dahi ketika Trevor memasangkan sabuk pengamannya. Namun, dia enggan memprotes karena tidak mau memancing kemarahan pria tersebut.
Mobil sedan melaju dengan diikuti mobil sejenis berbeda warna. Jewel memindai sekitar sembari membatin jika dirinya tidak memiliki kesempatan kabur. Terlebih lagi, mobil langsung memasuki pintu gerbang jalan bebas hambatan, tidak sampai lima ratus kilometer dari gedung apartemen.
Perempuan berhidung mancung mengecek pergelangan tangan kanan. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 waktu Indonesia bagian barat. Jalanan cukup lengang dan hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di jalur yang sama.
"Kita mau ke mana?" tanya Jewel saat menyadari bila kendaraan mengarah ke luar Jakarta.
"Bandung," jawab Trevor tanpa menoleh.
"Kenapa harus ke Bandung?"
"Saya akan mengantarkanmu pulang. Sesuai janji saya."
"Antarkan aku ke apartemen."
Trevor menggeleng. "Kita ke Bandung, karena saya akan melamarmu pada orang tua."
Jewel membeliakkan matanya. "Enggak! Mereka nggak boleh tahu tentang ini!"
"Saya akan menikahimu, karena itu saya akan mendatangi mereka dan melamarmu baik-baik."
"Baik-baik? Heh! Caramu mengurungku sudah salah. Belum lagi penculikan dan pem ... ehm ... itu jelas-jelas salah!"
"Saya paham. Karena itu saya ingin mengubah jalan yang salah ke jalur yang benar. Setelah itu kita akan mendatangi orang tua saya. Kemudian segera menikah."