Kemarahan Zena

1106 Words
Pria itu sengaja tak mengindahkan panggilan telepon yang masuk ke dalam ponselnya. Terlebih begitu ia mendapati Zena lah yang tengah mengganggu aktifitasnya. s**t! Fredo mengumpat karena di saat yang tidak tepat Zena selalu merusak harinya. Entah kenapa Zena seolah memiliki kemampuan mendeteksi keberadaannya yang sedang bersama seorang wanita. Tak mau ambil pusing akan kemarahan Zena yang nantinya pasti dia terima, Fredo masih melanjutkan aktifitas gilanya bersama seorang wanita yang tengah menikmati setiap hujaman yang ia berikan. Begitu Pria itu selesai dengan pelepasan yang sangat manis, tersenyum miring seraya bangkit dari atas tubuh wanitanya. Semua sudah paham jika seorang Fredo Angelo adalah pecinta wanita. Kerap bergonta ganti wanita jika dia sedang menginginkan kepuasan. Masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan wanitanya yang masih tergolek kelelahan di atas ranjang. Tak peduli akan tubuh polosnya, Fredo melenggang begitu saja dan membersihkan dirinya dari keringat dan sisa percintaannya. Asalkan dia telah mencapai kepuasan, sekarang saatnya Fredo menghadap pada seorang Morgan Zena. Pasti ada hal yang harus ia kerjakan jika Zena berkali-kali menghubunginya. Argh, Fredo harus menyiapkan jawaban atas tugas terakhir yang Zena berikan beberapa hari lalu. Mencari tahu tentang lelaki yang berani melawan anak buah Mobogengs. Ia belum sempat mencari tahunya padahal Zena telah memberinya waktu beberapa hari untuk segera bergerak. Lima belas menit kemudian, Fredo keluar dari dalam kamar mandi sudah dengan tubuh segarnya. Memakai kemeja bersih dan rapi, ia pun bersiap menemui Zena. Jika kebanyakan anggota Mobogengs menggunakan pakaian yang urakan dan tak ada kesan rapi sama sekali, berbeda dengan Fredo yang selalu tampil rapi dan modis. Menggunakan outfit dari brand ternama dunia. Sebagai seorang Wali kota, siapa yang menyangka jika Fredo adalah salah satu kawanan gengster yang telah merajalela di Kota Graha. Sangat miris andai warganya tahu apa yang selama ini Fredo perbuat. Mungkin mereka tak akan mau lagi memilih Fredo menjadi seorang pemimpin di Kota Graha. Memacu kendaraan miliknya membelah jalanan yang tak ada kendaraan lain selain dirinya. Seperti itulah Kota Graha, lengang dan sepi. Hampir tak terlihat adanya kehidupan di sana. Namun, Fredo tak ambil pusing akan kondisi kota yang berada di bawah kekuasaannya. Baginya, keuntungan pribadi adalah di atas segala-galanya. Sangat disayangkan bukan. Bangunan yang di sekitarnya dijaga ketat oleh kawanan anak buah Mobogengs, begitu saja membuka pintu gerbang tatkala mengetahui mobil milik Fredo yang ingin masuk. Mereka sudah hafal jika Fredo adalah rekan kerja Morgan Zena. Ketua geng mereka. Begitu pintu mobil terbuka, kaki kokoh dibalut sepatu both merek ternama, menjejak tanah dan melangkah mantap menuju pintu masuk yang juga dijaga oleh beberapa orang berbadan besar. "Ke mana saja kau, Hah! Kenapa tak kau angkat panggilan teleponku tadi!" gertak Zena begitu mendapati kehadiran Fredo. Pria itu bukannya takut, tapi justru menyeringai. Menuju sofa dan menjatuhkan tubuh besarnya di sana. Membuka kaca mata hitam yang sejak tadi bertengger di atas hidungnya. "Tenanglah, Zen. Memangnya ada apa sampai kau tegang begitu. Yang penting aku sudah ada di sini, bukan? Jadi, kau tak perlu lagi meneleponku. Sekarang katakan apa yang ingin kau sampaikan padaku. Aku tak punya banyak waktu berlama-lama di sini." Santai menanggapi, membuat Zena semakin geram saja. Andai ia tak mengingat jika masih sangat membutuhkan Fredo sebagai pemulus semua jalan bisnisnya, maka Zena pasti sudah membuang pria berotak mesumm yang di dalam pikirannya hanya ada wanita dan wanita. Bagaimana Fredo bisa menjadi penguasa jika yang dia unggulkan hanyalah otak mesumnya saja. Ah, Zena jadi emosi sendiri. "Aku yakin sekali jika kau tidak tahu bahwa proyek kita telah gagal." Zena mulai berucap seraya menatap tajam pada Fredo. Benar sekali dugaan Zena, karena kini reaksi Fredo adalah menautkan kedua alis lalu menegakkan punggungnya. "Apa maksudmu?" Zena tertawa sangat nyaring. Terdengar menyeramkan di telinga. "Sudah aku tebak. Kau tak pernah tahu apa-apa. Tak ada guna kau menjadi wali kota, Fred! Jika yang ada di dalam otakmu itu hanya wanita, wanita dan nafsu bejatmu semata." "Jangan mengataiku dan menghinaku, Zen. Aku tidak suka itu." "Tapi memang benar kan apa yang aku katakan itu. Apa coba yang bisa kau lakukan untukku, Hah?! Bahkan tugas yang aku berikan padamu saja tidak pernah kau kerjakan. Sekarang katakan padaku, siapa orang yang telah berani melawan anak buahku. Dan sekarang berani berulah dengan menggagalkan semua misi dan rencana kerjaku?" Fredo diam. Berpikir keras jika yang melakukan itu semua pastilah pihak militer. Siapa lagi yang akan menentang Mobogengs jika bukan pihak militer dan aparat negara. Merasa keberadaan Mobogengs meresahkan dan memicu kehancuran negara. "Jika bukan pihak aparat negara dan pihak militer siapa lagi pelakunya? Hanya mereka yang menentang dengan keberadaan Mobogengs." Masih santai sekali Fredo mengatakan itu semua. "Tidak perlu kau memberitahu pun aku sudah tahu. Yang jadi pertanyaanku sekarang adalah, dari mana pihak militer memiliki banyak pasukan untuk menyerang dan melawan kita. Bukankah biasanya pihak militer tak akan pernah menang melawan kita." "Tunggu, Zen. Aku masih kurang paham ke mana arah pembicaraanmu itu. Sebanyak apa pasukan yang militer punya?" "Dasar bodoh. Kau letakkan di mana otakmu itu, Fred? Atau jangan-jangan masih tertinggal di dalam k*************a yang baru saja kau tiduri." "Sialan kau, Zen! Kau menyamakan otakku dengan alat_kelamin." "Memang kenyataannya begitu, kan? Hal kecil saja kau tak bisa paham." "Sudah ... sudah, tak perlu kau mencerca diriku. Sangat memalukan sekali." "Masih punya malu juga kau rupanya." Fredo menggaruk tengkuknya. Ia selalu kalah dalam segala hal dengan Zena. Morgan Zena. Wanita itu sebenarnya sangat cantik di balik wajah dan penampilan sangarnya. Sempat terlintas di benak Fredo untuk menjadikan Zena salah satu wanita pemuas nafsunya. Namun, lagi-lagi Fredo harus begidik membayangkan bukan kenikmatan yang akan ia dapat jika berhubungan dengan Zena. Yang ada mungkin hanya tinggal nama saja karena kekejaman yang Zena miliki. "Aduh!" pekik Fredo ketika sebuah asbak melayang dan jatuh tepat mengenai dahinya. Asbak berbahan kayu itu jatuh di atas lantai. Untung tidak sampai pecah. Namun, dahi Fredo yang menjadi korban. Dapat dipastikan jika meninggalkan bekas memar dan benjolan. Mengusap dahi yang terasa nyeri lalu mendongak menatap kesal pada si pelaku utama lemparan asbak. "Kau ini sungguh bar-bar." Protes Fredo. "Otakmu juga bar-bar. Berani kau berhalusinasi macam-macam tentangku maka akan tamat riwayatmu." Fredo kesusahan menelan saliva. Kenapa Zena bisa membaca pikirannya. "Tak perlu kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa membaca pikiranmu. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah cari tahu ada apa dengan pihak militer. Kenapa mereka bisa mengalahkan kita. Dan satu hal lagi. Pastikan para wanita yang sekarang berada di tangan militer, dapat kita ambil alih kembali. Aku tak ingin gagal untuk ke sekian kali. Kau paham apa yang aku minta padamu, Fred!" Kali ini Fredo mengangguk mengerti. Otaknya memang perlu mendapat lemparan asbak agar dapat kembali bekerja maksimal. Ia yakin sekali jika pihak militer pasti mendapat bantuan dari luar untuk memupuk kekuatan demi menumpas gengster yang bersembunyi dan mencari perlindungan di bawah ketiaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD