Kelopak mata itu mulai bergerak pelan, mengerjab dan terbuka sepenuhnya. Tampak bingung sedang berada di mana ia sekarang. Guncangan yang ia rasakan membuatnya reflek menegakkan punggung. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Hampir semua pasang mata menatap padanya. Eve baru tersadar jika dia sedang berada di dalam sebuah truk. Tidak sendiri melainkan bersama para wanita yang tadi ikut bersamanya menjadi penumpang kapal.
"Akhirnya kamu sadar juga," ucap salah seorang wanita kepadanya. Wanita yang duduk di sampingnya. Eve kembali mengerjabkan mata menyadari jika ia baru saja siuman dari pingsannya. Selalu begitu. Jika ia tidak kuat dengan apa yang ia lihat dari masa lalu seseorang, pasti yang terjadi adalah pingsan. Berat memang memiliki sebuah indera keenam. Namun, ini semua bukanlah kemauannya. Menjadi seorang anak indigo yang baru diketahui ketika dia beranjak remaja.
Belum sempat Eve bertanya ke mana mereka akan di bawa sekarang, rupanya truk yang ia naiki berhenti. Tiga orang anggota militer meloncat turun selanjutnya memberikan instruksi pada semua.
"Kalian bisa turun. Ingat! Jangan berebut. Saat ini kalian sudah aman di tangan pihak militer. Jadi, jangan lagi merasa khawatir atau terancam. Kalian sudah berhasil kami selamatkan."
Lega, itulah yang Eve rasakan. Tidak hanya Eve. Beberapa diantara para wanita yang memang merasa terpaksa dibawa pergi oleh kawanan Mobogengs pun merasakan kelegaan yang sama.
Tidak ada yang saling berebut untuk turun. Mereka sangat mematuhi perintah anggota tentara yang tadi bersama mereka. Selain karena takut juga hati mereka merasa lega begitu mengetahui jika mereka semua telah berhasil diselamatkan.
Eve turun dengan sangat hati-hati karena kepalanya masih pening. Rupanya tak hanya satu truk saja yang membawa mereka. Ada beberapa truk yang kini berjejer di halaman markas besar tentara kota Graha. Semua wanita penumpang kapal yang berhasil diselamatkan bergerombol di tanah lapang.
Eve terkejut karena tiba-tiba seorang anggota militer mendekat padanya. "Kau yang tadi pingsan?" Pertanyaan yang Eve jawab hanya dengan anggukan kepala.
"Apa kau sudah baikan?" pria itu kembali bertanya dengan nada khawatir. Mungkin pria inilah yang tadi menolongnya. Begitu pikir Eve.
"Sudah." Eve menjawab sembari menelisik wajah pria di hadapannya ini. Tentara ini bukan yang ia tabrak tadi. Eve ingat betul bagaimana wajah seorang tentara tampan yang tak sengaja bertubrukan dengannya. Mata Eve mulai mengelilingi seluruh orang yang ada di sekitarnya. Namun, Eve tetap tak menemukan orang yang dia cari.
"Kenapa kau tadi bisa pingsan?" pertanyaan itu dilontarkan oleh pria yang masih berdiri di hadapan Eve. Dialah Bray. Anggota tentara yang tadi Al berikan tanggung jawab menjaga Eve yang sedang pingsan.
Eve menggeleng. Tidak mungkin ia bercerita tentang apa yang dilihat dari masa lalu seorang pria tak dikenalnya. Seorang pria yang merupakan anggota tentara. Eve tahu siapa namanya. Al. Begitu jika ia tak salah dengar. Dalam sekelebat bayangan yang singgah di alam bawah sadarnya, seorang remaja meraung menangisi anggota keluarganya yang tergeletak di atas lantai rumah mereka. Darah menggenang di sekitar jasad yang meregang nyawa akibat luka tembakan di bagian d**a. Seorang pria paruh baya yang Al panggil Papa. Lalu seorang wanita yang merupakan mama Al dan juga gadis remaja adalah adik Al.
"Kenapa kalian semua meninggalkanku. Papa ... Mama ... Al harus bagaimana sekarang!"
Itulah kata-kata yang masih diingat dengan jelas oleh Eve. Namun, apa yang menyebabkan keluarga itu terbunuh, Eve tidak tahu.
"Hei ... Kau yakin baik-baik saja?"
Eve tergagap. Pria berseragam tentara di hadapannya tampak khawatir membuat Eve merasa bersalah.
"Aku baik-baik saja."
Eve menoleh ke sekitar dan rupanya ia sedang menjadi pusat perhatian. Malu. Tentu saja. Beruntungnya pria di hadapnya segera pergi meninggalkannya.
Ya, Bray tak hanya mengurus Eve saja akan tetapi ada banyak orang yang harus dia pastikan keselamatannya. Sama halnya dengan Al, tugas dan tanggung jawabnya begitu besar mengemban misi penyelamatan hari ini.
***
Pagi ini Aldrick telah rapi dengan seragam dinasnya. Wajahnya yang tampan tampak berwibawa dengan balutan seragam khas seorang tentara. Memperhatikan sekali lagi penampilannya di depan cermin yang berada di dalam barak, tempat bagi para anggota militer tinggal. Dalam sebuah ruangan luas tanpa sekat yang berjajar puluhan tempat tidur bertingkat. Di masing masing samping ranjang terdapat locker untuk penyimpanan barang berharga milik prajurit yang tinggal di dalamnya.
Pagi ini hal pertama yang dilakukan di sebuah lapangan luas adalah mengadakan apel pagi. Sejenis upacara pagi yang wajib dilaksanakan untuk membentuk kedisiplinan para anggota tentara.
Selanjutnya, olahraga pagi juga acara kerja bakti rutin dilaksanakan. Aldrick yang ikut bersama para prajurit sedang melakukan lari pagi mengelilingi lapangan. Selain berfungsi untuk menjaga stamina, olahraga pagi juga bagus untuk menjaga kesehatan dan kekebalan tubuh. Peluh membanjiri tubuh berototnya. Sepuluh putaran dirasa Al sudah cukup sebagai pemanasan pagi ini. Jadwalnya hari ini sangat padat. Menghadap pada komandan terkait keberhasilan membebaskan hampir seratus orang perempuan. Juga akan melakukan latihan penembakan untuk mengasah kemampuan semakin maksimal.
Duduk di atas rumput tanah lapang, Bray datang mengangsurkan sebotol air mineral yang diterima dan langsung ditenggak oleh Al hingga tersisa separuhnya saja.
Kedua pria anggota tentara yaitu Al dan Bray duduk saling bersisihan. Pandangan mereka lurus ke depan.
"Akan di bawa ke mana para perempuan yang kemarin kita selamatkan Al?" Bray bertanya, membuka percakapan di antara mereka.
"Yang pasti, kita akan mengembalikan mereka pada keluarga masing-masing."
"Tapi jumlah mereka sangat banyak. Aku tak habis pikir bagaimana mungkin para gengster berhasil mengumpulkan orang sebanyak itu."
"Karena mereka mengiming-imingi sejumlah uang. Kau tahu kan bagaimana liciknya kawanan mereka."
"Entahlah, Al. Aku masih tak paham. Di kota ini semua kejahatan seolah dibiarkan saja. Di mana kuasa pemerintahan jika kawanan gengster juga mafia bisa betindak sesuka hati mereka."
"Aku pikir ada hal yang memang disembunyikan oleh pihak pemerintahan. Ingin rasanya aku menyelidiki apa yang terjadi di kota ini. Sampai-sampai pihak pemerintah dan militer tidak bisa berjalan berdampingan. Jika dibiarkan, maka kondisi akan semakin runyam. Militer dan aparat negara akan terabaikan. Tidak akan ada lagi yang takut pada kita. Padahal kita berkewajiban menumpas segala macam bentuk kejahatan."
"Apa yang kau pikirkan itu sejalan dengan pemikiranku, Al. Bisa-bisa kejahatan semakin merejalela jika pihak militer hanya diam saja."
"Itulah kenapa kita ditugaskan di kota ini. Karena selain kekurangan pasukan, para prajurit di sini kurasa juga sangat lemah. Aku akan melakukan sesuatu pada mereka. Memberikan mereka pelatihan sama dengan apa yang kita dapatkan dari pusat. Agar kemampuan kita setara. Jangan sampai para gengster menertawakan kita."
Bray menepuk pundak Al. "Aku salut padamu, Al. Pantang menyerah."
"Harus. Kau pun juga. Harus punya nyali menghadapi musuh."
"Aku akan selalu berguru padamu, Al."
Keduanya tertawa bersama. Hingga tiba-tiba Al mengingat sesuatu.
"Bray, apa kabar gadis pingsan kemarin?" Al bertanya membuat Bray memperhatikan serius wajah Al. Seolah ia juga baru mengingat akan hal itu.
"Entahlah. Aku tak lagi bertemu dengannya. Tapi kemarin aku sempat menjumpainya ketika dia sudah siuman."
"Baguslah jika dia tidak apa-apa. Aku sempat khawatir karena setelah menabrakku, tiba-tiba saja gadis itu pingsan."