Geo menghentikan mobilnya di basement kantor papanya. Ia lalu keluar dari mobil, melangkahkan kakinya menuju lift.
“Apa yang ingin Papa bicarakan denganku? Apa ini ada hubungannya dengan rencana pernikahanku dengan Siren?”
Pintu lift terbuka. Geo lalu melangkah masuk ke dalam lift. Ia menekan tombol angka lima, karena ruangan papanya ada di lantai lima.
Pintu lift terbuka, Geo sudah sampai di lantai lima. Ia melangkahkan kakinya menuju meja kerja sekretaris papanya.
“Apa Papa ada di dalam?”
Wanita yang bernama Sisi itu beranjak dari duduknya, “ada Tuan. Mari saya antar. Tuan Marco sudah menunggu anda sejak tadi.”
“Aku bisa sendiri. Terima kasih.”
Geo lalu melangkah menuju ruangan papanya. Ia mengetuk pintu itu, lalu membuka pintu itu tanpa menunggu sahutan dari dalam.
“Pa...” Geo lalu menutup pintu, melangkahkan kakinya menghampiri papanya yang duduk di kursi kerjanya.
Marco beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju sofa.
Geo mengikuti langkah papanya.
“Duduklah, ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu.”
Marco sudah lebih dulu mendudukkan tubuhnya di sofa, baru Geo.
“Apa yang ingin Papa bicarakan sama aku?”
Marco mengambil berkas yang ada di atas meja, lalu memberikannya kepada Geo.
Geo mengernyitkan dahinya, lalu mengambil berkas dari tangan papanya.
“Apa ini, Pa?” tanyanya penasaran.
Geo lalu membuka berkas itu, membacanya dengan teliti. Kedua matanya sontak langsung membulat dengan sempurna.
“Pa... ini...”
Marco menganggukkan kepalanya, “kalau kamu jadi menikah dengan Siren, Roy bukan hanya akan membantu perusahaan Papa untuk kembali bangkit. Tapi, Roy juga akan memberikan separuh hartanya untuk kamu.”
“Tapi... kenapa Om Roy melakukan semua ini? Siren itu cantik. Pasti banyak pria yang ingin menikah dengannya. Kenapa harus aku?”
Geo tak akan pernah memungkiri, kalau Siren itu cantik. Bahkan lebih cantik dari mantan kekasihnya dulu.
Bentuk tubuhnya juga sangat menggoda. Tak akan ada pria yang akan menolak wanita secantik dan sekaya Siren.
Tapi, bagi Geo, kecantikan yang Siren miliki, tak secantik dengan hati yang dimilikinya. Andai Siren bisa bersikap lebih lembut padanya, maka Geo akan pastikan, ia akan mencoba untuk menerima Siren menjadi istrinya yang sesungguhnya.
Tapi, sebelum Geo memulai semuanya, Siren sudah lebih dulu membuat benteng di antara mereka berdua. Pernikahan yang akan mereka jalani hanyalah pernikahan di atas kertas. Hanya sekedar status, tapi bukanlah pernikahan yang sesungguhnya.
“Papa juga terkejut, saat Roy memberikan berkas itu sama Papa. Tapi, itu bagus buat kamu. Kamu bisa memulai usaha dengan uang yang kamu dapatkan dari saham dari Roy itu.”
Geo menggelengkan kepalanya, “tapi aku gak bisa menerimanya, Pa. Dengan menerima perjodohan ini saja, aku merasa Papa dan Mama sudah menjualku kepada Om Roy. Kalau aku sampai menerima saham itu, lalu... apa yang akan Siren pikirkan tentang aku nanti?”
Gak! Gue gak bisa menerima itu. Kalau gue menerima saham itu, Siren pasti akan semakin membenci gue. Dia akan semakin menginjak-injak harga diri gue, dan menuduh gue ingin merebut harta milik keluarganya.
“Tapi, Geo... Papa...”
“Pa... soal pernikahan aku sama Siren, Papa gak usah khawatir. Aku dan Siren akan tetap menikah. Tadi aku dan Siren sudah membicarakannya. Tapi, soal pemberian saham milik Om Roy. Maaf, aku gak bisa menerimanya.”
Geo lalu beranjak dari duduknya, “aku hanya gak ingin, sampai Siren berpikiran buruk tentang keluarga kita, Pa.”
Cukup gue saja yang menanggung semua ini.
Marco menghela nafas panjang, “Papa minta maaf. Kamu harus mengorbankan masa depanmu demi keluarga kita.”
“Aku hanya ingin Papa dan mama bahagia. Kalau hanya itu yang ingin Papa bicarakan sama aku, aku pergi dulu. Soalnya sekarang aku membawa mobil Hito.”
“Memangnya mobil kamu dimana?”
“Mobil aku masuk bengkel, Pa. Aku pergi dulu,” pamit Geo lalu melangkah keluar dari ruangan papanya itu.
Marco menghela nafas panjang, ia lalu mengambil berkas yang tadi diberikannya kepada Geo.
“Maafkan Papa, Geo. Papa harap, kamu dan Siren akan bisa lebih mengenal satu sama lain nantinya. Pernikahan yang kalian jalani, akan menjadi pernikahan yang terjalin karena cinta suatu saat nanti.”
Saat ini Geo menghentikan mobilnya tepat di halaman rumah Hito. Ia lalu membuka pintu mobil, melangkah keluar dari mobil.
Geo mengernyitkan dahinya, saat melihat pintu rumah Hito yang terbuka. Ia lalu melangkah menuju pintu.
“To... Hito...” panggilnya sambil melangkah masuk ke dalam rumah Hito.
Hito yang tengah berada di dalam kamar dengan seorang wanita, seketika langsung menghentikan aktivitasnya dengan wanita itu setelah mendengar suara Geo.
“Kita lanjut nanti.”
Wanita itu mengumpat.
“Kamu diam disini. Jangan kemana-mana.”
“Kenapa sih! Kenapa aku harus sembunyi? Apa kamu malu mempunyai kekasih sepertiku!” kesal wanita yang bernama Hanin itu.
Hanin adalah teman kuliah Hito dan Geo. Hanin adalah wanita cupu, kutu buku, yang dijauhi oleh teman-teman sekelasnya.
Tapi, setelah mengenal Hito lebih jauh lagi, Hanin tak ingin kehilangan pria itu. Ia sampai rela menjadi teman ranjang Hito, saat pria itu membutuhkannya.
“Apa kamu malu, kalau Geo tau tentang hubungan kita?”
Hito menghela nafas panjang, “kamu tau, apa perjanjian kita di awal?”
Hanin menundukkan wajahnya, “tapi aku mencintaimu.”
Hito hanya diam, ia lalu beranjak turun dari ranjang, mengambil pakaiannya dan memakainya kembali.
“To...”
“Hubungan kita akan berakhir, kalau kamu sampai keluar dari kamar ini!” ancam Hito sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hanin.
Hito lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia terkejut saat melihat Geo yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Ia lalu menutup pintu kamarnya.
“Ngapain lo ke rumah gue? Kenapa lo gak kasih kabar ke gue kalau mau kesini.”
Geo mengernyitkan dahinya, “ada siapa di kamar lo? Lo nyembunyiin cewek di kamar lo?”
Geo kenal betul siapa itu Hito. Sahabatnya yang sering gonta ganti cewek. Ia bahkan tau, kalau sahabatnya itu sering tidur sama cewek yang berbeda.
Tapi, semua itu tak membuat Geo menjauhi Hito. Baginya, Hito adalah sahabat terbaiknya, karena Hito selalu ada disaat ia butuh bantuan dan tempat untuk berkeluh kesah tentang masalahnya.
“Cewek? Eng—nggak. Mana mungkin gue bawa cewek ke rumah gue. Gila lo ya,” elak Hito.
“Bisa aja. Lo ‘kan disini tinggal sendirian, karena nyokap dan bokap lo sekarang ada di Bandung.”
Hito merangkul bahu Geo, lalu mengajaknya untuk duduk di ruang tamu. Mereka duduk di sofa ruang tamu.
“Ada apa lo ke rumah gue?”
“Gue ingin mengembalikan mobil lo.”
Geo curiga melihat sikap aneh Hito, “yakin lo gak lagi ada tamu?”
Hito mengernyitkan dahinya, “tamu? Enggak,” elaknya lagi.
“Lalu, kenapa pintu rumah lo terbuka? Gue pikir ada maling tadi.”
“O... itu... tadi gue setelah cabut dari restoran, sampai rumah gue kebelet, jadi gue langsung masuk rumah. Mungkin karena terburu-buru gue lupa menutup pintu.”
Hito lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, “gimana pertemuan lo sama calon istri lo itu?”
Geo menghela nafas panjang, “dia minta gue untuk menandatangani perjanjian pernikahan yang dia buat.”
“Perjanjian pernikahan?”
“Hem... perjanjian yang sama sekali merugikan gue.”
“Memangnya apa isi perjanjian itu? jangan bilang kalau...”
Geo kembali menghela nafas, lalu menganggukkan kepalanya, “dia gak mau gue sentuh setelah menikah. Dia juga gak mau tidur sekamar sama gue. Lebih parahnya lagi, dia gak mau tinggal di rumah gue.”
“Terus... lo mau tandatangani itu surat perjanjian?”
Geo menganggukkan kepalanya, “gue gak punya pilihan lain lagi. Keluarga gue yang jadi taruhannya. Lo tau ‘kan gimana kondisi keluarga gue?”
“Tapi lo gak mungkin ‘kan diam aja, saat tu cewek nginjek-nginjek harga diri lo? Masa udah nikah, gak mau disentuh? Yang belum nikah aja, mau gue...”
Hito menghentikan ucapannya, ia hampir saja keceplosan tentang hubungannya dengan Hanin.
Aish! Hampir aja ni mulut!
Geo mengernyitkan dahinya, “lo ngomong apa sih? Siapa yang belum nikah? Siapa yang mau lo...”
“Bukan apa-apa. O ‘ya, lo mau minum apa?” Hito sudah beranjak dari duduknya.
“Gue gak bisa lama-lama. Gue masih ada urusan.”
Geo lalu beranjak dari duduknya, “lo jangan lupa, datang ke pernikahan gue. Jangan lupa lo ajak gebetan lo itu,” godanya.
Hito menganggukkan kepalanya, “tapi gue gak janji. Gue gak tau, Risa mau apa gak gue ajak ke pernikahan lo.”
“Kenapa? apa dia patah hati setelah tau gue mau nikah?” canda Geo lalu tertawa.
Geo lalu menepuk bahu Hito, “kalau lo memang cinta sama Risa, teruslah berjuang. Jangan menyerah. Tenang, gue sama sekali gak ada niat buat rebut gebetan lo itu,” lanjutnya.
“Dasar! Apa lo pikir, setelah lo nolak Risa, dia masih mau sama lo! Terlalu PD lo!” kesal Hito lalu menyingkirkan tangan Geo dari pundaknya.
Mereka berdua lalu tertawa.
“Geo. Gue hanya berharap, lo gak akan menyesali keputusan lo ini. Jangan sampi lo diam saja, saat tu cewek menginjak-nginjak harga diri lo. Lo memang butuh duit bokap tu cewek. Tapi, setelah kalian menikah, lo berhak atas tu cewek, karena dia adalah istri lo.”
“Lo tenang aja. Gue sudah punya rencana sendiri, buat Siren bertekuk lutut di hadapan gue.”
Geo lalu kembali menepuk bahu Hito, “gue cabut dulu. Thanks untuk mobilnya.”
“Hem...”
Hito lalu mengantar Geo keluar dari rumahnya. Setelah memastikan Geo pergi, ia lalu kembali masuk ke dalam rumah. Langkahnya menuju kamarnya.
Hito melihat Hanin yang sudah memakai semua pakaiannya. Padahal pertempuran mereka belum selesai.
“Nin, kamu mau kemana?” tanyanya lalu melangkah mendekati Hanin yang tengah menyisir rambutnya.
“Aku mau balik.” Hanin lalu memakai kacamata andalannya.
Hanin melangkah menuju sofa untuk mengambil tas selempangnya.
Hito menarik tangan Hanin, saat wanita itu ingin melangkah keluar dari kamarnya.
“Aku gak akan mengizinkan kamu pergi dari rumah ini!” serunya lalu menghempaskan tubuh Hanin ke atas ranjang.
Hito merangkak naik ke atas ranjang, “permainan kita belum selesai. Aku gak akan biarkan kamu pergi, sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau.”
Siren melangkah masuk ke dalam lift. Saat ini ia ingin menemui seseorang yang sudah sangat dirindukannya.
Siren menekan tombol password apartemen itu, lalu membuka pintu itu dan masuk ke dalam. Mencari sosok yang sangat di rindukannya.
Siren terkejut, saat seseorang memeluknya dari belakang.
“Aku pikir kamu gak akan datang,” ucap pria itu sambil mengecup bahu Siren.
Siren membalikkan tubuhnya, menatap wajah tampan yang saat ini berdiri di depannya sambil memeluk pinggangnya.
Siren lalu merangkulkan kedua tangannya ke leher pria itu, “aku pasti akan datang. ‘kan aku sudah janji sama kamu, Sayang,” ucapnya lalu mengecup bibir pria itu.
Pria yang bernama Nicholas itu langsung mencium bibir Siren dengan sangat panas. Bahkan, tubuh Siren kini sudah berada di dalam gendongannya, tanpa melepaskan ciuman itu.
Nicholas membawa Siren menuju sofa panjang yang ada di ruang tengah, lalu merebahkan tubuh Siren di atas sofa itu. Tanpa melepaskan pertautan bibir itu.
Siren yang mulai kehabisan nafas, mendorong tubuh Nicholas, sampai pertautan bibir itu terlepas. Ia lalu mencoba untuk mengatur nafasnya yang memburu.
Nicholas tersenyum, ia lalu mengusap bibir Siren yang basah karena ulahnya. Entah mengapa, bibir mungil itu selalu membuatnya candu. Ia lalu membantu Siren untuk bangun.
“Kita jadi liburan ‘kan?”
Siren menggenggam tangan Nicholas. Ia ingin membicarakan hal penting kepada kekasihnya itu. Tentu saja tentang rencana pernikahannya dengan Geo.
Siren tak ingin menyembunyikan apapun dari pria yang sudah beberapa tahun menjadi kekasihnya itu.
“Sayang, ada hal yang ingin aku katakan sama kamu.”
Nicholas mengecup punggung tangan Siren, “apa yang ingin kamu katakan? apa kamu ingin bilang, kalau papa kamu sudah setuju dengan hubungan kita?” tanyanya dengan senyuman di wajahnya.
Siren menggelengkan kepalanya, “bukan soal itu.”
Nicholas lalu mengernyitkan dahinya, “lalu? Apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?” tanyanya penasaran.
Siren mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Nicholas, “Sayang, kamu cinta ‘kan sama aku? kamu percaya ‘kan sama aku?”
Nicholas menganggukkan kepalanya, “aku sangat mencintaimu, Sayang? aku juga percaya sama kamu. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu? apa kamu mulai meragukan aku?”
“Bukan itu maksud aku. Tapi, apa yang akan aku katakan ini, aku harap, kamu gak akan salahpaham nantinya.”
Nicholas semakin mengernyitkan dahinya, “sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? apa terjadi sesuatu? apa papa kamu melarang kamu untuk berhubungan denganku lagi? apa karena aku gak sekaya keluarga kamu? papa kamu gak merestui hubungan kita?”
Siren menangkup kedua pipi Nicholas. Meskipun usia Nicholas lebih muda darinya, tapi ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan pria itu.
“Apapun yang terjadi nanti, aku gak akan meninggalkan kamu. Hanya kamu yang aku cintai.”
Siren lalu menghela nafas panjang, menggenggam erat tangan Nicholas, “Papa sudah mengatur perjodohan untukku.”
Kedua mata Nicholas membulat dengan sempurna.
“Aku gak ada pilihan lain selain menerima perjodohan itu.”
“Sayang...”
“Aku akan menikah dengan pria pilihan Papa.”
Nicholas menggelengkan kepalanya, “gak! Aku gak akan...”
Siren menutup mulut Nicholas dengan jari telunjuknya, “tapi, aku gak akan pernah meninggalkan kamu. Aku membuat perjanjian dengan pria itu.”
Siren lalu tersenyum, “aku gak akan membiarkan dia untuk menyentuhku. Aku hanya ingin, kamu lah yang kelak menjadi suamiku. Ayah dari anak-anakku.”
Nicholas tersenyum, ia lalu menarik Siren ke dalam pelukannya, “aku janji, setelah papa kamu setuju dengan hubungan kita, aku akan datang ke rumah kamu untuk melamar kamu.”
Siren melepas pelukan Nicholas. Ia terkejut dengan apa yang kekasihnya itu ucapkan. Ia bukannya tak senang mendengar apa yang kekasihnya itu katakan. Tapi, apa mereka masih mempunyai kesempatan untuk bersama setelah dirinya menikah dengan Geo?
Siren memang tak menganggap pernikahannya dengan Geo adalah pernikahan yang sesungguhnya. Tapi, untuk sebuah perceraian? Apa papanya akan membiarkan itu terjadi?
Siren tau betul seperti apa papanya itu.