Nyaris 2 bulan hubunganku berakhir dengan Dikta. Sekarang, aku mulai mencoba kenal dengan orang baru. Papa katanya akan mengenalkanku dengan anak dari teman almamaternya dulu. Aku menyetujui hal itu, terbuka untuk dikenalkan dengan siapa pun. Masalah hati, itu bisa menyusul. Banyak yang bilang jika perasaan itu bisa muncul jika sudah terbiasa bersama. Aku akan mengikuti alurnya saja akan bagaimana nantinya.
"Beneran mau dikenalin?" tanya papa ketika kami semua berada di meja makan saat ini, pada hari Sabtu pagi. "Yakin?"
Aku mengangguk. "Emang kenapa? Kok Papa kayaknya ragu gitu," jawabku terkekeh.
"Papa enggak mau dibilang maksa kamu, Nak. Kalau kamu enggak mau, enggak apa-apa. Kalau kamu mau ada pilihan sendiri, let me know. Papa enggak masalah dengan siapa pun pilihan kamu, asal kamu yakin orang itu yang terbaik untuk kamu."
"Iya, Pa. Aku ngerti."
Aku tahu, Papa pasti tidak mau aku merasa tak nyaman. Papa dan mama, mereka akan melakukan apa pun untukku. Sejak aku kecil, mereka selalu ingin memberikan yang terbaik dan tak ingin membebankan sesuatu kepadaku. Tapi aku tahu, mereka sangat ingin aku segera menikah. Aku pernah bilang, pernah tak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
"Kita ini udah tua, Pa. Mama ingin melihat anak kesayangan kita menikah, baru bisa merasa legah. Ada seseorang yang akan menjaganya jika suatu saat kita meninggalkan dunia ini lebih dulu. Takdir nggak ada yang tahu kapan kita akan dipanggil."
"Iya. Tapi tetap, kita nggak boleh maksain kehendak. Melisha juga pasti udah memikirkan tentang masa depan juga. Dia bilang kemarin ini, paling nggak dia udah menikah sebelum kepala tiga. Mari kita hargai dia, semisal kan pada akhirnya baru bisa menikah pada usia kepala tiga."
Aku memang ingin menikah sebelum usia 30 tahun. Akan tetapi, semisalkan waktu itu Dikta bilang baru bisa menikahiku setahun atau 2 tahun lagi, aku akan menunggu. Kenyataannya...
"Kamu ada acara malam ini?" tanya papa.
"Enggak ada, Pa." Sejak hubunganku berakhir dengan Dikta, aku lebih banyak di rumah saja jika tak ada urusan kerjaan. Aku menyibukkan diri dengan bekerja, sehingga jika di luar tidak begitu kepikiran. Ketika di rumah, masih sering kepikiran.
"Kemarin ini Papa udah hubungin teman Papa itu, nanti kalau jadi Papa hubungin lagi buat kita makan malam bersama. Kamu keberatan, Nak?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku nggak masalah."
Terdengar helaan napas dari papa. "Syukur lah."
Anak temannya papa itu berusia 30 tahun. Dia lulusan luar negeri dan sekarang merupakan CEO sebuah perusahaan kecil yang dirintisnya bersama teman kuliahnya, begitu yang aku dengar cerita dari papa waktu itu.
Setelah berbicara dengan orang tuaku, aku kembali ke kamar. Aku meraih sebuah n****+ luar yang kemarin aku beli dan duduk bersandar di kasur. Baru saja membuka halaman pertama n****+ tersebut, ponselku berdering. Pada layar ponsel tersebut tertera nama Aya.
"Ya. Kenapa, Ay?"
"Mel, are you okay? Udah merasa lebih baik?"
Aku tersenyum tipis. "Feeling better, kok."
Bohong. Nyatanya aku tidak baik-baik saja setelah memutuskan hubunganku dengan Dikta. Bersama dengannya selama 5 tahun, tidak akan mudah melupakannya begitu saja. Meski aku akan kenal dengan orang baru pun, aku yakin jika tidak mungkin langsung bisa melupakannya—terutama kenangan kami. Tapi bersama orang baru nanti, aku akan berusaha untuk menerima. Seperti kataku sebelumnya, akan bisa memiliki perasaan kepada seseorang jika sudah terbiasa bersama. Karena bagaimana pun, aku tak mungkin mundur berbalik ke arah Dikta yang tidak bisa memberikan kepastian akan sebuah pernikahan. Dia bahkan tak menahanku pergi saat itu.
"Boleh gue cerita sesuatu tentang Dikta?"
Aku menghela napas. Aku rasanya tak ingin mendengar apa pun tentang dia, tapi penasaran juga.
"Hmmm."
"Gue bilang sama Yoga buat ngomelin si Dikta itu. Soalnya kalau gue yang ngomong, nggak afdol kalau nggak pakai tangan. Bisa-bisa gue jedotin kepala itu orang ke tembok. Gue kesel, nggak terima lo digituin! Astaga, kalian udah 5 tahun bersama loh! Kenapa sih, Dikta itu? Apa lagi yang dia pertimbangkan?! Heran gue, jadi dia ditanya sama Yoga dan Fero, jawabannya nggak jelas. Nggak ngerti gue, alasannya dia itu apa. Sumpah, kalau ketemu gue beneran tonjok atau benturin kepala dia."
Aku tertawa kecil mendengar ocehan Aya. Dia itu lucu, kadang kelakuannya seperti anak kecil. Cute dan manja, tapi bisa galak juga.
"Tapi, Mel, mukanya kusut banget kata Yoga. Udah beberapa kali ketemu, dia kayak nggak ada semangat hidup."
Senyumku luntur seketika.
Masa, sih? Minggu lalu aku tak sengaja melihatnya keluar dari ruang pengadilan, tampak baik-baik saja. Kami sempat papasan, sama-sama menghentikan langkah dan dia tersenyum padaku. Akan tetapi, aku tak membalas senyum dan langsung melangkah pergi.
"Yakin gue, dia itu masih cinta lo banget. Secara, lo itu cinta pertamanya dia."
Kata Aya, Dikta itu memang beberapa kali menyukai seseorang. Tapi tak pernah berpacaran sebelumnya. Dikta pernah menyukai Maudy pun, Aya yang bercerita padaku. Keceplosan dia kala itu. Entah, aku pun tak mau bertanya-tanya mengenai masa lalu Dikta sejak kami memutuskan untuk bersama. Kalau aku sendiri, dulu aku pernah berpacaran dengan seseorang ketika SMA. Namun, biasa saja saat sudah putus. Karena aku fokus belajar.
Karena aku pacar pertamanya Dikta, Aya selalu bilang jika aku cinta pertama lelaki itu. Ada begitu? Bukannya cinta pertama itu ketika kita menyukai seseorang lawan jenis untuk pertama kalinya?
"Dia itu kalau masih cinta, kenapa nggak berjuang untuk lo? Yakinin lo untuk hidup bersama? Ah, gue benar-benar nggak ngerti apa yang ada di dalam pikiran dia itu. Rumah udah punya, kerjaan enak, orang tuanya sayang banget sama lo juga. Apa lagi? Dekat sama perempuan lain? Nggak mungkin!"
"Biarin aja, Ay."
"Tapi lo beneran mau dikenalin sama anak dari teman bokap lo itu?"
Aku memang cerita pada Maudy dan Aya di grup jika ingin mengenal siapa pun yang dekat, termasuk anak dari temannya papa. Maudy dan Aya sudah adalah tempat aku bercerita, kita yang awalnya hanya sekedar kenal karena aku kekasihnya Dikta, lama-lama semakin dekat dan jadi sahabatan. Aku sebelumnya tak pernah punya teman yang benar-benar dekat, baru setelah mengenal kedua orang ini. Meski masing-masing telah berkeluarga, mereka tetap ada waktu untukku. Di grup pun, kami aktif membahas apa pun. Namun, ada grup berenam dengan Dikta juga, aku keluar dari grup itu sebulan yang lalu. Itu grup mereka sejak kuliah, aku masuk belakangan setelah pacaran dengan Dikta.
"Iya, Ay. Coba kenal dulu aja. Siapa tahu jodoh."
Aku bisa mendengar helaan napas dari Aya di seberang sana.
"Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi sekarang. Meski gue dan Maudy temannya Dikta dari dulu, kita tetap pengen yang terbaik buat lo. Kita akan selalu do'ain lo."
Aya itu, terkadang bisa bijak juga.
"Thank you, Ay."
"Sama-sama. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama gue atau Maudy, ya? We'll always got your back."
Aku terkekeh pelan, mengusap sudut mataku yang mulai berair. "Iya, pasti. Kan teman gue cuma lo berdua."
Satu lagi, Gilang. Cuma kalau teman perempuan, memang hanya mereka berdua saja.
***
"Putus?"
Aku mengangguk. Aku bertemu dengan Gilang hari ini. Lelaki itu baru saja dari luar kota dan ingin memberiku oleh-oleh. Kami bertemu pada sore hari usai jam kerja. Aku bercerita pada Gilang jika tak lagi bersama Dikta.
"Kenapa? Dikta ada yang lain? Dia nyakitin elo?"
"Nggak tahu."
"Lah, kok?"
"Benar kata lo waktu itu. Pacaran lama sampai 5 tahun tanpa ada kepastian, untuk apa gue pertahanin?"
“Berarti dia nggak benar-benar cinta sama lo.”
“Dia cinta gue,” sahutku cepat. Aku yakin, Dikta memang mencintaiku. Hanya saja, aku tak tahu alasan persis lelaki itu tak memberiku kepastian tentang pernikahan. Aku lelah bertanya, tak kunjung mendapatkan jawaban. Tak mau menunggu lagi jika tak pasti.
“Mel, I mean— “
“Gue nggak tahu, Lang. Nggak tahu apa alasan persis dia nggak kasih gue kepastian. Gue tahu dia cinta gue, tapi dia nggak kasih tahu gue apa alasannya nggak segera ngasih gue kepastian untuk menikah. Gue nggak ngerti. Nggak mau nanya apa-apa lagi, capek sendiri. Gue juga masih cinta, tapi gue nggak mungkin terus menunggu sesuatu yang nggak jelas, bukan?”
“Gue nggak tahu mau ngomong apa. Mau bilang sabar, lo pasti udah sabar banget. Pasti bukan sekali dua kali lo bahas ini sama dia sebelum mengambil keputusan untuk berpisah.”
“Iya. Gue harap bisa ketemu seseorang baru yang bisa menggantikan posisi Dikta di hati gue. Meski butuh waktu, tapi gue yakin rasa itu akan muncul kalau terbiasa bersama.”
“Kalau sama gue aja, gimana?”
“Ngaco aja.”
Gilang tertawa kecil. “Bercanda, Mel.”
“Gue tahu.”
Gilang itu sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Dari kecil kami tumbuh bersama. Meski dia besar di panti, orang tuaku tetap menjadi donatur tetap di sana. Jadi, kami masih sering bertemu hingga dewasa saat ini dan Gilang terbilang cukup sukses juga.
“Gue selalu berdo’a yang terbaik untuk lo, Mel. Semoga mendapatkan seseorang yang lebih baik.”
“Iya, semoga aja.”
Usai mengobrol banyak hal, makan, aku pun pulang. Kami mengendarai mobil masing-masing dengan arah berbeda. Kira-kira baru 10 menit’an mengemudi dari arah tempatku dan Gilang bertemu, mobilku mogok. Aku coba starter berkali-kali tidak bisa. Aku turun hendak ke arah depan memeriksa kap mobil, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Aku menoleh dan dia tersenyum padaku. Seseorang itu tak lain adalah Dikta.
“Mobil kamu kenapa, Mel?”
“Enggak tahu, tiba-tiba mati. Nggak mau di starter lagi.”
“Aku coba lihat, boleh?”
“Boleh… boleh.” Aku memundurkan langkah kakiku.
Dikta memeriksa mobilku, mencoba starter juga. Tidak bisa juga.
“Terakhir service kapan mobil ini?”
“Enggak tahu, lupa. Udah agak lama kayaknya.
“Jangan bilang yang hampir setahun lalu pas sama aku itu?”
“Entah, mungkin.” Aku mengedikkan bahuku. “Nggak inget.”
Mobil ini sudah lama, sejak aku kuliah S-1 di sini. Aku baru mengendarai mobil pada usia 20 tahun. Aku awalnya tak mau, tapi papa dan mama tetap ingin aku bisa mengendarai mobil sendiri. Pasalnya, sopir keluarga tak selalu bisa mengantarkanku. Padahal, aku sudah bilang sama kedua orang tuaku jika tak masalah naik angkutan umum.
“Aku telepon orang bengkel biasa, ya? Biar mereka periksa dulu. Mumpung nggak jauh juga dari sini, paling 10 menit nyampe naik motor.” Dikta mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi orang bengkel langganan kami berdua.
Tak lama, orang tersebut datang.
“Ini mesti di service semua, Mel. Biar dibawa ke bengkel aja.”
“Ya udah.”
“Aku antar kamu pulang, ya?”
“Enggak usah, terima kasih tawarannya. Tapi aku mau mesan taksi aja.”
“Mel, udah jam 9 lewat. Aku antar kamu pokoknya.”
“Tapi— “
Tak mau berdebat, aku mengiyakan saja. Sepanjang perjalanan, kami berdua saling diam. Saat hendak tiba di rumah, baru lah Dikta bersuara lebih dulu.
“Nanti untuk mobil kamu, aku anterin kalau udah selesai di-service.”
“Nggak perlu repot-repot, nanti aku bisa ambil sendiri.”
“Sama sekali nggak ngerepotin. Emm… kalau kamu butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan hubungin aku. Bilang aku kalau kamu membutuhkan sesuatu. Aku sama sekali nggak keberatan membantu seorang teman, apa lagi jika kamu orangnya. Apa pun itu, aku akan lakuin buat kamu semampuku.”
Seorang teman katanya? Kenapa terdengar asing sekali?
Melakukan apa pun untukku? Aku rasa ada pengecualian di sini yang perlu aku garis bawahi. Apa pun yang dimaksudnya, kecuali memberi kepastian untuk menikahiku. Aku menggelengkan kepala, kenapa masih saja muncul rasa harap itu, padahal sudah tahu bahwa keinginanku tak akan terkabul?
“Dikta… “
“Ya?” Lelaki itu melirik sekilas, kemudian pandangannya lurus ke depan lagi melihat jalanan.
Aku diam sejenak, menimang-nimang untuk bertanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap bertanya.
“Apa kamu benar-benar rela melihat aku suatu saat nanti menikah dengan laki-laki lain?”
Dikta tak langsung menjawab dan aku pun tak mendesak bertanya lagi. Lelaki itu diam lama, tak terasa mobilnya tiba di depan rumahku. Aku membuka sabuk pengaman, menoleh padanya sebelum membuka pintu mobil.
“Terima kasih untuk malam ini.”
Dikta mengangguk.
Saat aku hendak membuka pintu mobil, Dikta meraih pergelangan tanganku.
“Asal kamu hidup bahagia, aku akan ikut bahagia juga. Dengan siapa pun kamu menikah nantinya, aku harap dia adalah seseorang yang baik dan bertanggung jawab atas hidupmu. Yang nggak akan membuat air matamu jatuh menetes. I pray happy life for you, Mel. Bahagia selalu meski bukan dengan aku.”
Aku menarik tanganku dan memukul-mukul dadanya. “Kamu jahat, Dik… jahat.” Aku terisak pelan.
“Yap, aku jahat karena udah bikin kamu menangis. Seseorang yang bahkan nggak bisa janjiin kebahagiaan untuk kamu.”
Lalu, aku merasakan sebuah pelukan. Lelaki itu mengusap-usap punggungku dan terasa kecupan pada kepalaku.
“Maafin aku, Mel… maaf.” Terdengar suara Dikta yang bergetar.
Aku mendongak dan mendapati air mata menetes membasahi pipinya, secepat kilat dia menyekanya. Pada cahaya minim di depan rumahku, aku bisa melihat tetesan air mata itu meski kami masih berada di dalam mobil.
“Kenapa, Dik? Kenapa?” Mataku kembali kabur menatapnya karena genangan air mata.
“Udah malam.” Lelaki itu tersenyum dan merapihkan helaian rambutku ke belakang telinga. “Kamu istirahat, ya? Jangan nangis lagi. Cantiknya agak berkurang kalau kamu nangis terus loh!” ujarnya terkekeh.