Bagaimana Aku Bisa Lupa?

2122 Words
Meski kami tak lagi bersama, dia tetap selalu ada. Bagaimana aku bisa lupa dengannya kalau begini? Dia telah melepaskanku—membiarkanku mencari lelaki lain untuk masa depanku, yang akan menjadi teman hidupku selamanya. Akan tetapi, aku masih merasa jika dirinya tak sepenuhnya merelakanku. Masih terekam di benakku bagaimana suaranya yang bergetar malam itu. Tapi kenapa dia tidak mau bercerita apa pun? Apa sesuatu yang membuatnya ragu padaku? Malam itu ketika aku berharap bahwa dia akan memintaku untuk kembali bersama—meyakinkanku, ternyata hanya sekedar harapku saja. "Tidur, istirahat. Aku serius bilang kamu sedikit jelek kalau lagi nangis. Jadi, jangan pernah nangis lagi, apa lagi untuk lelaki seperti aku ini. Aku enggak pantas ditangisin." "Aku masih cinta kamu," ujarku tak bisa membendung isak tangisku. Tak ada sahutan dari lelaki itu. Dia hanya tersenyum. Kemudian jemarinya terulur menyek air mataku yang menetes. "Kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari pada aku. Yang bisa memberikan sebuah kebahagiaan saat kalian menikah nanti. Bukan seperti aku.” "Kenapa, Dik? Bilang sama aku, kenapa kamu nggak bisa? Mari kita sama-sama cari solusinya, apa yang menjadi kendala bagi kamu." Dikta menggelengkan kepala. Perlahan aku menjauhkan diri dan membuka pintu mobil di sebelahku. "Dik... " "Meski udah nggak bisa lagi sama-sama, kamu masih bisa ngandelin aku jika membutuhkan bantuan. Seperti yang aku bilang tadi, kita masih bisa berteman." "Kamu nggak ngerti apa yang aku rasain saat ini." "Aku ngerti." "Nggak. Kamu egois! Kamu ngelepasin aku gitu aja, tanpa aku tahu alasan kamu sebenarnya." "Kamu nggak perlu harus tahu. Biar ini menjadi urusanku sendiri. Kamu hanya perlu hidup bahagia. Aku ingin ngeliat kamu tersenyum bahagia, bukan tetesan air mata ini yang aku ingin lihat.” Sepertinya katanya waktu itu jika lebih baik kami berteman saja—dia yang memintaku untuk berteman dengannya. Definisi 'teman' yang dimaksudnya belum bisa aku pahami hingga saat ini. Tiga bulan sudah setelah sepakat mengakhiri hubungan kami, sikap Dikta masih sama padaku. Kecuali pada 2 minggu pertama yang agak beda saat awal-awal aku mengakhiri hubungan kami, setelahnya semua terasa seperti sebelumnya saat kami masih bersama. Aku rasanya ingin marah lelaki itu. Jika memang masih mencintaiku, kenapa tak melamarku saja? Atau setidaknya beri aku sebuah kepastian. Aku tak lagi bertemu dengan Dikta sejak sebulan terakhir. Setelah malam itu, masih ada beberapa kali tak sengaja bertemu. Lelaki itu masih berkirim pesan, mengingatkan makan dan lainnya yang sering aku abaikan. Tentang mobilku, aku menghubungi orang bengkel yang membawa mobil tersebut dan 3 hari kemudian aku mengambilnya sendiri. Mobilku itu memang sudah lama usianya. Sempat aku tinggal saat lanjut kuliah, setelah kembali ke Indonesia, aku rutin menggunakannya. Dua tahun yang lalu, papa menyarankan untuk tukar tambah dengan yang baru. Yang jauh lebih bagus dan mahal. Akan tetapi, aku menolak. Menurutku, mobilku masih layak untuk dipakai dan tak akan kuganti. Jika suatu saat harus diganti pun, aku ingin menggunakan uang sendiri hasil dari kerja kerasku. Hari ini aku mengunjungi rumahnya Aya dan Yoga, janjian dengan Maudy juga. Ingin bertemu Zee, anaknya Aya dan Yoga yang berusia 2 tahun lebih. Maudy juga akan membawa anak keduanya, Fema. Usia anak kedua Maudy itu 3 tahunan, aku lupa persisnya. Maudy hamil anak keduanya saat Aya dan Yoga menikah, di mana itu pertama kali Dikta memperkenalkanku kepada mereka semua. Dulu itu, aku dan Dikta sempat ada niat untuk tunangan dulu. Akan tetapi, papa memberi saran katanya nanti langsung menikah saja. Semisal belum ada rencana menikah dalam waktu dekat, tunangannya nanti saja. Tak bagus tunangan lama-lama, begitu kata papa dan aku menyetujuinya. Lagi pula, aku baru selesai kuliah dan baru akan bergabung di firma hukum milik papa. Aku ingin fokus ke sana dulu, setidaknya satu tahunan. Dikta pun sama, saat itu juga belum bergabung dengan firma hukum mana pun. Setahun setelahnya saat aku merasa sudah settle dan Dikta pun udah bergabung di sebuah kantor advokat yang cukup ternama, aku mulai memberi kode kepada Dikta untuk menikah. "Iya. Nanti kita akan menikah." Atau... dia hanya merespon dengan senyuman. Kadang mengalihkan pada hal lain. Aku pikir, Dikta membutuhkan waktu dan aku menunggunya. Sekali-kali, kadang aku tetap melemparkan kode. "Kok ngelamun?" Aku tersentak ketika Aya sudah berada di hadapanku dengan membawa minuman. Aku menggelengkan kepala. "Zee mana, Ay?" Aku baru saja datang dan saat ini duduk di ruangan keluarga dekat yang posisinya tak jauh dari dapur. "Lagi main di atas sama Mbaknya. Wait, aku ambil dulu." Aya turun beberapa saat kemudian dengan menggendong Zee. Aku langsung mengambil alih anak itu dari Aya dan mencium pipi gembulnya gemas. Kemudian mendudukkannya di sofa. "Onty bawain sesuatu buat Zee." Aku meraih paperbag dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Ada barbie dan baju buat Zee." Aku kemarin jalan di mall sendirian. Karena hendak ke rumah Aya bertemu Zee, aku mampir ke toko mainan dan outlet baju anak juga. Lucu-lucu sekali baju anak kecil. Aku mengingat bagaimana masa kecilku dulu sebelum diadopsi oleh kedua orang tuaku, menggunakan pakaian apa adanya. Aku senang membeli sesuatu untuk anaknya Aya dan Maudy. “Asikk, nambah lagi barbie-nya Zee, Nak!” seru Aya. “Bilang apa dulu sama Onty Melisha?” “Makacih Onty.” Aku tersenyum, mengusap-usap rambutnya yang keriwil lucu. “Sama-sama Zee sayang. Semoga Zee suka.” “Pasti suka dong, Onty!” Aya yang menyahut. Aku mengajak Zee bermain dan tak lama kemudian muncul Maudy. Dia tak datang sendirian, bersama Fero dan anak keduanya. Sedangkan anak pertamanya tak dibawa, sedang berada di rumah omanya. “Fema, Onty punya sesuatu buat Fema.” Aku tak hanya membelikan mainan dan baju untuk Zee saja, Fema juga aku belikan. Aku menyerahkan paperbag lainnya kepada anak kecil itu. “Makasih Onty Mel.” “Iya, Sayang. Semoga suka, ya?” Fema mengangguk. Lalu, dia mulai bermain bersama Zee. Sementara kami bertiga hanya memantau. Yoga dan Fero, kedua orang itu mengobrol di teras depan dekat kolam ikan. Sedang asik mengobrol dan melihat kedua anak kecil itu bermain, Yoga masuk bersama seseorang. Aya langsung berdiri spontan. "Kamu ngapain ajak dia ke sini?" semprot Aya kepada Yoga sembari berkacak pinggang. Dia menatap tak suka pada lelaki yang berdiri di sebelah Yoga, yang tak lain adalah Dikta. "Lo ngapain ke sini, hah?!" lanjutnya beralih pada Dikta. "Mau ketemu Melisha, lo??? Sengaja ngintilin dia ke sini?” ”Gue— “ "Yang, please... jangan marah-marah." Yoga meraih kedua lengan istrinya itu untuk menenangkan, akan tetapi Aya masih saja terus menyerocos. "Kamu bilang sama dia kalau Melisha bakalan ke sini, Ga?" Yoga menggeleng. "Aku enggak bilang. Dikta bilang mau ke sini ketemu Zee, ya udah aku bilang datang aja." "Tapi kan aku udah bilang sama kamu sebelumnya kalau Melisha hari ini ke sini.” “Aku nggak bilang lagi sama Dikta kalau Melisha ke sini juga. Nggak kepikiran juga.” Aya tampak merotasi bola matanya. Sedangkan aku dan Maudy hanya diam saja. “Lo pulang aja deh, Dik,” ujar Aya kemudian. “Ay!” Yoga geleng-geleng kepala, mungkin karena melihat segitu kesalnya sang istri kepada Dikta. Padahal, Dikta adalah teman geng mereka dari dulu. Sedangkan aku baru dikenalkan oleh Dikta sekitar 3 tahun lalu saat mereka menikah. “Dikta juga teman kita loh!” “Bukan lagi bagi aku,” dengus perempuan itu. “Dia udah nyakitin teman aku! Bikin Melisha sedih, nangis terus. Nggak terima aku!” “Ga, gue balik aja.” Dikta bersuara. “Emang lo harus balik! Muak gue lihat muka lo!” Aya mengibaskan tangannya. “Rumah gue nggak terima cowok yang bisanya cuma nyakitin doang!” “Dikta nggak akan pulang. Dia bakalan sama aku dan Fero di depan,” sahut Yoga. “Sana, Dik, katanya lo pengen numpang ke kamar mandi.” Aya mengerucutkan bibirnya sebal dan kembali duduk. “Udah, Ay, enggak apa-apa,” ucapku pelan. “Gue enggak masalah ada dia, kok.” “Tuh, Melisha aja nggak masalah!” Yoga menyelutuk. “Diam kamu! Kalau masih ngebela itu orang, entar kamu tidur di luar!” Aku geleng-geleng kepala sambil menahan tawa. Mood sekali melihat temanku yang satu ini, lucu. Dari awal kenal hingga saat ini, Aya tetap menggemaskan tingkahnya yang random. Beda halnya dengan Maudy yang tegas, tapi anggun. *** Sore menjelang maghrib, Maudy dan Fero sudah pamit pulang, sedangkan aku masih menunggu Mas Pras. Dia adalah anak teman papaku yang 3 bulan lalu kami dikenalkan. Hanya saja, kami baru 2 bulan belakangan ini sepakat untuk mencoba saling mengenal. Tadi Mas Pras ke rumah mengantarkan oleh-oleh dari orang tuanya buat kami sekeluarga. Setelahnya, dia mengantarkanku ke sini dan akan menjemput juga katanya. Aku membuka diri untuk mencoba dekat dengannya. Memang belum ada perasaan apa pun karena aku masih saja suka terbayang akan Dikta. Tapi, aku akan tetap berusaha. Mas Pras pun begitu. Katanya tertarik padaku, namun belum ada pernyataan suka atau semacam itu padaku. Aku yakin, dia pun sepertinya sedang dalam tahap mencoba mengenalku lebih dekat juga. Bukan hanya aku saja yang belum pulang, Dikta juga masih di sini. Aku mengobrol dengan Aya di ruang tamu tak jauh dari pintu utama, sedangkan Dikta dan Yoga bermain dengan Zee di dekat TV sana. Hingga pukul 18:00, Mas Pras tak kunjung tiba. Aku kembali menghubunginya, kali ini nomor ponselnya tidak aktif. “Ay, kayaknya gue mau pesan taksi aja. Mas Pras nggak bisa dihubungin sekarang. Udah mau hujan juga kayaknya.” Terdengar bunyi gluduk beberapa kali. “Chat lo belum dibalas juga?” Aku menggeleng. Chat-ku belum dibaca dan teleponku tadi tidak diangkat. Apa dia tidak melihat ponsel dan setelah itu ponselnya kehabisan daya? Aku chat Gilang untuk minta jemput, ternyata dia sedang acara gathering kantornya di Bogor. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. “Yaah… hujan, Mel. Jangan naik taksi deh! Udah mau malam, ngeri hujan deras juga. Lo makan dulu aja, gimana? Nanti gue dan Yoga yang anterin lo balik deh!” “Nggak usah, ngerepotin. Zee juga tadi nggak tidur siang, nanti dia rewel.” “Bisa gue pangku tidur di mobil nanti. Lagi juga nggak lama antar doang, langsung balik.” “Mudah-mudahan hujannya enggak lama.” Hujannya ternyata awet, sudah sekitar 45 menitan belum reda juga. Aya mengajak makan terlebih dahulu sebelum pulang. Kami sudah berada di meja makan saat ini, mempersiapkan nasi dan lauk yang dimasak oleh asisten rumah tangganya Aya. “Biar nanti tinggal istirahat, terus tidur. Nggak ada diet-dietan, ya? Gue nggak mau lihat lo makin kurus.” Aku terkekeh. “Enggak diet, kok.” “Tapi mikirin dia sampe nggak selera makan, huh? Lo agak kurusan, Mel. Sedih gue lihatnya,” ujar Aya dengan mata mengarah ke tempat di mana Dikta berada. Lelaki itu belum pulang juga, masih betah main bersama Zee atau ada alasan kain. Entah lah. Aku tak menyahut, hanya merespon dengan senyuman tipis. Duduk berseberangan dengan Dikta di meja makan, aku tak menatap ke arah wajah lelaki itu. Awalnya, Aya mendengkus tak mau Dikta ikutan makan juga. Tapi, dia mengalah akhirnya setelah berdebat dengan Yoga sang suami. “Habis ini, kita anterin Melisha pulang ya, Ga?” ujar Aya. “Melisha pulang bareng gue aja.” Dikta menyahut dan aku mendongak seketika, tatapan mata kami bertemu. “Bareng aku aja, ya?” “Nggak… nggak ada!” dengus Aya. “Lo nggak boleh bareng Melisha. Nggak boleh dekat-dekat Melisha lagi. Dia lagi dekat dengan seseorang, lo nggak boleh ganggu!” “Ay, kenapa, sih?” Yoga geleng-geleng kepala. “Cuma pulang bareng doang. Lagi juga rumah mereka berdua kan searah.” “Nggak boleh!” “Astaga… “ Lalu, terdengar suara tangisan Zee. Dia tadi sudah makan lebih dulu dan sekarang sedang digendong oleh asisten rumah tangga Aya karena menangis. “Zee ngantuk kayaknya, Ay,” ujarku. Aya bangkit dari kursi dan mengambil alih Zee dari asistennya itu. Untung dia sudah selesai makan. “Pulang bareng Dikta aja, Mel.” Yoga bersuara lagi. “Sorry, bukannya gue nggak mau anterin, tapi kasihan sama Zee lagi rewel begini. Mau tidur kayaknya. Lagi juga, lo aman kalau sama Dikta. Mau naik taksi, agak serem hujan deras begini. Mana udah malam juga.” Aku masih berharap hujan reda setelah beranjak dari meja makan, namun tak kunjung juga. Bisa saja minta jemput sopirnya papa, tapi aku sedang tak mau merepotkan. Sopir papa yang merangkap sebagai tukang kebun di rumah itu pasti lelah. Papa dan mama ada acara tadi dan baru saja tiba di rumah setengah jam yang lalu. “Kamu enggan kayaknya semobil sama aku ya, Mel?” Aku menoleh dan mendapati Dikta tengah berdiri tak jauh dariku, menatapku sendu. Aku sedang duduk di ruang keluarga dekat TV dengan ponsel di tanganku, sedangkan Yoga menyusul Aya ke kamar. “Bukan begitu, a-aku… “ “Aku pernah bilang, kamu bisa andalin aku kapan pun kamu butuh. Aku akan selalu ada, walau— “ “Walau kita tak lagi bersama?” Aku tertawa sumbang. “Kamu kayak nggak benar-benar relain aku pergi dari kehidupan kamu, Dik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD