Putusin aja!
"Pacaran 5 tahun tanpa ada kejelasan, mending putusin aja nggak, sih?"
Aku terkekeh mendengar ucapan sahabatku yang bernama Gilang itu. Gilang adalah sahabatku sejak kecil. Kami tumbuh bersama di sebuah panti. Hingga aku diadopsi oleh pasangan kaya raya di saat berusia 8 tahun. Dan Gilang tetap di panti, akan tetapi dia selalu dapat beasiswa hingga dia bisa menyelesaikan pendidikan S-1. Setelah lulus, Gilang langsung dapat pekerjaan di tempat magangnya waktu kuliah. Dia keluar dari panti dan tinggal di sebuah indekos karena letak panti yang jauh dari kantornya. Setahun bekerja, Gilang lanjut S-2. Sekarang, dia menjadi manajer di salah satu perusahaan swasta sekaligus sebagai dosen di sebuah kampus swasta biasa. Dia berhasil setelah melewati kerasnya hidup.
"Dikta itu nggak benar-benar cinta sama lo."
"Sok tahu," jawabku mencebikkan bibir.
Aku telah menjalin hubungan dengan kekasihku bernama Dikta selama 5 tahun lamanya. Kami dekat karena sama-sama menempuh pendidikan S-2 hukum di negara Belanda. Papa angkatku, memang ingin sekali aku nantinya bekerja pada firma hukumnya, yang akan menjadi penerusnya. Aku tentunya tidak akan mengecewakan orang tua yang sudah berjasa dalam hidupku itu. Usai menempuh pendidikan S-2 di luar negeri, aku dan Dikta sama-sama balik ke Indonesia. Aku yang langsung bekerja di firma hukum milik papaku, di mana aku yang memegang kendali firma hukum itu nantinya. Sementara Dikta baru bekerja sebulan kemudian, diterima di salah satu firma hukum yang cukup terkenal.
"Apa pernah dia ajak lo nikah?"
"Kita beberapa kali pernah membahas itu, kok." Aku memang pernah membahas perihal menikah beberapa kali. Akan tetapi, aku tak akan menceritakannya kepada Gilang meski kami berteman dekat sejak dulu.
Umurku saat ini 28 tahun, pun sama dengan Dikta. Dulunya kami kuliah di kampus yang sama juga saat menempuh pendidikan S-1. Hanya saja dulu sekedar tahu saja, tidak begitu kenal. Kami baru berteman dekat sejak di Belanda. Dikta mengajakku berpacaran dan aku mengiyakannya, karena aku pun memiliki perasaan spesial juga kepadanya. Mungkin karena sering bersama hampir di setiap momen, jadi benih-benih cinta untuk muncul. Dikta bukan lah pacar pertamaku, akan tetapi aku begitu mencintai lelaki itu. Bagaimana tidak? Sikap Dikta benar-benar manis dan begitu sabar menghadapiku yang kadang moody-an.
"Kalau Dikta nyakitin lo, bilang gue!"
Aku terkekeh kecil. "Iya."
Selama ini, Dikta tak pernah menyakitiku. Justru dia sabar banget menghadapiku sikapku yang kadang suka ambekan, keras kepala. Dikta itu jarang marah, sekalinya marah hanya diam. Tapi itu juga tidak lama, tidak pernah mendiamkanku lebih dari 24 jam.
"Tapi, Mel, gue inget sesuatu. Dulu lo pernah bilang kalau ingin menikah di umur 25 atau 26," lanjut Gilang lagi.
"Seiring berjalannya waktu, rencana itu bisa berubah, Lang. Gue usia 25 pulang ke Indo dan baru mulai meniti karir, nggak kepikiran menikah dulu. Dikta juga kan nggak langsung dapat kerjaan. Sebagai calon kepala rumah tangga, dia pasti mikir panjang untuk bawa anak orang ke pelaminan.”
Gilang menatapku dengan mata menyipit, sementara aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Lo boleh cerita apa aja sama gue kalau ada sesuatu yang menjadi beban pikiran lo. Kita temanan dari kecil, jangan sungkan sama gue."
Sebenarnya bukan hanya Gilang yang bertanya perihal kapan aku akan menikah dengan Dikta, ada banyak kenalanku atau Dikta juga. Aku dan Dikta sering menjawab dengan kalimat yang sama, “do’ain aja”.
***
Aku baru membahas perihal menikah saat usiaku menginjak angka 25 tahun. Sebelumnya, aku belum ada kepikiran untuk menikah karena ingin fokus pada firma hukum milik papaku. Papa dan mama angkatku yang sudah sangat berjasa dalam hidupku. Aku bisa menggapai mimpiku untuk menjadi seorang pengacara berkat dukungan dari mereka.
Dan kali ini, aku kembali ingin membahas tentang masa bersama Dikta setelah kemarin terusik dengan ucapan Gilang. Aku memang memikirkan tentang arah hubunganku dengan Dikta belakangan ini, hanya saja tak ingin membicarakannya dengan orang lain. Meski kepada Gilang yang merupakan temanku sejak kecil.
Lima tahun bersama, apa yang membuat Dikta tak kunjung menikahiku? Bicara soal cinta, aku sama sekali tak meragukan perasaan lelaki itu. Aku tahu, Dikta tulus padaku. Aku tak tahu alasan tepat lelaki itu yang tak kunjung melamarku.
Aku memperhatikan Dikta yang tengah memotek bagian dari kepiting yang bisa dimakan olehku. Dia selalu yang melakukannya dan aku tinggal makan saja. Kami berada di salah satu restoran seafood daerah PIK, Jakarta Utara. Aku mengajak bertemu hari ini untuk membicarakan sesuatu yang aku ingin jawaban pasti darinya. Tidak mengambang seperti sebelumnya. Dikta selama ini seolah memberikan jawaban jika akan menikahiku suatu saat, akan tetapi dia tidak memberikan pernyataan pasti mengenai waktunya.
"Kok malah bengong?"
Aku tersentak ketika menyadari tangan Dikta yang memegangi bagian kepiting dan menyodorkannya ke arah mulutku. Aku menggeleng sembari tersenyum, lalu membuka mulut.
"Enak?" tanyanya.
Aku menggangguk. Rasa kepiting ini memang pas dilidahku.
Kami baru pertama kali datang ke restoran seafood ini, yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Belakangan ini kami sama-sama sibuk dan tidak sempat jalan-jalan agak jauhan atau sekedar hunting ke tempat makan baru seperti sebelumnya yang biasa kami lakukan. Aku yang hobi mengunjungi cafe atau restoran baru yang kata orang-orang recommended, Dikta hanya mengikutiku saja. Selagi tidak sibuk, dia selalu akan mengiyakan ajakanku.
"Ada kali 3 bulanan kita nggak ke resto seafood gini, ya? Makanya, pas kemarin aku kepikiran ngajak kamu ke sini. Inget kamu pernah bilang waktu itu."
"Thank you."
Dikta tersenyum. Dia ikut memakan kepiting juga setelah menyuapiku. Dan aku makan sendiri saat ini, tak ingin disuapi lagi karena lebih nikmat menjilati saos asam manis yang menempel di jemariku. A
"Oh ya, bulan depan si Fero cs ngajakin liburan. Kira-kira pertengahan bulan katanya tadi, kamu bisa ajuin cuti nggak? Kalau aku kayaknya bisa. Awal bulang masih agak hectic, tapi setelah tanggal 10 nggak terlalu."
"Aku cek lagi jadwalku nanti dan setelah itu langsung kabarin kamu."
Setelah makan, aku pun memulai pembicaraan mengenai kegundahan hatiku.
“Dik, aku ingin kembali memperjelas arah hubungan kita. Aku udah 28 tahun saat ini… “ Aku menghela napas. “Usia yang sudah sangat matang untuk menikah.”
“Aku paham.”
“Tahun-tahun sebelumnya, aku masih bisa maklumin kalau mungkin kamu merasa belum settle. Tapi di tahun ini, apa belum ada juga niatin kamu ke arah yang aku maksud? Aku sedih, kok kayaknya cuma aku yang menggebu-gebu pengen dinikahin sama kamu. Sementara kamu sendiri— “
“Aku serius sama kamu, pengen nikahin kamu. Cuma aku belum bisa di tahun ini, Mel.”
Aku manggut-manggut. “Gimana dengan tahun selanjutnya? Waktu terus berjalan dan aku nggak mau sampai usiaku memasuki kepala tiga. Ini bukan tentang dikejar target untuk menikah, tapi ada orang tuaku yang ingin kita segera menikah.”
“Maaf. Aku belum bisa pastiin untuk waktunya.”
“Kenapa? Apa lagi yang kamu pikirkan?” sahutku lemah. Belum bisa memberikan kepastian waktu untuk menikahiku, lalu sampai kapan aku harus menunggu?