Lody berusaha membuka matanya yang terasa panas karena menangis dalam waktu yang cukup lama. Dia tergolong orang yang tidak mudah menangis seperti kebanyakan perempuan. Sehingga terlalu banyak menangis seperti yang terjadi beberapa jam yang lalu membuat kepalanya jadi terasa pusing. Setelah membuka mata dan beberapa kali berkedip untuk menghilangkan rasa pedih di matanya Lody bangkit secara perlahan lalu duduk di pinggiran ranjang. Sebenarnya dia masih ingin terus tertidur entah sampai kapan. Karena hanya dengan tidur dia bisa melupakan semua kejadian pahit yang dialaminya hari ini.
Kepalanya berputar untuk melihat ke sekelilingnya. Lody belum tahu saat ini sedang berada dimana. Hal terakhir yang dia ingat adalah silau cahaya lampu mobil yang hampir saja menabraknya. Lody kemudian merunut memori ingatannya. Dimulai dari sejak dia hampir tertabrak tadi. Lalu mundur ke masa dia mendatangi sebuah pemakaman dengan nama lengkap Nadip serta tanggal yang sama dengan tanggal hari ini sebagai tanggal wafatnya tertera di papan nisan salah satu makam yang masih basah. Sebelumnya lagi dia telah melangsungkan pernikahan dengan Levi, padahal seharusnya dia menikah dengan Nadip hari ini. Dan semua kenangan itu membuat perasaannya semakin terluka.
Lody sangat ingin marah saat ini. Namun dia tidak tahu harus marah pada siapa dan bagaimana cara melampiaskan kemarahannya itu. Sehingga yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berdiam diri dan mencoba menenangkan diri dengan caranya sendiri. Lama dia berpikir sampai kemudian ingatannya justru kembali pada momen-momen sebelum Nadip mengalami kecelakaan. Yang terjadi berikutnya dia justru menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja dia tidak mengajak Nadip berbicara panjang lebar di telepon karena posisi kekasihnya itu sedang berkendara, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Minimal Nadip bisa lebih fokus dalam berkendara dan refleks menghindar kecelakaan di depan mobilnya juga lebih cepat. Harusnya dia sadar kecelakaan yang dialami Nadip adalah kecelakaan serius dan mempertimbangkan hal terburuk yang pasti akan dialami oleh korban kecelakaan seperti itu. Bagaimana mungkin dia bisa tetap tenang dan percaya begitu saja ketika ayahnya menyampaikan bahwa Nadip pasti akan selamat dan pernikahan mereka akan tetap berlangsung? Kalau saja dia tidak egois memaksakan acara pernikahan terus berlangsung atau minimal meminta pernikahan ditunda sampai dia tahu keadaan Nadip pasca kecelakaan, mungkin dia tidak perlu menikah dengan orang lain saat ini.
Itulah yang dipikirkan Lody selama beberapa menit terakhir. Hingga akhirnya tanpa terasa air matanya kembali turun dan membasahi kedua pipinya. Semakin dia berusaha menghentikan tangisnya itu, isakannya justru makin keras dan menggema di seluruh kamar. Suara isak tangis Lody terdengar hingga keluar kamar. Dia tidak sadar kalau posisi pintu kamar tidak tertutup dengan rapat dan juga tidak tahu kalau di luar kamar ini ada orang selain dirinya.
Levi yang saat ini sedang berada di ruang tengah tiba-tiba mendengar suara isak tangis dari kamar utama. Laki-laki itu refleks bangkit dari sofa lalu bergegas menuju kamar utama untuk melihat kondisi Lody.
Saat Levi membuka pintu kamar, ia menemukan Lody sedang duduk di pinggiran ranjang sambil menangkup wajah dengan kedua tangannya. Tubuh gadis itu bergetar menahan tangis. Tak tahan melihat kondisi Lody yang tengah tersiksa, Levi segera mendekati perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya itu. Dia lalu mengambil posisi duduk di samping kiri Lody. Sebenarnya dia sudah begitu ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Namun Levi tidak mau gegabah dan tindakannya itu membuat Lody jadi semakin tidak menyukai kehadirannya. Akhirnya Levi menunggu sampai Lody berhenti menangis.
“Dy?” panggil Levi setelah beberapa menit berlalu tapi Lody masih belum memberi respons.
Namun bukannya memberi respons atas panggilan itu, suara tangis Lody semakin terdengar pilu. Gadis itu sedikit membungkuk lalu menumpukan kedua sikunya di atas lutut, sambil tetap terisak. “Apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan tangisanmu?” tanya Levi.
“Kamu boleh teriak di depan muka aku. Kamu juga boleh caci maki bahkan memukul wajahku. Tapi please, jangan diam. Katakan sesuatu, Dy!” pinta Levi lalu mengusap pundak Lody yang masih terus bergetar menahan tangis.
“Kalau kamu pikir aku sedang memaksakan diri untuk menggantikan posisi Nadip di hatimu, kamu salah. Kalau kamu pikir aku sedang berusaha untuk membuat kamu lupa pada Nadip, itu juga salah. Aku ada di sini untuk menemani dan menjaga kamu.”
Levi menggeser posisi duduknya agar lebih dekat pada Lody. Dia tak bisa lagi menahan diri untuk tetap diam saja tanpa melakukan apa pun. Perlahan dia meraih pundak Lody lalu mendekap tubuh ringkih perempuan itu ke dalam pelukannya. Lody tidak menolak apalagi memberontak, tapi dia juga tidak membalas pelukan Levi. Lody sama sekali tidak punya daya untuk melakukan apa pun. Hal itu membuat Levi semakin mengeratkan pelukannya dan kemudian mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala Lody.
“Menangislah kalau memang hanya dengan cara itu kamu bisa meluapkan kesedihan dan kekecewaan kamu. Aku akan tetap di sini. Bersamamu dan terus menjagamu,” ujar Levi sambil mengusap pangkal lengan Lody seolah sedang menyalurkan sebuah rasa tenang lewat usapan itu.
Baru saja Levi mengakhiri ucapannya tangis Lody benar-benar pecah. Dia tak lagi menahan tangisnya dalam suara isakan. Suara isak tangisnya kini berubah menjadi tangisan pilu dan hanya orang tidak punya hati saja yang tidak akan ikut bersedih mendengar suara itu. Bahkan Levi yang seorang laki-laki saja rasanya ingin ikut menangis. Namun dia berusaha menahan agar air matanya tidak ikut tumpah.
Lody masih terus menangis dalam pelukan Levi. Meski dia tidak mampu membalas pelukan Levi, setidaknya dia menemukan tempat nyaman untuk terus menangis. Dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan tangisannya ini. Yang ia tahu saat ini hanyalah ingin terus menangis untuk melepaskan segala emosi yang membuncah di dadanya.
“Aku bukan mau melarang kamu untuk terus menangis. Tapi gimana kalau kamu ganti pakaian dulu. Sepertinya baju pengantin ini bikin kamu jadi nggak leluasa menangis,” ujar Levi sambil merenggangkan pelukannya.
“Ini di mana?” tanya Lody akhirnya bersuara.
“Apartemenku.”
“Kenapa kamu bawa aku ke sini? Kenapa nggak tinggalin aja aku di tempat Kak Nadip?”
“Tempat itu bukan tempat yang tepat buat kamu menangis. Yang ada Nadip malah sedih kalau sampai denger tangisanmu. Kalau di sini cukup jauh lokasinya dari Karawang dan kemungkinan Nadip buat dengar itu kecil,” ujar Levi mulai muak pada omong kosong yang ia ciptakan sendiri.
“Tapi aku nggak bawa baju ganti,” ujar Lody sama sekali tidak menanggapi ucapan Levi yang menurutnya lelucon belaka untuk sekadar menghiburnya.
“Oiya, tunggu sebentar,” ujar Levi lalu keluar kamar dan kembali lagi beberapa detik kemudian sambil mendorong travel bag beserta barang-barang Lody yang lain.
Levi mendekatkan travel bag yang ia bawa dari luar ke hadapan Lody. “Tadi Caca dan Alana yang mengantar barang-barang kamu ke sini,” ujarnya.
“Mereka kok bisa tahu tempat ini?” tanya Lody bingung.
“Aku yang ngabarin kalau kamu di sini,” jawab Levi lalu duduk kembali di pinggiran ranjang.
“Kalau kamu mau tetap di sini, aku bisa ganti baju di tempat lain. Tapi tolong tunjukkan di mana tempat yang bisa aku gunakan untuk ganti baju.”
Levi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum kikuk. Mengerti maksud Lody yang menginginkan dia segera menyingkir tapi dengan kata-kata pengusiran yang cukup halus, Levi segera bangkit dari duduknya dan bergegas keluar kamar. Setelah di luar tak lupa dia menutup pintu kamar dengan benar. Dia tidak mau dituduh mengintip Lody berganti pakaian kalau memaksa merenggangkan pintu kamar utama. Meski sebenarnya hal itu sah-sah saja kalau memang dia mau melakukannya.
~~~
^vee^